Makam yang dirusak di TPU Desa Bantur Timur, Kabupaten Malang. Foto: Dok. Polsek Bantur
Warga Dusun Bantur Timur, Desa Bantur, Kabupaten Malang, geger usai 22 makam di tempat pemakaman umum (TPU) rusak. Peristiwa ini baru diketahui saat ada seorang warga yang melintas di pemakaman umum tersebut.
Menanggapi hal ini, polisi segera turun tangan. Tim Reskrim dari Polsek Bantur sudah mengecek lokasi, pada Jumat (31/10).
Kasi Humas Polres Malang AKP Bambang Subinajar mengungkapkan, saat ini polisi masih menyelidiki aktor di balik pengerusakan makam-makam di Dusun Bantur Timur, Desa Bantur, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.
"Petugas sudah mendatangi lokasi dan melakukan pendataan terhadap makam yang rusak. Tim juga telah meminta keterangan sejumlah saksi untuk memperjelas kronologi kejadian," kata Bambang Subinajar, saat dikonfirmasi pada Sabtu pagi (1/11).
Menurutnya, makam-makam yang rusak mayoritas makam yang dicor dan dikijing. Kerusakan pada bangunan di atas gundukan makamnya. Makam yang rusak pun bervariasi usianya, ada yang sudah lama tapi ada yang masih ada relatif baru.
Makam yang dirusak di TPU Desa Batur Timur, Kabupaten Malang. Foto: Dok. Polsek Bantur
"(Kerusakan usia makam) Yang rusak bervariasi, tapi sebagian di bangunan di atas gundukan tanah makamnya. Dengan total ada 22 makam yang rusak, kondisinya sama ada bekas runtuhan," terangnya.
Pihaknya telah mengamankan sejumlah barang bukti serta mendokumentasikan kondisi di lokasi kejadian. Saat ini kepolisian juga masih mendalami dan bekerja sama dengan warga guna melakukan antisipasi adanya kejadian lanjutan.
"Kami masih mengumpulkan informasi di lapangan. Penyelidikan terus dilakukan untuk mengetahui motif dan siapa yang bertanggung jawab atas perusakan ini," kata dia kembali.
Ia menegaskan bahwa Polres Malang berkomitmen menangani kasus tersebut secara serius dan transparan. Pihaknya mengimbau warga tetap tenang dan tidak terprovokasi isu-isu yang tidak bertanggungjawab pasca kerusakan makam itu.
"Kami imbau masyarakat tetap tenang dan tidak terprovokasi. Percayakan penanganan sepenuhnya kepada pihak kepolisian," tutupnya.
Fenomena living together atau tinggal bersama tanpa ikatan pernikahan bukan lagi sesuatu yang asing, khususnya di kalangan anak muda dan mahasiswa. Di media sosial, kita bisa melihat banyak pasangan yang secara terbuka membicarakan pengalaman mereka hidup bersama meski belum menikah. Ada yang menganggapnya sebagai hal wajar, bahkan sah-sah saja dilakukan selama sama-sama nyaman. Namun, di sisi lain, tidak sedikit pula yang menolak keras dengan alasan bertentangan dengan nilai agama, budaya, dan norma masyarakat di Indonesia.
Sebagai mahasiswa yang sering bersentuhan dengan berbagai perdebatan soal kebebasan individu, saya merasa topik ini menarik untuk dibicarakan lebih jauh. Apalagi di lingkungan kampus, kita sering mendengar isu soal pergaulan bebas, pacaran modern, hingga gaya hidup barat yang mulai diadaptasi di Indonesia. Pertanyaannya, apakah living together benar-benar hanya soal kebebasan memilih gaya hidup, atau ada konsekuensi serius yang perlu dipikirkan lebih dalam?
Pandangan Umum tentang Living Together
Secara sederhana, living together bisa diartikan sebagai keputusan dua orang untuk tinggal bersama dalam satu tempat tinggal meskipun belum menikah. Beberapa orang menganggap ini adalah cara paling realistis untuk saling mengenal lebih dalam. Dengan hidup bersama, mereka bisa melihat kebiasaan kecil pasangannya: bagaimana cara mengatur keuangan, mengurus rumah, hingga menyelesaikan konflik sehari-hari.
Dari sisi ini, memang ada manfaat yang bisa dirasakan. Menurut teori relasi interpersonal, kedekatan emosional seringkali tumbuh lebih kuat ketika seseorang berbagi ruang hidup bersama. Bahkan, menurut survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2019), lebih dari 60% pasangan di Amerika Serikat percaya bahwa cohabitation atau tinggal bersama adalah langkah penting sebelum memutuskan menikah.
Namun, apakah hasil survei seperti ini bisa dijadikan justifikasi bagi mahasiswa Indonesia untuk melakukan hal yang sama? Menurut saya, jawabannya tidak semudah itu. Kita hidup di negara dengan nilai-nilai sosial dan agama yang kuat. Sebagian besar masyarakat masih menganggap tinggal bersama tanpa ikatan sah adalah bentuk penyimpangan. Bahkan Soeprapto (2010) menuliskan bahwa pergaulan bebas, termasuk praktik living together, muncul dari pengaruh budaya luar yang seringkali tidak sesuai dengan nilai luhur bangsa Indonesia.
Perspektif Mahasiswa: Antara Idealisme dan Realisme
Sebagai mahasiswa, saya mencoba melihat fenomena ini dari dua sisi. Di satu sisi, ada dorongan idealisme bahwa setiap orang berhak menentukan pilihannya sendiri. Kebebasan menjadi salah satu isu penting di kalangan anak muda, sehingga wajar jika banyak yang merasa living together adalah urusan pribadi, bukan urusan masyarakat.
Namun, di sisi lain, realitas di lapangan tidak bisa diabaikan. Banyak kasus menunjukkan bahwa living together sering berakhir dengan masalah serius. Misalnya, kehamilan di luar nikah, konflik dengan keluarga, hingga tekanan sosial dari lingkungan. Saya pernah mendengar cerita seorang teman kampus yang memilih tinggal bersama pacarnya karena alasan biaya hidup lebih hemat. Awalnya terdengar logis, tetapi dalam praktiknya justru menimbulkan konflik baru, baik secara emosional maupun sosial.
Dari situ saya menyadari bahwa living together bukan sekadar soal "cocok atau tidak cocok," tetapi juga soal kesiapan mental, tanggung jawab, dan keberanian menghadapi konsekuensinya. Jika hanya didasari oleh rasa cinta tanpa memikirkan masa depan, keputusan seperti ini bisa menjadi boomerang.
Resiko dan konsekuensi Living Together
Banyak orang hanya melihat living together dari sisi kebebasan, padahal risiko yang ditimbulkan cukup besar.
1. Risiko Sosial
Lingkungan di Indonesia masih memandang negatif praktik ini. Bagi mahasiswa, hal ini bisa berdampak pada reputasi, hubungan dengan keluarga, bahkan peluang karier di masa depan.
2. Risiko Psikologis
Tinggal bersama bukan hanya soal berbagi ruang, tetapi juga berbagi beban. Tidak semua orang siap menghadapi tekanan emosi dalam jangka panjang. Jika hubungan kandas, trauma psikologis bisa sangat berat.
3. Risiko Hukum dan Moral
Secara hukum, living together memang tidak diatur secara tegas di Indonesia. Namun, dari sisi moral dan agama, praktik ini jelas menuai banyak penolakan. Hal ini bisa menjadi beban tersendiri bagi pelakunya.
4. Risiko Akademik dan Produktivitas
Bagi mahasiswa, fokus utama seharusnya adalah studi. Tinggal bersama pacar berpotensi mengganggu konsentrasi belajar, apalagi jika hubungan diliputi masalah. Produktivitas akademik bisa menurun drastis karena energi habis tersedot konflik rumah tangga kecil.
Bagi saya pribadi, risiko ini terlalu besar dibandingkan manfaat yang diperoleh. Sebagai mahasiswa yang masih dalam tahap mencari jati diri, saya lebih percaya bahwa ada cara lain untuk mengenal pasangan lebih dalam, tanpa harus hidup serumah sebelum menikah.
Kebebasan Harus Diiringi Tanggung Jawab
Saya memahami bahwa setiap orang punya cara pandang berbeda tentang hubungan. Ada yang merasa living together adalah bentuk kejujuran dalam relasi, ada pula yang menolaknya karena bertentangan dengan nilai pribadi. Tapi bagi saya, kebebasan yang sehat adalah kebebasan yang diiringi dengan tanggung jawab.
Kebebasan tanpa tanggung jawab hanya akan menimbulkan masalah baru. Kalau kita ingin hidup bersama, mengapa tidak sekalian menikah? Dengan menikah, ada ikatan sah yang memberi kepastian, baik dari sisi hukum maupun sosial. Justru living together menurut saya membuat hubungan terasa "abu-abu", tanpa kepastian yang jelas.
Seperti kata Hidayat (2015), "Kebebasan yang tidak diimbangi dengan kesadaran nilai hanya akan melahirkan kebingungan moral." Kutipan ini sangat relevan dengan fenomena living together. Anak muda sering merasa bebas memilih jalan hidupnya, tetapi lupa bahwa ada norma, tanggung jawab, dan konsekuensi yang harus dihadapi.