Sep 30th 2023, 21:58, by Munawar Khalil N, Munawar Khalil N
Juli 2023 lalu, sebuah restoran di Provinsi Sichuan, China harus berurusan dengan aparat karena mengadakan kontes makan lebih dari 100 pangsit hadiah makanan gratis dan hadiah lainnya. Menurut otoritas setempat, aksi restoran itu melanggar UU anti food waste yang mengatur larangan membuang-buang makanan.
Menurut UU tersebut, pemilik restoran dapat didenda hingga 10 ribu Yuan atau sekitar 21 juta rupiah karena membujuk atau menyesatkan pelanggan untuk memesan makanan secara berlebihan sehingga menyebabkan pemborosan pangan. Bahkan dalam UU yang disahkan pemerintah China pada April 2021 tersebut secara eksplisit melarang Mukbang bagi para influencer yang di-upload di media sosial dan bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi denda 100.000 yuan atau sekitar 220 juta rupiah.
UU anti food waste ini merupakan langkah konkret pemerintah China memerangi sampah pangan. Terjadinya kelaparan, gagal panen akibat bencana alam, hingga pandemi Covid-19 menjadikan isu food waste harus segera ditangani dan harus ada regulasi yang "memaksa" masyarakat untuk sadar terhadap pemborosan pangan. Sebab penyadaran melalui kampanye dan sosialisasi ditengarai belum menunjukkan hasil yang diharapkan.
Meskipun negara China dikenal dengan regulasi yang ketat di bawah rezim komunis, dan memberlakukan aturan food waste secara represif dengan denda yang cukup besar, para netizen di negeri panda ini juga mempertanyakan efektivitas UU tersebut melalui media sosial. Ada yang menganggap regulasi pemerintah ini terlalu mengekang kebebasan selera masyarakat, dan mempertanyakan apakah pangan yang dihemat tersebut berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat miskin.
Bagaimana dengan Indonesia?
Seperti China, Indonesia juga sepatutnya menempatkan food waste sebagai salah satu isu yang penting untuk menjadi arus utama dalam kaitannya dengan ketahanan pangan. Urgensi pengarusutamaan food waste ini mengingat Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat pemborosan pangan yang tinggi.
Hasil kajian Bappenas 2021 menyebutkan, pada periode 2000-2019 limbah makanan di Indonesia mencapai 23 juta ton-48 juta ton per tahun. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebagai dampak dari limbah makanan ini mencapai 213 triliun rupiah hingga 551 triliun rupiah per tahun atau setara 4 hingga 5 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Belum lagi dampak lingkungan yang dihasilkan dari sampah pangan yang diperkirakan menyumbang 7,3% emisi Gas Rumah Kaca (GRK) setiap tahun.
Melihat dampak buruk dari sampah pangan tersebut, kesadaran pentingnya isu food waste masih harus terus didorong oleh semua pihak baik pemerintah, organisasi masyarakat, komunitas, hingga media.
Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) merupakan salah satu institusi pemerintah yang saat ini memiliki concern terkait food waste. Lembaga yang secara resmi terbentuk pada tahun 2021 dan baru beroperasi setelah dilantiknya Kepala NFA Arief Prasetyo Adi pada 22 Februari 2022 ini terus bergerak mendorong pengurangan pemborosan pangan melalui serangkaian langkah aksi bersama stakeholder terkait.
Melalui kampanye Gerakan Selamatkan Pangan, NFA bersama pemerintah daerah, asosiasi pegiat anti food waste serta stakeholder lainnya membangun kesepahaman yang sama akan pentingnya melakukan aksi pengurangan boros pangan. Berdasarkan dokumen NFA, Gerakan Selamatkan Pangan berfokus pada tiga kegiatan utama yaitu penyediaan, pengumpulan, penyortiran, pengolahan, dan penyaluran pangan melalui donasi pangan; penyediaan platform penyelamatan pangan yang dapat diakses secara digital; serta sosialisasi, edukasi, dan advokasi lewat kampanye "Stop Boros Pangan" serta "Belanja Bijak".
Namun upaya persuasif melalui kampanye stop boros pangan belumlah cukup kuat dalam mengubah perilaku masyarakat dalam waktu singkat. Karena itu, dibutuhkan suatu regulasi yang lebih mengikat sehingga terbentuk suatu kebiasaan baru dalam cara kita memperlakukan pangan. Sebab boros pangan pada sebagian masyarakat telah menjadi semacam budaya yang dianggap lumrah.
Memang sudah ada regulasi yang mengatur terkait sampah termasuk sampah makanan yaitu UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah beserta peraturan turunannya. Namun regulasi tersebut berorientasi pada aspek keberlanjutan lingkungan hidup sehingga dibutuhkan regulasi yang diarahkan pada aspek ketahanan pangan. Tentunya dua aspek ini saling berkaitan, dan dalam penyusunan regulasinya terharmonisasi dengan baik.
Dalam Peringatan Hari Kesadaran Internasional tentang Food Loss and Waste pada Jumat (29/09/2023) di Jakarta, Kepala NFA Arief Prasetyo Adi mendukung dilakukannya penguatan regulasi untuk mengubah perilaku boros pangan karena isu ini bukan saja telah menjadi tantangan nasional tapi juga permasalahan global. Anggota Komisi IV DPR RI Ravindra Airlangga juga mendukung penguatan regulasi terkait isu ini dengan mendorong dirumuskannya peraturan perundangan dan menjadi agenda pembahasan di parlemen.
Utusan Khusus Presiden (UKP) RI Bidang Kerja Sama Pengentasan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Muhammad Mardiono juga menegaskan bahwa untuk menekan boros pangan merupakan berasal dari perubahan budaya yang kuat yang diinisiasi dari pemerintah. Ia mencontohkan penggunaan pupuk kimia yang diperkenalkan pada awal tahun 70-an pada mulanya ditentang oleh para petani karena mereka masih menggunakan pola pemupukan tradisional. Namun setelah melalui proses edukasi yang masif dan keterlibatan pemerintah secara kuat, akhirnya penggunaan pupuk kimia diterapkan di seluruh nusantara.
Tantangannya tentu cukup besar mengingat negara ini berbeda dengan China. Kita dihadapkan pada karakteristik masyarakat yang terbuka dan bebas menyuarakan aspirasi di media. Di satu sisi, situasi ini menguntungkan karena masukan dari berbagai kelompok masyarakat diperlukan dalam proses penyusunan regulasi, Di sisi lain, pemerintah akan lebih sibuk menghadapi suara-suara "berisik" para netizen yang budiman manakala regulasi tersebut dipandang represif dan "mengganggu" selera pangan masyarakat.
Sep 30th 2023, 21:55, by Yudhi Andoni, Yudhi Andoni
Bagaimana bila Gerakan 30 September tahun 1965 (G30S/1965) lalu berhasil? Akan seperti apa wajah negara bangsa ini pasca keberhasilan itu? Bagaimana kehidupan masyarakat Muslim Indonesia yang menjadi "musuh" ideologi" PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berkemungkinan berada di balik G30S/1965?
Sejarah sebenarnya tak membayangkan apa yang tidak terjadi. Ia berada di atas "apa yang sesungguhnya terjadi". Dan para sejarawan-lah yang menuliskan berdasarkan "apa yang menurutnya penting" untuk diungkapkan.
Bagaikan lautan luas, demikianlah sebuah sejarah terjadi. Banyak faktor penyebabnya seperti jumlah air lautan. Sementara sejarawan cuma memahaminya seperti tetesan embun. Jadi karya-karya sejarah yang ada sebenarnya relatif tak mampu menangkap realitas yang tampak sekalipun, apalagi bermain pada tataran imajinasi masa datang.
Meskipun sejarah bicara masa lalu, namun spektrum kerja para sejarawan berada jua di masa datang. Sejarawan dapat memperkirakan apa yang akan terjadi berdasarkan jejak-jejak aktivitas manusianya dan perbandingan dengan peristiwa yang sama terjadi di tempat lain. Demikian jua bila G30S/1965 melalui Dewan Revolusi-nya berhasil mengubah tatanan negara kita.
Satu kata yang akan terjadi bila G30S/1965 berhasil menumbuhkan rezim baru; darah! Darah akan mengalir ke mana-mana. Perang saudara seperti akhir 1950an yang melibatkan PRRI/Permesta, DII/TII, Pemberontakan Andi Azis, dan sebagainya akan kembali tumbuh bak cendawan di musim hujan.
G30S sendiri merupakan kumpulan militer dan politisi yang mencoba merebut kekuasaan sah dari Presiden Sukarno. Kudeta mereka telah memakan korban petinggi militer dari Angkatan Darat. Mereka adalah Jenderal TNI Ahmad Yani, Mayor Jenderal Siwondo Parman, Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan, Mayjen M.T Haryono, Mayjen R. Suprapto, Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Czi. Pierre Tendean.
Tujuh Pahlawan Revolusi di atas merupakan tumbal awal G30S bersama Dewan Revolusi mereka. Tidak ada garansi kalau darah tak kembali bersimbah pasca kematian 7 Pahlawan Revolusi itu. Bila Dewan Revolusi memang menjadi institusi wayang PKI, maka akan semakin besar banjir yang terjadi.
Kaum komunis di Indonesia memiliki musuh ideologis, politis, dan historis. Musuh mereka adalah Kaum Muslim dan Tentara, khususnya AD. Orang-orang komunis sejak masa kolonial beririsan pedis dengan umat Islam. Meski PKI lahir dari rahim para ulama, entah bagaimana mereka pun saling hantam pada 1948 di Madiun. Gesekan melahirkan kekerasan juga terjadi sejak Sukarno mengumumkan konsepsinya tentang Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).
Konsepsi "tiga kaki" ini benar-benar dimanfaatkan PKI untuk mendapatkan pengaruh ke daerah-daerah yang kuat dengan kelompok Islam, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, Makasar, dan daerah lain di Indonesia. Pokoknya "kursi" untuk orang Komunis mesti disediakan bila satu desa mengadakan acara, terutama kegiatan aparatur pemerintahan.
Suasana kebencian kedua belah pihak juga diperparah dengan penyeretan tentara dalam polarisasi komunis-Islam ini. Rencana PKI membentuk Angkatan Kelima, petani dan nelayan bersenjata membuat AD berang. Angkatan Kelima mereka anggap sebagai kekuatan penyeimbang yang membahayakan.
Puncak tripartit konflik ini akhirnya pecah pasca G30S/1965. Dapat dipahami kekalahan unsur-unsur komunis dalam G30S menjadi bulan-bulanan oleh dua kelompok lainnya. Dan sebaliknya bila G30S berhasil maka dapat dipastikan Umat Islam dan AD yang anti-PKI yang akan habis.
Sejarah kemudian lahir pada 1 Oktober 1965. G30S gagal dan hancur. PKI terkena imbas. Anggota komunis banyak ditangkapi, dibunuh, dan infrastruktur politik mereka dihancurkan dua kekuatan yang bersaing dengan mereka secara politis, dan pelampiasan dendam historis.
Sejarah tak bisa diluruskan. Ia seperti aliran air yang tak akan putus oleh tebasan pedang paling tajam sekaligus. Terus mengalir menuju lautan waktu tak bertepi.
Hakikat sejarah dan karya sejarawan adalah tafsir terbuka. Setiap zaman dan masing-masing generasi berhak menafsirkan masa lalu mereka. Apa pun tafsir saban waktu dan generasi itu tak akan mengubah "apa yang sesungguhnya terjadi".
Jadi ketika sejarawan memberi prediksi, maka ia pada hakikatnya membayangkan apa yang semestinya tak terjadi dan bisa bersyukur karena terhindar dari dampak paling buruk dari peristiwa masa lalu itu.