Nov 17th 2024, 11:24, by Dicky Adam Sidiq, kumparanNEWS
Matahari perlahan pancarkan cahaya lembutnya, saat petani yang hidup di pesisir Pantai Kusamba, Bali, mulai beranjak untuk beraktivitas. Berbeda dengan petani padi yang membutuhkan lahan sawah, petani di sini hidup bergantung dari pasir pantai dan air laut.
Mereka adalah petani garam, setiap hari bekerja dari pagi hingga sore hari demi menghasilkan butir-butir garam dari air laut yang melimpah dengan cara tradisional, khas Kusamba.
Di kawasan Banjar Tribuana, Kusamba, Kabupaten Klungkung, Bali, I Wayan Purna salah satu petani garam berhasil menghidupi keluarganya berkat mata pencaharian ini, konsumennya datang silih berganti mulai dari warga sekitar hingga tamu luar negeri.
Ada sejumlah hal yang membuat garam Kusamba diminati beragam konsumen, yang paling kasat mata ada pada karakteristiknya, dengan warna putih bersih berkilau bak kristal dengan buliran yang sedikit lebih besar dari garam pabrik.
Untuk rasa, dia tidak terlalu asin, lebih gurih, dan ketika petani membuatnya menggunakan palung kelapa maka akan ada sedikit rasa manis tersisa.
Wayan Purna bercerita, karakteristik garam Kusamba ini tak pernah berubah meskipun ia sendiri tak mengetahui sejarah produk ini lahir, yang pasti ia adalah generasi keempat dari keluarganya yang meneruskan kegiatan ini.
"Ini turun temurun, kalau saya dari 1998 bantu bapak, kalau bapak meneruskan dari kakek, setahu saya dari sebelum kakek saya buyut sudah mulai menggeluti. Seingat saya sepanjang Pantai Kusamba pada tahun 1980 semua aktivitas warganya masih bertani garam," katanya.
Dalam satu kali panen, dengan cuaca terik tanpa terhalang mendung, hujan, dan angin kencang, ia bisa memanen 20 kilogram garam, dan jika panen rutin dilakukan maka perkiraan dalam satu bulan ia dapat mengumpulkan 400 kilogram garam.
"Kalau selama ini para petani menyetor ke koperasi sebulan sekali itu 100 kg per bulan. Sisanya saya tampung dalam kantung plastik kalau ada pembeli dikasih, biasanya individu bisa beli sampai 50 kilogram," sebut Wayan Purna.
Kepada koperasi, tiap anggota menjual garam dengan harga Rp 11 ribu per kilogram, sementara untuk pembeli langsung dijual Rp 25 ribu per kilogram tentunya dengan kualitas lebih baik.
Lebih lama garam dibiarkan maka akan semakin kering dan gurih. Garam itulah yang diberikan kepada pembeli dalam negeri maupun luar negeri yang sengaja datang ke rumah tepi pantai mereka.
Jika dihitung, dalam sebulan apabila seluruh hasil panennya habis maka ia dapat mengumpulkan uang mencapai Rp 8,6 juta bersih karena bertani garam tak membutuhkan modal biaya.
Wayan Purna tak tahu pasti peruntukan garam-garam yang dibeli tamu tersebut, namun dari cerita-cerita pelanggan biasanya garam itu digunakan mulai dari konsumsi individu, bahan masakan di restoran, hingga cendramata wisatawan.
"Individu kadang ada yang beli 50 kilogram untuk rendam daging, ada warung makan yang biasa buat sate lilit beli 3 kilogram, ada juga tamu luar negeri beli 1-2 kilogram," sebutnya.
Wisatawan internasional dari Jepang dan Prancis paling sering datang. Kata Wayan, biasanya satu orang membeli 1-2 kilogram garam dan dibagi dalam beberapa kemasan untuk dijadikan oleh-oleh.
Untuk wisatawan domestik, mereka yang berasal dari Jakarta dan Manado paling sering ditemui Wayan Purna. Bahkan mereka kerap meneruskan informasi ke kerabatnya sehingga bisa membeli sampai 50 kilogram.
Hasil dari bertani garam selama ini sangat berguna bagi keluarga petani usia 43 tahun itu, di mana selama hampir 25 tahun kebutuhan keluarganya sepenuhnya diperoleh dari bertani garam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar