Search This Blog

Mengajar untuk Bumi, Mendidik untuk Generasi

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Mengajar untuk Bumi, Mendidik untuk Generasi
Sep 20th 2025, 16:00 by Aloysius Gunadi Brata

Ilustrasi mengajar untuk bumi, mendidik untuk generasi. Generated with ChatGPT.
Ilustrasi mengajar untuk bumi, mendidik untuk generasi. Generated with ChatGPT.

Sampai saat ini—bahkan setelah tiga dekade lahirnya gagasan pembangunan berkelanjutan—dunia masih terus bergulat dengan persoalan lama: kemiskinan, ketimpangan, dan krisis iklim. Laporan Sustainable Development 2025 yang dirilis PBB menunjukkan lebih dari 800 juta orang hidup dalam kemiskinan ekstrem, miliaran tidak memiliki akses air bersih, dan tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah modern.

Di sisi lain, menurut data The Fossil Fuel Subsidy Tracker, negara-negara maju masih menggelontorkan subsidi energi fosil enam kali lipat lebih banyak daripada janji pendanaan iklim.

Hasilnya adalah paradoks pembangunan global yakni emisi karbon, ketimpangan pendapatan, dan utang publik terus melonjak, sedangkan keanekaragaman hayati justru merosot tajam. Artinya, pertumbuhan ekonomi selama ini dibayar dengan kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial.

Tidak salah untuk mengatakan bahwa ada kesenjangan yang lebar antara retorika dan realitas yang mencerminkan hipokrisi global. Ada hipokrisi politik: kampanye pro-iklim, tetapi kebijakan yang dihasilkan justru memperparah kerusakan iklim. Ada hipokrisi gaya hidup: menggaungkan diri pro-lingkungan, tetapi hidup dengan memboroskan energi.

Tentu ada banyak pihak yang perlu bertanggung jawab, tetapi kiranya penting pula untuk memunculkan kembali pertanyaan: Bagaimana dunia pendidikan—khususnya perguruan tinggi—mempersiapkan generasi muda agar tidak ikut terus terjebak dalam lingkaran hipokrisi ini?

Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Shutter Stock

Hipokrisi dan Pendidikan Tinggi

Dunia akademik dapat juga mengalami dan mengamini hipokrisi iklim dan keberlanjutan, kendatipun sudah ada GreenMetric yang menilai universitas di seluruh dunia berdasarkan sejauh mana mereka mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Satu studi bertajuk Is Economics Education Fit for the 21st Century?—yang dilakukan kelompok Rethinking Economics (2024)—menemukan bahwa 75% universitas di Inggris gagal mengintegrasikan isu iklim ke dalam kurikulum ekonomi, 55% mengabaikan ketimpangan historis seperti kolonialisme, dan 88% modul teoretis masih dikuasai paradigma Neoklasik.

Jika kecenderungan ini direplikasi di Indonesia, lulusan pendidikan tinggi kita pun hanya akan fasih menghitung pertumbuhan ekonomi, tetapi gagap manakala berhadapan dengan krisis ekologi, ketidakadilan sosial, dan tantangan global yang bersifat sistemik. Padahal, yang terjadi saat ini bukan lagi sebatas perubahan iklim, tetapi sudah sampai pada krisis iklim.

Lantas, di sinilah menjadi krusial untuk kembali menegaskan bahwa perguruan tinggi adalah strategic locus untuk membentuk cara pandang generasi muda. Menggunakan studi di atas, setidaknya ada tiga tanggung jawab perguruan tinggi dalam era pembangungunan berkelanjutan.

Pertama, mengintegrasikan isu keberlanjuran ke dalam kurikulum inti. Artinya, isu iklim, energi, dan keadilan sosial harus menjadi bagian dari pembelajaran utama. Kedua, mendorong pluralisme intelektual, bahwa paradigma homo economicus—yang melihat manusia hanya sebagai makluk rasional dan egois—harus diimbangi dengan pendekatan alternatif seperti homo sustinens, yang menekankan kepedulian, solidaritas, dan keberlanjutan. Ketiga, menjadi teladan praksis di mana universitas tidak cukup hanya mengajar tentang keberlanjutan, tetapi juga harus mempraktikkannya sebagai bentuk nyata pendidikan berbasis teladan.

Ilustrasi Universitas. Foto: Shutterstock
Ilustrasi Universitas. Foto: Shutterstock

Indonesia memiliki ribuan universitas, bahkan merupakan salah satu sistem pendidikan tinggi terbesar di dunia. Ini adalah potensi yang luar biasa karena jutaan mahasiswa yang dididik hari ini adalah pemimpin dan pelaku masa depan bangsa. Tentu tantangannya juga tidak kecil, terutama di tengah jebakan orientasi akreditasi formal, publikasi internasional, ataupun ranking global. Jebatan-jebakan ini dapat membuat perguruan tinggi luput untuk memastikan bahwa lulusan mereka siap menghadapi tantangan keberlanjutan. Lebih ironis lagi, jargon green campus lebih menonjol di brosur-brosur promosi, ketimbang praktik nyata.

Harus jujur diakui bahwa kasus Indonesia juga menunjukkan paradoks yang nyata. Proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), misalnya, turut menambah deforestasi. Begitu pula program food estate yang mengatasnamakan ketahanan pangan, tetapi berisiko merusak ekosistem lingkungan di daerah.

Generasi mudalah yang akan mewarisi konsekuensi dari keputusan semacam ini, dan di sinilah lantas perguruan tinggi harusnya memiliki peran, setidaknya sebagai penyimbang narasi-narasi pembangunan yang bias kepada kepentingan elite, kapital, dan berorientasi jangka pendek, tetapi abai terhadap esensi pembangunan berkelanjutan.

Kebutuhan Transformasi

Bila memang hendak "mengajar untuk bumi dan mendidik untuk generasi mendatang", maka perguruan tinggi harus berani bertransformasi. Artinya, mengintegrasikan keberlanjutan, menumbuhkan etika, dan menjadi teladan praksis dalam laku-tindak dan olah-pikirnya sebagai institusi pendidikan tinggi.

Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock
Ilustrasi mahasiswa. Foto: Shutterstock

Tujuannya adalah melahirkan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi berintegritas dan peduli terhadap persoalan kemiskinan, ketimpangan, dan krisis iklim yang menjadi inti pembangunan berkelanjutan.

Kegagalan mengambil langkah transformasi ini hanya akan membuat generasi muda mewarisi bumi yang semakin panas, penuh konflik dan ketegangan, serta rusak ekosistemnya. Pilihannya jelas: membiarkan perguruan tinggi ikut larut dalam hipokrisi iklim dan pembangunan, atau mulai menjadikannya garda depan perubahan.

Masa depan keberlanjutan sangat ditentukan oleh keberanian dan keseriusan perguruan tinggi hari ini untuk segera keluar dari jebakan retorika dan hipokrisi dan benar-benar menjadi bagian penting dalam memimpin jalan perubahan.

Media files:
01k5j41qycrx595b5e0xc65py3.png image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Curhat Ibu Gadis Sukabumi yang Disekap di China ke Dedi Mulyadi

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Curhat Ibu Gadis Sukabumi yang Disekap di China ke Dedi Mulyadi
Sep 20th 2025, 16:11 by kumparanNEWS

Emalia saat ditemui di rumah kontrakannya, Kamis malam (18/9/2025). Foto: Dok. kumparan
Emalia saat ditemui di rumah kontrakannya, Kamis malam (18/9/2025). Foto: Dok. kumparan

Emalia (55) telah bertemu dengan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi di Gedung Sate, Jumat (19/9) kemarin. Pertemuannya dengan KDM, terkait dengan anak gadisnya, RR (23) yang menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di China.

"Lega aja tenang hati, tenang gitu katanya mau cepat pulang," ujar Emalia kepada kumparan, Jumat malam di Sukabumi.

Semenjak tahu anaknya berada di China, yang selalu ada di pikiran Emalia hanya kondisi anaknya dan harapan anaknya bisa pulang.

Kepada KDM, Emalia mengungkapkan bahwa anak gadisnya itu berangkat kerja ke China tanpa terus terang kepada dirinya.

"Enggak terus terang gitu pengin kerja, tahu-tahunya ada di luar negeri, jadi pengin dipulangkan saja," ujarnya.

Emalia pun berharap kepada KDM, apabila anaknya pulang kondisi kesehatannya dapat dipantau. Sebab, Emalia khawatir apa yang dialami anaknya saat di China membuat trauma.

"Kalau sudah sampai di Indonesia, pengin di kesehatannya, takutnya di sana anak tertekan," ungkapnya.

Sementara itu, kuasa hukum keluarga RR, Rangga Suria Danuningrat, menyatakan gadis itu kini berada di Guangzhou China dan pihak KJRI Guangzhou telah berkoordinasi dengan kepolisian setempat.

Bahkan menurut Rangga, kepolisian setempat telah melakukan pemeriksaan terhadap sosok pria yang mengaku-ngaku telah menikahi RR.

"Yang pertama di BAP RR, yang kedua [pria yang mengaku] suaminya. Namanya ada BAP berarti ada pemeriksaan polisi, ada keterlibatan polisi, polisi menyelidik berarti kan," ujarnya.

Media files:
01k5gd9529sfzpej98svrnkkdn.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.