May 16th 2025, 13:46, by Salmah Muslimah, kumparanNEWS
Seorang guru honorer bernama Hedi Ludiman (49) dan istrinya Evi Fatimah (38) di Sleman jadi korban mafia tanah. Berjuang 12 tahun tapi sertifikat tak kunjung kembali, Senin (12/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Kepala Kanwil BPN DIY, Dony Erwan Brilianto, angkat bicara soal BPN Sleman atau Kantor Pertanahan Sleman yang membuka blokir sertifikat dalam kasus mafia tanah di Sleman dengan korban guru honorer swasta Hedi Ludiman (49) dan istrinya Evi Fatimah (38).
Pembukaan blokir itu membuat bank bisa melelang sertifikat ke orang lain.
BPN Sleman menyebut blokir sertifikat hanya berlaku 30 hari. Sementara, Hedi mengatakan menurut tata cara blokir sertifikat menurut Pasal 14 Peraturan Menteri ATR/BPN RI Nomor 13 Tahun 2017, blokir yang dilakukan penegak hukum berlaku sampai dengan kasus pidana dihentikan.
"Jadi kalau blokirnya dari polisi itu kan kejadiannya 2012. Jadi tahun 2012 itu kan berarti sebelum permen ATR/BPN tahun 2017 itu berlaku. Karena kan 2012 kita pakainya tentang Peraturan Menteri BPN Nomor 3 Tahun 1997 Pasal 126," kata Dony melalui sambungan telepon, Jumat (16/5).
Dalam aturan itu menyatakan kalau ada permintaan blokir baik dari perorangan, aparat penegak hukum, maupun BPN berlakunya hanya 30 hari.
"Iya belum berlaku karena itu 2017 yang Permen Nomor 13 Tahun 2017. Tahunnya aja 2017. Belum berlaku yang itu, pakainya ya yang lama aturannya. Kita juga nggak berani juga kalau misalnya itu kemudian dilanggar, kita salah juga," bebernya.
Sementara itu, Hedi saat bertemu dengan wartawan beberapa waktu lalu sempat menunjukkan Surat Perkembangan Hasil Penelitian Laporan dari Polresta Sleman tahun 2024.
Di surat itu, Satreskrim Polresta Sleman menjelaskan polisi belum melakukan pencabutan blokir sertifikat.
"Jadi maksudnya belum dicabut karena memang yang 2012 sih (blokir sejak 2012). Jadi blokirnya cuma 2012 itu yang dari Polres Sleman. Tidak ada blokir baru lagi dari Polres Sleman," tuturnya.
"Jadi kalau memang 2012, tadi saya sampaikan tadi meskipun (blokir) dari APH (aparat penegak hukum) pun itu juga berlakunya 30 hari," bebernya.
Dia mengatakan ketika Permen keluar 2017 maka baru mulai berlaku di tahun 2017.
"Kaya di (kasus) Bantul itu (pakai) 2017 itu bukan 2012. 2012 masih pakai yang lama itu Permen BPN Nomor 3 Tahun 1997," bebernya.
Terkait kasus ini, solusinya menurut Doni adakah musyawarah dengan pemilik ketiga atau yang beli dari lelang. Atau bisa pula Hedi membuat gugatan baru di pengadilan. Putusan pengadilan itu jadi dasar BPN Sleman bertindak.
"Karena kita kan belum bisa jalan kalau belum ada gugatan," bebernya.
Kata Hedi
Sebelumnya, Hedi menanggapi pernyataan BPN Sleman atau Kantor Pertanahan Sleman yang mengatakan blokir sertifikat hanya berlaku 30 hari.
"30 hari itu bagi blokir warga biasa. Tetapi bagi yang blokir itu aparat hukum, bisa kejaksaan, bisa pengadilan, bisa kepolisian, bisa kementerian seusia undang-undang tidak seperti itu," kata Hedi, Kamis (15/5).
Menurut Hedi, tata cara blokir sertifikat menurut Pasal 14 Peraturan Menteri ATR/BPN RI Nomor 13 Tahun 2017, blokir penegak hukum berlaku sampai dengan kasus pidana dihentikan.
"Saya bacakan, ini hanya membaca dari undang-undang, 'catatan blokir oleh penegak hukum berlaku sampai dengan dihentikannya kasus pidana yang sedang dalam penyidikan dan penuntutan, atau sampai dengan dihapusnya pemblokiran oleh penyidik yang bersangkutan'," kata Hedi.
Dia melanjutkan di ayat 2 dijelaskan Kepala Kantor Pertanahan dapat meminta keterangan kepada penyidik terkait kasus atas tanah yang dicatat blokir.
"Seperti itu. Itu pasalnya seperti itu. Jadi intinya Polres Sleman 2012 memblokir (sertifikat) dan setelah itu memberi surat ke BPN masih ada proses pidana oleh penyidik dikasihkan surat ke BPN. Berarti kan jelas. Dan sudah ada yang terpidana dan jelas notaris juga kena kode etik," katanya.
Seorang guru honorer bernama Hedi Ludiman (49) dan istrinya Evi Fatimah (38) di Sleman jadi korban mafia tanah. Berjuang 12 tahun tapi sertifikat tak kunjung kembali, Senin (12/5/2025). Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan
Penyidikan di polisi juga belum usai sampai saat ini karena masih ada satu pelaku yang DPO. Blokir itu belum dicabut, menurut Hedi.
Hedi pun sempat menunjukkan surat dari Polresta Sleman bahwa belum ada pencabutan blokir atas sertifikat tersebut.
"Dari surat Polresta Sleman dari 2023 sampai 2024 Polres Sleman belum pernah mencabut blokir di BPN saya punya bukti dari Reskrim Polres Sleman belum ada yang mencabut," terangnya.
"Mana yang salah, mana yang benar itu saya tidak akan menilai. Yang menilai pakar hukum dan ahli hukum," bebernya.
Kasus Hedi dan Evi
Hedi dan Evi adalah korban mafia tanah. Pada 2012 sertifikat tanah atas nama Evi seluas 1.475 meter persegi beserta bangunan rumah di Pedukuhan Paten, Kalurahan Tridadi, Kapanewon Sleman, Kabupaten Sleman berpindah ke orang lain berinisial SJ.
Pada 2011, SJ datang bersama SH ibunya mengaku akan mengontrak rumah Evi untuk usaha konveksi. Mereka akan mengontrak selama 5 tahun dengan nilai Rp 25 juta.
Lantaran masih akan ditempati pada 2012, mereka meminta jaminan sertifikat dari Evi. Kemudian Evi diajak ke notaris untuk tanda tangan perjanjian mengontrak.
Namun yang terjadi setelahnya sertifikat dibalik nama ke SJ. Sertifikat juga diagunkan ke bank oleh SJ.
Dalam kasus ini SH telah divonis 9 bulan pidana, sementara SJ masih DPO sampai saat ini.
Hedi dan Evi juga menggugat secara perdata tetapi saat 2015 itu putusan pengadilan adalah Niet Ontvankelijk Verklaard (NO) atau putusan tidak dapat diterima karena gugatan mengandung cacat formil.
Yang terjadi setelahnya, bank tetap melelang tanah beserta rumah Hedi dan Evi ke orang lain meski sudah ada terpidana serta satu orang masih DPO dalam kasus ini.
Sertifikat tanah tersebut kini atas nama orang lain. Sedangkan Hedi dan Evi masih menempati tanah dan rumah yang bersengketa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar