Search This Blog

Szeged: Oase Ukhuwah Islamiah di Bumi Eropa Tengah

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Szeged: Oase Ukhuwah Islamiah di Bumi Eropa Tengah
Mar 16th 2024, 22:25, by Muhammad Arinal Rahman, Muhammad Arinal Rahman

Harmoni dan keakraban muslim di Szeged, Hungaria | Sumber: dokumentasi pribadi
Harmoni dan keakraban muslim di Szeged, Hungaria | Sumber: dokumentasi pribadi

Menjadi Mahasiswa PhD dan Menjalani Puasa di Szeged, Hungaria

Ketika bulan Ramadan mendekati, kerinduan akan suasana khas Ramadan di tanah kelahiran mulai menyelinap ke dalam hati. Suasana penuh kehangatan dan keceriaan itu sungguh tak tergantikan. Namun, takdir membawa saya menjelajahi jalan yang berbeda, menembus samudra ilmu di Eropa Tengah yang dipenuhi dengan sejarah dan kebudayaan yang begitu memesona.

Saat ini, saya tengah meniti perjalanan studi PhD di bidang Linguistik Terapan di Universitas Szeged, Hungaria. Petualangan ini memang penuh tantangan, namun juga sangat menarik!

Meski terpisah jauh dari gemerlap Ramadan di tanah air, dalam menjalani kehidupan sebagai seorang muslim, saya tetap merasa begitu dekat dengan kehangatan spiritual yang begitu mendalam bulan Ramadan ini. Di tengah deretan bangunan klasik bersejarah dan jalanan berbatu di kota kecil Szeged, setiap langkah yang saya ambil merupakan bagian dari perjalanan untuk lebih memahami dunia dan agama, sambil berjuang meraih gelar doktor yang saya impikan.

Meski merindukan aroma makanan berbuka di pasar tradisional di kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, namun di sini saya menemukan kedamaian dalam berbagi hidangan berbuka puasa dengan komunitas Muslim lokal Szeged. Dalam suasana yang berbeda, namun tetap sarat akan makna, saya belajar untuk menghargai nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas yang Ramadan tawarkan, di manapun kita berada.

Lembaran baru harus dibuka, menghadirkan cerita-cerita kehidupan baru bagi para Muslim di tanah ini. Memasuki bulan suci Ramadan di Szeged, tantangan yang harus dihadapi memang tidak mudah. Sebagai minoritas, sedikit banyak rasa terisolasi menghinggapi.

Kebiasaan dan budaya masyarakat sekitar seolah tidak mengindahkan kehadiran Ramadan. Hiruk pikuk aktivitas berlangsung normal, orang-orang hilir mudik menikmati makan dan minum di depan mata tanpa merasa canggung.

Para dosen di kelas saya pun tidak ada yang mengetahui ataupun ingin tahu apakah ada mahasiswa Muslim yang tengah menjalankan ibadah puasa di kelasnya. Semua berjalan seperti perkuliahan biasanya.

Namun, dalam ketidakpastian itu, saya menemukan kekuatan baru. Karena pada akhirnya, dalam ketidakseragaman ini, ada kesempatan untuk memperkenalkan makna Ramadan kepada orang-orang di sekitar saya.

Hari raya Idul Fitri yang akan datang menjadi momen yang menarik dan menantang. Saya mendapatkan giliran untuk presentasi pada 10 April 2024, tepat pada hari raya Idul Fitri. Tantangan bagi saya adalah bagaimana tetap mempertahankan semangat diri dalam momen lebaran di tengah-tengah kesibukan akademis.

Untung saja presentasi ini dilaksanakan pada pukul 12 siang sehingga pagi harinya saya masih bisa mengikuti salat Idul Fitri berjemaah di masjid dan bersilaturahmi dengan setiap muslim di Szeged, khususnya teman-teman Muslim dari Indonesia, agar nanti bisa mengobati rasa rindu dengan lebaran di kampung halaman. Intinya, Ramadan kali ini, walau berbeda, tetapi tetap begitu istimewa.

Menunggu waktu berbuka puasa | Sumber: dokumentasi pribadi
Menunggu waktu berbuka puasa | Sumber: dokumentasi pribadi

Jejak Islam di Hungaria

Szeged, kota kecil nan asri di pinggiran sungai Tisza ini menyimpan sejuta kisah masa lalu. Tak hanya bagi bangsa Magyar, tetapi juga peradaban Islam yang pernah berjaya di wilayah ini. Sejarah telah mencatat, Hongaria merupakan wilayah kekuasaan Kekaisaran Utsmaniyah (Turki Utsmaniyah) selama lebih dari 150 tahun pada masa kejayaannya di abad 16-17 Masehi. Ratusan masjid, sekolah, bahkan universitas didirikan di 39 kota di sini untuk menyebarkan peradaban Islam kala itu.

Namun, sejarah memang kerap tak terduga. Setelah kekalahan Turki Utsmaniyah dari Kekaisaran Habsburg, jejak-jejak Islam lenyap ditelan zaman. Masjid-masjid bersejarah dan institusi pendidikan diambil alih, diubah fungsi atau bahkan dimusnahkan. Yang tersisa hanya folklore dan bangunan kuno berornamen Islam yang menjadi objek studi dan pariwisata semata.

Salah satu peninggalan ikonik yang masih berdiri adalah Masjid Pasya Qasim di Pecs, sebuah masjid megah yang dibangun pada 1543-1546 M di masa keemasan Turki Utsmaniyah. Untuk menuju ke sana dari kota Szeged perlu sekitar 2 atau 3 jam menggunakan bus antar kota. Sayangnya, masjid yang menjadi ikon wisata Pecs itu telah diubah menjadi gereja Katolik oleh pihak Yesuit pada 1702 setelah Habsburgia mengusai wilayah tersebut.

Sisa-sisa kemegahan masa lalu hanya bisa disaksikan lewat arsitektur bergaya Turki yang masih tersisa dari bangunan bersejarah tersebut. Menyaksikan langsung sisa-sisa kemegahannya membuat kita menyadari betapa Islam pernah bersemi di tanah subur ini. Membangkitkan semangat untuk terus membawanya berkembang di masa kini.

Berbincang-bincang dengan berbagai muslim dari berbagai negara sembari menunggu makanan dihidangkan | Sumber: dokumentasi pribadi
Berbincang-bincang dengan berbagai muslim dari berbagai negara sembari menunggu makanan dihidangkan | Sumber: dokumentasi pribadi

Menyibak Pesona Szeged di Bulan Ramadan

Di sudut kota Szeged terdapat sebuah masjid kecil bernama Masjid Szeged, tempat terbentukanya ikatan ukhuwah yang menghangatkan jiwa perantau Muslim seperti kami. Masjid ini jangan kalian bayangkan seperti masjid di Indonesia, karena sejatinya masjid ini hanyalah sebuah bangunan biasa yang di atas bangunannya adalah tempat parkir mobil dan di samping nya ada toko ritel kecil bernama "Goods Market". Sangat-sangat tidak terlihat seperti masjid.

Saya pun pertama kali menuju ke masjid ini serasa tidak percaya bahwa ada masjid di lingkungan tersebut, tetapi saat sudah memasuki bangunannya, baru terlihat karpet sajadah dan mimbar khotbah yang menjadikan saya yakin bahwa ini adalah sebuah masjid.

Meski kecil dan hanya satu-satunya masjid di kota ini, namun rasa persaudaraan antar jemaahnya begitu kokoh terjalin. Mereka saling menggembleng semangat dalam menjalankan ibadah puasa meski jauh dari tanah kelahiran. Mengawali hari di bulan Ramadan, terharu merasakan betapa persahabatan dan ikatan keimanan melampaui batas geografis dan etnisitas.

Di masjid ini, Anda akan bertemu jemaah dari berbagai negara dan suku-Turki, Arab, Afrika, bahkan Eropa Timur sekalipun. Dari latar belakang yang beragam, mereka berkumpul menjadi satu keutuhan dalam merajut tali ukhuwah Islamiyah. Sungguh pemandangan yang jarang Anda saksikan di tempat lain.

Seusai salat maghrib berjemaah, seluruh jemaah berbondong-bondong duduk di aula masjid. Di sanalah buka puasa akan dilakukan dengan menu istimewa hidangan khas negeri Timur Tengah dan Afrika yang disajikan panitia. Semerbak aroma daging panggang dan rempah-rempah menggoda selera.

Dari kurma manis sebagai pembuka lalu dilanjutkan dengan sup daging yang gurih, nasi kebuli, nasi kari, dengan ayam kalkun, hingga kue-kue manis berkremah rempah khas negeri Arab untuk penutup. Satu demi satu hidangan lezat yang menggugah dapat disantap bersama saudara seiman dengan suka cita.

Di sudut lain, anak-anak berlarian dengan riang gembira. Meski jauh dari tanah kelahiran mereka, semangat bulan Ramadan tetap membara dalam diri mereka. Mengingat kembali kisah dan pengalaman sewaktu kecil kala berbuka puasa di kampung halaman dulu.

Mengayunkan langkah ke masjid usai menikmati hidangan lezat bak wisata kuliner Timur Tengah. Alunan azan magrib menggema, mengiring kaki untuk kembali menyatu di saf-saf salat tarawih berjemaah. Dipimpin sang imam, seluruh jemaah menadah tangan dalam doa. Merenungkan firman-firman ilahi yang diturunkan Sang Maha Pencipta pada bulan mulia ini.

Diikuti penuh khusyuk salat tarawih 8 rakaat diselingi sedikit ceramah dari sang imam dalam bahasa Arab setelah rakaat ke empat dan berlanjut salat witir 3 rakaat. Hingga akhirnya larut memeluk malam, semua aktivitas ditutup dengan tahmid dan salawat pada Rasulullah saw hingga pertemuan esok hari.

Inilah kekhasan mengalami Ramadan sebagai mahasiswa Muslim di Szeged. Kota kecil di sudut Hongaria yang menyimpan jejak sejarah Islam masa lampau. Di sini Anda akan menyaksikan betapa kuatnya ikatan ukhuwah Islamiyah mampu merajut berbagai suku dan etnis yang berbeda menjadi satu keluarga besar dalam menapaki jalan kebenaran. Nuansa peradaban Islam yang dulu memayungi wilayah ini mungkin telah pudar.

Tapi, semangat untuk menebarkan cahaya ketakwaan kepada seluruh alam tak akan pernah padam bagi para pengiringnya. Ramadan di tanah rantau ini mengingatkan bahwa janjiNya menjadi pedoman untuk selalu merindukan ukhuwah dan bertauhid di mana pun berada. Bersiaplah untuk mengintip kisah mengagumkan di balik Ramadan di sudut kota Szeged.

Media files:
01hs1a25b578v9eq5p4x7dk6st.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Cerita Pedagang Starling yang Raup Berkah di Tengah Musim Hujan

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Cerita Pedagang Starling yang Raup Berkah di Tengah Musim Hujan
Mar 16th 2024, 23:00, by Ochi Amanaturrosyidah, kumparanNEWS

Jamilah (49), salah satu pedagang starling di Kalibata, saat ditemui di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (16/3).  Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Jamilah (49), salah satu pedagang starling di Kalibata, saat ditemui di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (16/3). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan

Rintik hujan mulai membasahi aspal di Jalan Raya Kalibata, Sabtu (16/3) sore. Beberapa pengendara motor tampak mempercepat laju kendaraannya, berharap sampai tujuan sebelum hujan makin deras. Namun tak sedikit pula yang memilih menepi dan berteduh di bawah flyover.

Jamilah, perempuan berusia 49 tahun itu, tak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan sigap ia mendekati para pengendara motor yang menepi untuk menjajakan jas hujan dagangannya.

Jamilah sebenarnya adalah pedagang starling, atau penjaja kopi keliling. Namun di tengah musim penghujan, Jamilah menambah jenis dagangannya: jas hujan.

Jamilah (49), saat menjajakan jas hujannya di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (16/3).  Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Jamilah (49), saat menjajakan jas hujannya di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (16/3). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan

Harga jas hujan yang ia tawarkan bervariasi, namun semuanya masih terbilang terjangkau. Jas hujan plastik atasan saja ia jual seharga Rp 10 ribu, sedangkan untuk satu set atasan dan bawahan ia jual Rp 15 ribu.

Ia juga punya jas hujan yang lebih premium. Bahannya karet, lengkap satu set atasan dan bawahan. Jas hujan ini ia jual seharga Rp 45 ribu.

"Alhamdulillah, tadi yang laku tiga jas hujan yang Rp 10 ribu," ujar Jamilah senang sambil merapikan kerudung putih yang ia kenakan, kepada kumparan, Sabtu (16/3).

Untuk satu jas hujan, perempuan tiga anak ini meraup untung antara Rp 3 ribu hingga Rp 5 ribu. Meski jenis dagangannya bertambah, namun Jamilah mengakui, terkadang jas hujan dagangannya tak laku seharian meski hujan mengguyur deras.

Sepeda yang digunakan Jamilah (49) untuk berjualan di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan.  Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Sepeda yang digunakan Jamilah (49) untuk berjualan di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan. Foto: Fadhil Pramudya/kumparan

Jamilah dulunya bekerja sebagai pemulung bersama suaminya. Namun tiga tahun setelah suaminya meninggal dunia pada 2008 lalu, ia memutuskan banting setir menjadi pedagang starling demi buah hatinya.

Dulu, kata Jamilah, ia mulai berjualan hanya dengan modal keranjang ukuran 48x35x15 cm saja. Setelah bekerja keras selama setengah tahun, ia bisa membeli sepeda City Bike Everbest berwarna merah muda yang hingga kini membantunya mencari nafkah.

Biasanya sepeda itu ia titipkan di stasiun. Dari rumah menuju stasiun, Jamilah memilih menggunakan angkutan umum. Biasanya ia berdagang sambil mengasuh anak bungsunya dari mantan suami kedua yang kini masih berusia 5 tahun.

Sedangkan dua anak Jamilah lainnya dari suami pertama, kini sudah berusia 19 tahun dan 18 tahun. Keduanya bekerja di sebuah tempat cuci mobil di Cibubur.

Jamilah (49), saat menjajakan jas hujannya di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (16/3).  Foto: Fadhil Pramudya/kumparan
Jamilah (49), saat menjajakan jas hujannya di Jalan Raya Kalibata, Jakarta Selatan, Sabtu (16/3). Foto: Fadhil Pramudya/kumparan

Selama berjuang itulah, Jamilah mengakui, tak sedikit fitnah dan cacian yang diterimanya. Bahkan saat masih menjadi pemulung, ia pernah dituduh mencuri.

"Saya sempat difitnah juga, dikira nyolong barang orang. Saya sempat diusir juga saat memulung," tuturnya.

Namun bagi Jamilah, hal semacam itu tak perlu ia pedulikan. Prinsipnya, selagi tak merugikan orang lain, maka akan ia jalani demi memberi penghidupan bagi buah hati.

"Prinsipnya mah gitu saya, orang mau jahatin saya, saya enggak mikirin. Yang penting saya nafkahin anak saya, enggak ngerugiin orang juga," pungkasnya.

Media files:
01hs3v49sp04fbqqn69nr43pkn.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.