Sep 30th 2023, 21:55, by Yudhi Andoni, Yudhi Andoni
Bagaimana bila Gerakan 30 September tahun 1965 (G30S/1965) lalu berhasil? Akan seperti apa wajah negara bangsa ini pasca keberhasilan itu? Bagaimana kehidupan masyarakat Muslim Indonesia yang menjadi "musuh" ideologi" PKI (Partai Komunis Indonesia) yang berkemungkinan berada di balik G30S/1965?
Sejarah sebenarnya tak membayangkan apa yang tidak terjadi. Ia berada di atas "apa yang sesungguhnya terjadi". Dan para sejarawan-lah yang menuliskan berdasarkan "apa yang menurutnya penting" untuk diungkapkan.
Bagaikan lautan luas, demikianlah sebuah sejarah terjadi. Banyak faktor penyebabnya seperti jumlah air lautan. Sementara sejarawan cuma memahaminya seperti tetesan embun. Jadi karya-karya sejarah yang ada sebenarnya relatif tak mampu menangkap realitas yang tampak sekalipun, apalagi bermain pada tataran imajinasi masa datang.
Meskipun sejarah bicara masa lalu, namun spektrum kerja para sejarawan berada jua di masa datang. Sejarawan dapat memperkirakan apa yang akan terjadi berdasarkan jejak-jejak aktivitas manusianya dan perbandingan dengan peristiwa yang sama terjadi di tempat lain. Demikian jua bila G30S/1965 melalui Dewan Revolusi-nya berhasil mengubah tatanan negara kita.
Satu kata yang akan terjadi bila G30S/1965 berhasil menumbuhkan rezim baru; darah! Darah akan mengalir ke mana-mana. Perang saudara seperti akhir 1950an yang melibatkan PRRI/Permesta, DII/TII, Pemberontakan Andi Azis, dan sebagainya akan kembali tumbuh bak cendawan di musim hujan.
G30S sendiri merupakan kumpulan militer dan politisi yang mencoba merebut kekuasaan sah dari Presiden Sukarno. Kudeta mereka telah memakan korban petinggi militer dari Angkatan Darat. Mereka adalah Jenderal TNI Ahmad Yani, Mayor Jenderal Siwondo Parman, Brigjen TNI Donald Isaac Pandjaitan, Mayjen M.T Haryono, Mayjen R. Suprapto, Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, dan Kapten Czi. Pierre Tendean.
Tujuh Pahlawan Revolusi di atas merupakan tumbal awal G30S bersama Dewan Revolusi mereka. Tidak ada garansi kalau darah tak kembali bersimbah pasca kematian 7 Pahlawan Revolusi itu. Bila Dewan Revolusi memang menjadi institusi wayang PKI, maka akan semakin besar banjir yang terjadi.
Kaum komunis di Indonesia memiliki musuh ideologis, politis, dan historis. Musuh mereka adalah Kaum Muslim dan Tentara, khususnya AD. Orang-orang komunis sejak masa kolonial beririsan pedis dengan umat Islam. Meski PKI lahir dari rahim para ulama, entah bagaimana mereka pun saling hantam pada 1948 di Madiun. Gesekan melahirkan kekerasan juga terjadi sejak Sukarno mengumumkan konsepsinya tentang Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme).
Konsepsi "tiga kaki" ini benar-benar dimanfaatkan PKI untuk mendapatkan pengaruh ke daerah-daerah yang kuat dengan kelompok Islam, seperti di Jawa Timur, Jawa Barat, Makasar, dan daerah lain di Indonesia. Pokoknya "kursi" untuk orang Komunis mesti disediakan bila satu desa mengadakan acara, terutama kegiatan aparatur pemerintahan.
Suasana kebencian kedua belah pihak juga diperparah dengan penyeretan tentara dalam polarisasi komunis-Islam ini. Rencana PKI membentuk Angkatan Kelima, petani dan nelayan bersenjata membuat AD berang. Angkatan Kelima mereka anggap sebagai kekuatan penyeimbang yang membahayakan.
Puncak tripartit konflik ini akhirnya pecah pasca G30S/1965. Dapat dipahami kekalahan unsur-unsur komunis dalam G30S menjadi bulan-bulanan oleh dua kelompok lainnya. Dan sebaliknya bila G30S berhasil maka dapat dipastikan Umat Islam dan AD yang anti-PKI yang akan habis.
Sejarah kemudian lahir pada 1 Oktober 1965. G30S gagal dan hancur. PKI terkena imbas. Anggota komunis banyak ditangkapi, dibunuh, dan infrastruktur politik mereka dihancurkan dua kekuatan yang bersaing dengan mereka secara politis, dan pelampiasan dendam historis.
Sejarah tak bisa diluruskan. Ia seperti aliran air yang tak akan putus oleh tebasan pedang paling tajam sekaligus. Terus mengalir menuju lautan waktu tak bertepi.
Hakikat sejarah dan karya sejarawan adalah tafsir terbuka. Setiap zaman dan masing-masing generasi berhak menafsirkan masa lalu mereka. Apa pun tafsir saban waktu dan generasi itu tak akan mengubah "apa yang sesungguhnya terjadi".
Jadi ketika sejarawan memberi prediksi, maka ia pada hakikatnya membayangkan apa yang semestinya tak terjadi dan bisa bersyukur karena terhindar dari dampak paling buruk dari peristiwa masa lalu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar