Apr 20th 2024, 22:41, by Ochi Amanaturrosyidah, kumparanNEWS
Kuasa hukum Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN), Refly Harun, optimistis Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan gugatannya di Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Menurut Refly, dari para hakim itu, ada tiga orang yang dulu memberikan dissenting opinion pada Putusan Nomor 90.
Putusan Nomor 90 ini membahas soal ambang batas usia bakal capres-cawapres. Putusan inilah yang kemudian melanggengkan langkah cawapres Gibran Rakabuming Raka untuk maju di Pilpres 2024--dan kemudian digugat di PHPU.
"Kalau kita berhitung dari putusan [yang meloloskan] Gibran, biar kita tidak sekadar omon-omon, ada tiga hakim konstitusi yang kemarin dissenting terhadap Putusan 90," kata Refly dalam acara Diskusi di Sekretariat Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (20/4).
Ketiga hakim itu adalah Ketua MK saat ini, Suhartoyo; Wakil Ketua MK, Saldi Isra; dan Arief Hidayat. Selain itu, kata Refly, ada dua hakim konstitusi lainnya yang menyatakan concurring opinion dalam Putusan 90.
"Saya berharap mereka yang menolak putusan 90 termasuk kelompok yang mengabulkan [gugatan] kita, insyaallah. Kemudian mereka bisa mempengaruhi atau terpengaruh," ungkap Refly.
"Kalau posisinya 3-3 cukup satu saja, satu saja kepada misalnya kemarin yang menolak mengabulkan putusan itu dengan mengajukan dissenting maka saya optimistis karena 4 hakim asal ada ketuanya di kelompok yang mengabulkan," pungkasnya.
Adapun permohonan kubu Anies-Muhaimin salah satunya adalah agar Gibran didiskualifikasi dan dilakukan pemungutan suara ulang (PSU). Dikutip dari laman MK, sidang pembacaan putusan akan digelar Senin (22/4) pukul 09.00 WIB.
Apr 19th 2024, 15:42, by Muhammad Thaufan Arifuddin, Muhammad Thaufan Arifuddin
Baru saja Mendikbud, Nadiem Makarim, berbicara banyak hal tentang seragam sekolah. Sejatinya, masalah pendidikan kita bukan baju sekolah. Sebab baju adalah hal yang sangat artifisial, bukan solusi stagnasi pendidikan di Indonesia.
Tetapi, persoalan utama pendidikan kita adalah hal yang lebih esensial dan fundamental baik di level pendidikan dasar sejak TK sampai SLTA maupun di level pendidikan tinggi pada program diploma atau kesarjanaan di universitas.
Pada level pendidikan dasar sejak TK hingga SLTA yang dibutuhkan secara substansial adalah masalah akses pendidikan yang murah dan inklusif di satu sisi, dan pada sisi lain adalah memastikan ranking PISA (Programme for International Student Assessment) Indonesia yang terdiri atas kemampuan matematika, sains dan literasi/reading naik secara signifikan.
Sebagai informasi per 2022, ranking PISA pelajar Indonesia hanya menempati posisi 68 dengan skor matematika (379), sains (398), dan membaca (371). Posisi Indonesia masih di bawah Malaysia dan lebih jauh di peringkat bawah jika dibandingkan dengan Singapura yang selalu langganan di ranking top 5.
Hal ini terjadi karena guru dan murid di sekolah dibebani hal-hal yang seremonial dan administratif saja yang tak berdampak kepada literasi atau kemampuan sains dan matematik mereka seperti yang dituliskan oleh Naufalul Ihya Ulumuddin dalam Mojok.co
Hal yang juga tak jauh berbeda di level perguruan tinggi di mana dosen diberi beban kerja yang sangat administratif dan tidak menunjang peningkatan kemampuan akademik dan penelitian.
Prakondisi yang seharusnya ideal di level pendidikan dasar sejak TK hingga SLTA seharusnya terkoneksi dengan kebijakan yang strategis di level perguruan tinggi yaitu memastikan akses pendidikan tinggi yang juga harus murah dan inklusif di satu sisi, dan di sisi lain adalah memastikan keahlian mahasiswa di bidang kajiannya yang disertai dengan penguasaan soft skill yang baik.
Hanya dengan memastikan dua level inilah, maka masa depan Indonesia bisa dibayangkan akan lebih baik karena generasi yang lahir adalah generasi yang cerdas dan berkualitas. Bonus demografi akan benar-benar menjadi bonus demografi dan bukan bencana demografi.
Seharusnya Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, memikirkan untuk mentransformasi hal yang fundamental ini dan bukan sekadar menghabiskan energi membangun wacana publik yang insignifikan.
Dari berbagai kebijakan Nadiem Makarim yang cenderung berkiblat kepada model pendidikan liberal di negara maju yang dibungkus dalam paradigma Merdeka Belajar sejatinya masih kurang nyambung dan tepat di Indonesia karena masih banyak persoalan struktural pendidikan yang belum selesai seperti yang diuraikan di atas.
Merdeka Belajar hanya bisa diterapkan secara efektif ketika fasilitas pendidikan di berbagai level sudah memadai, SDM guru dan dosen memadai, administrasi birokrasi yang cepat dan mendukung (bukan membebani seperti hari ini baik di level pendidikan dasar maupun pendidikan tinggi), serta kreatifitas dan antusiasme yang tinggi dari peserta didik.
Alhasil, Nadiem Makarim seharusnya mendorong revolusi struktural pendidikan di negeri ini agar akses pendidikan di level dasar dan perguruan tinggi mudah diakses dan inklusif serta memastikan kualitas hasil pendidikan yang terukur dengan memastikan kenaikan ranking PISA siswa Indonesia di level pendidikan dasar dan penguatan keahlian mahasiswa Indonesia di berbagai bidang kajian yang disertai dengan soft skill yang baik di semua universitas di Indonesia.
Tentu, yang lebih penting adalah memastikan prakondisi yang baik terutama fasilitas dan SDM sebelum mendorong paradigma pendidikan yang liberal humanis di Indonesia. Mungkin ini hanya terwujud jika anda (yang sedang membaca tulisan ini) jadi Mendikbud.