Mar 2nd 2024, 09:01, by L Ya Esty Pratiwi, L Ya Esty Pratiwi
Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk menghapus ambang batas parlemen 4% di Indonesia dalam keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 116/PUU-XXI/2023. Keputusan ini diharapkan akan membawa perubahan signifikan dalam peta politik negara ini. Dengan dihapusnya ambang batas, partai-partai kecil dan calon independen memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan kursi di parlemen pada pemilihan 2029 mendatang.
Mahkamah Konstitusi dalam keputusannya mengabulkan gugatan tentang ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Ambang batas 4% yang saat ini berlaku harus direvisi. Terkait perubahan soal ambang batas, MK memberikan setidaknya 5 catatan, yakni:
1) Didesain untuk digunakan secara berkelanjutan
2) Perubahan norma ambang batas parlemen termasuk besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud tetap dalam bingkai menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional terutama untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR
3) Perubahan harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan partai politik
4) Perubahan telah selesai sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029
5) Perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilihan umum dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR.
Mahkamah Konstitusi dengan ini Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi ini diambil setelah Mahkamah Konstitusi menganggap ambang batas 4% bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang diamanatkan dalam konstitusi negara ini. Keputusan ini telah memicu perdebatan sengit di kalangan politisi dan masyarakat. Beberapa melihat penghapusan ambang batas ini sebagai langkah maju bagi demokrasi, sementara pendukung ambang batas berargumen bahwa hal ini bisa menyebabkan kekacauan politik.
Alasan Menghapus Ambang Batas Parlemen 4%
Ambang batas parlemen adalah persyaratan persentase suara yang harus dicapai oleh partai politik atau calon independen agar dapat memperoleh kursi di parlemen. Ambang batas parlemen yang terdapat dalam Pasal 414 UU No. 7 Tahun 2017 pada dasarnya merupakan bentuk komitmen pemerintah untuk menguatkan sistem pemerintahan presidensial, karena sistem multipartai merupakan bentuk kombinasi yang tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. Dalam kasus Indonesia, ambang batas sebesar 4% berarti partai politik atau calon independen harus memperoleh minimal 4% suara nasional untuk mendapatkan kursi di parlemen.
Ambang batas parlemen 4% diterapkan di Indonesia sejak tahun 2009. Tujuannya adalah untuk mengurangi keragaman partai politik di parlemen dan memperkuat partai-partai yang memiliki dukungan massa yang signifikan. Namun, pertentangan terhadap aturan ini muncul karena Parliamentary Threshold terkesan melanggar kedaulatan rakyat dengan cara tidak memberikan kesempatan bagi calon legislatif untuk duduk di parlemen pusat, sekalipun berhasil meraih kursi di daerah pemilihannya, hanya karena parpolnya tidak lolos ambang batas secara nasional.
Angka 4% yang ditetapkan sebagai ambang batas juga dianggap sebagai pelanggaran sistematis terhadap kedaulatan rakyat. Hal ini karena angka tersebut ditentukan hanya melalui proses kompromi elite, bukan kajian ilmiah, maupun lewat aspirasi masyarakat, yang tetap dapat menjaga tegaknya kedaulatan rakyat. Selama dua pemilu terakhir sejak Parliamentary Threshold diterapkan, jumlah parpol di Indonesia tidak berkurang, justru bertambah.
Alasan lain yang melatarbelakangi penghapusan ambang batas parlemen 4% ini. Pertama, ambang batas ini dianggap melanggar prinsip-prinsip demokrasi karena membatasi partisipasi politik warga negara. Kedua, ambang batas ini dianggap tidak adil bagi partai-partai kecil dan calon independen yang memiliki potensi untuk memberikan suara yang signifikan di tingkat lokal atau regional.
Kebijakan Parliamentary Threshold ini sebenarnya sangatlah janggal karena pada kenyataannya kegaduhan yang terjadi di DPR itu bukan diakibatkan oleh banyaknya partai politik di parlemen, tetapi lebih tepatnya diakibatkan oleh banyaknya fraksi di DPR sehingga mengakibatkan tidak efektifnya kinerja parlemen.
Oleh karena itu, penyederhanaan partai politik lebih baik dilakukan di parlemen dengan kebijakan ambang batas pembentukan fraksi (fractional threshold). Ambang batas pembentukan fraksi merupakan kebijakan yang tepat dalam rangka penyederhanaan partai politik dari pada Parliamentary Threshold karena dengan ambang batas pembentukan fraksi tidak ada suara yang hilang dan fractional threshold tidak menyingkirkan caleg yang lolos BPP untuk menjadi wakil di parlemen.
Implikasi Keputusan Terhadap Lanskap Politik
Keputusan penghapusan ambang batas ini berpotensi mengubah lanskap politik Indonesia secara signifikan. Para pengamat politik memperkirakan bahwa partai-partai kecil dan calon independen akan memiliki peluang yang lebih besar untuk memperoleh kursi di parlemen. Hal ini dapat memperkaya representasi politik dan memperkuat pluralisme dalam sistem politik negara ini.
Keputusan penghapusan ambang batas ini memberikan harapan baru bagi partai-partai politik kecil. Mereka sekarang memiliki peluang yang lebih besar untuk mendapatkan kursi di parlemen dan mempengaruhi keputusan-keputusan politik. Namun, partai-partai kecil juga dihadapkan pada tantangan dalam mengorganisir diri dan memperoleh dukungan yang cukup untuk memenangkan pemilihan.
Setelah keputusan penghapusan ambang batas, pemerintah diharapkan untuk merevisi ambang batas parlemen sebelum pemilihan 2029. Proses revisi ini akan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil. Tanggal pasti revisi ini akan ditentukan oleh pemerintah dan akan menjadi fokus perhatian selama beberapa tahun ke depan.
Reaksi dari Partai Politik dan Para Ahli
Keputusan penghapusan ambang batas parlemen ini telah memicu berbagai reaksi dari partai politik dan para ahli. Beberapa partai politik kecil menyambut keputusan ini sebagai peluang untuk meningkatkan representasi politik mereka, sementara partai-partai besar lebih skeptis dan mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya fragmentasi politik. Para ahli juga berpendapat tentang dampak positif dan negatif dari keputusan ini terhadap sistem politik Indonesia.
Perbandingan dengan Ambang Batas Parlemen di Negara Lain
Ambang batas parlemen tidak hanya diterapkan di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain di seluruh dunia. Beberapa negara memiliki ambang batas yang lebih tinggi, sementara yang lain tidak menerapkan ambang batas sama sekali. Membandingkan ambang batas parlemen di Indonesia dengan negara-negara lain dapat memberikan wawasan tentang praktik-praktik politik yang berbeda di berbagai negara.
Keputusan penghapusan ambang batas parlemen ini merupakan perubahan yang signifikan dalam sistem politik Indonesia. Keputusan diharapkan dapat mengubah dinamika politik negara ini dan memberikan peluang baru bagi partai-partai kecil dan calon independen. Namun, implementasi keputusan ini juga akan menyajikan tantangan dan memerlukan reformasi politik yang lebih luas. Masa depan sistem politik Indonesia sangat menarik untuk diikuti, dan semua pihak menantikan hasil dari perubahan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar