Search This Blog

Darurat Bencana dan Stereotipe Negara

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Darurat Bencana dan Stereotipe Negara
Dec 21st 2025, 15:00 by Taufiq A Gani

Seorang warga melintasi sisa dampak bencana di Sumatera Bagian Utara. Pada fase awal darurat, pengalaman warga seperti ini kerap membentuk stereotipe bahwa negara lamban merespons—bukan karena ketiadaan sumber daya, melainkan karena sistem belum bergerak terpadu sejak awal krisis. Gambar: Freepik, dengan AI
Seorang warga melintasi sisa dampak bencana di Sumatera Bagian Utara. Pada fase awal darurat, pengalaman warga seperti ini kerap membentuk stereotipe bahwa negara lamban merespons—bukan karena ketiadaan sumber daya, melainkan karena sistem belum bergerak terpadu sejak awal krisis. Gambar: Freepik, dengan AI

Bencana besar di Sumatera Utara memunculkan penilaian publik bahwa negara lamban merespons. Penilaian ini selaras dengan stereotipe, yaitu gambaran umum yang berulang tentang cara negara bekerja dalam situasi darurat. Dalam stereotipe tersebut, negara dipersepsikan ragu dalam mengambil keputusan, terikat prosedur, dan tidak hadir pada fase awal krisis.

Stereotipe ini terbentuk dari pengalaman publik yang berulang. Namun, masalahnya tidak terletak pada satu institusi tertentu. Pengalaman penanganan bencana di atas menunjukkan bahwa persoalan utama bukan ketiadaan aparatur, regulasi, atau sumber daya, melainkan cara negara beroperasi sebagai satu sistem pada fase awal darurat.

Cara Publik Membaca Negara

Publik menilai negara melalui instrumen-instrumennya. Birokrasi sipil sering diasosiasikan dengan kehati-hatian administratif, seperti keputusan berjenjang dan kepatuhan prosedur. Dalam kondisi normal, pendekatan ini diperlukan untuk menjaga akuntabilitas. Namun dalam kondisi darurat, pendekatan yang sama sering dipersepsikan sebagai keterlambatan.

Di sisi lain, instrumen militer dipersepsikan sebagai aktor yang lebih cepat dan operasional. Harapan publik terhadap militer terletak pada kemampuan bertindak di lapangan, bukan pada proses administratif. Perbedaan persepsi ini memunculkan kesan bahwa negara bekerja secara tidak seimbang, padahal dalam sistem pemerintahan modern, birokrasi sipil dan militer seharusnya berada dalam satu rantai komando yang sama.

Negara dalam Situasi Darurat

Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi Garuda Pancasila. Foto: Shutter Stock

Dalam kondisi normal, negara beroperasi dengan prinsip kepastian hukum, akuntabilitas, dan tata kelola. Prosedur dan hierarki kewenangan menjadi instrumen pengendali. Dalam situasi darurat, prinsip-prinsip ini tetap penting, tetapi harus diimbangi dengan kecepatan pengambilan keputusan.

Pada fase awal bencana, kecepatan respons menentukan efektivitas penanganan. Keterlambatan dalam mengambil keputusan dapat memperbesar dampak krisis. Pada titik ini, negara sering berada dalam dilema antara bertindak cepat dengan risiko administratif atau menunggu legitimasi formal dengan risiko kemanusiaan.

Regulasi Tersedia, Implementasi Tidak Serentak

Kerangka regulasi kebencanaan di Indonesia relatif lengkap. Di dalamnya terdapat pengaturan mengenai pelibatan TNI melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP), yang menempatkan militer sebagai instrumen negara dalam penanganan bencana dan misi kemanusiaan.

Namun, ketersediaan regulasi tidak otomatis menghasilkan tindakan yang terkoordinasi. Dalam praktik di Sumatera Utara, regulasi sering dipahami sebagai batas kewenangan, bukan sebagai dasar untuk pengambilan keputusan cepat. Akibatnya, negara hadir dalam bentuk aturan, tetapi belum berfungsi optimal sebagai sistem operasional terpadu.

Komando Terbentuk, tetapi Tidak pada Fase Awal

Sejumlah warga korban bencana yang terisolir melintasi Daerah Aliran Sungai (DAS) lewat jembatan tali darurat penghubung dari Desa Bergang Kecamatan Ketol, Aceh Tengah dan Desa Simpang Rahmat, Gajah Putih, Bener Meriah, Aceh, Minggu (14/12/2025). Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO
Sejumlah warga korban bencana yang terisolir melintasi Daerah Aliran Sungai (DAS) lewat jembatan tali darurat penghubung dari Desa Bergang Kecamatan Ketol, Aceh Tengah dan Desa Simpang Rahmat, Gajah Putih, Bener Meriah, Aceh, Minggu (14/12/2025). Foto: Syifa Yulinnas/ANTARA FOTO

Pengalaman di Aceh menunjukkan bahwa struktur komando darurat memang terbentuk. Namun, pembentukan tersebut terjadi setelah dampak bencana meluas dan masyarakat telah lebih dahulu melakukan upaya penyelamatan secara mandiri. Secara administratif, negara menjalankan fungsi formalnya. Secara operasional, keterpaduan sistem belum terbentuk pada fase awal.

Dalam konteks penanganan bencana, kehadiran negara diukur dari efektivitas pengendalian sejak awal kejadian, bukan dari kelengkapan struktur setelah situasi berkembang.

OMSP dan Masalah Integrasi Sistem

Pada fase awal darurat, aparat negara mulai mengerahkan personel dan aset, termasuk dukungan udara dan logistik. Kegiatan ini merupakan bagian dari pelaksanaan OMSP. Kapasitas negara tersedia dan dapat digerakkan.

Namun, pengalaman lapangan menunjukkan bahwa pengerahan aset belum sepenuhnya berada dalam satu sistem komando. Informasi mengenai ketersediaan pesawat dan helikopter ada, tetapi akses dan pengendalian di lapangan belum terkoordinasi dengan baik. Aset tersedia, tetapi tidak sepenuhnya terhubung dengan kebutuhan aktual di lapangan.

Anggota TNI diterjunkan melalui operasi udara untuk menjangkau wilayah terdampak bencana. Pelibatan militer ini merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP), instrumen negara untuk misi kemanusiaan. Namun efektivitasnya sangat ditentukan oleh satu hal: komando terpadu. Regulasi dan aset tersedia, tetapi tanpa pengendalian yang terkoordinasi sejak fase awal darurat, kapasitas negara belum sepenuhnya bekerja sebagai satu sistem penyelamatan. Gambar Freepik, dengan AI.
Anggota TNI diterjunkan melalui operasi udara untuk menjangkau wilayah terdampak bencana. Pelibatan militer ini merupakan bagian dari Operasi Militer Selain Perang (OMSP), instrumen negara untuk misi kemanusiaan. Namun efektivitasnya sangat ditentukan oleh satu hal: komando terpadu. Regulasi dan aset tersedia, tetapi tanpa pengendalian yang terkoordinasi sejak fase awal darurat, kapasitas negara belum sepenuhnya bekerja sebagai satu sistem penyelamatan. Gambar Freepik, dengan AI.

Hal ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukan pada kesiapan militer atau birokrasi sipil secara terpisah, melainkan pada ketiadaan mekanisme komando terpadu yang menghubungkan seluruh instrumen negara.

Respons Nasional

Pada tahap berikutnya, respons pemerintah pusat mulai terlihat melalui pernyataan resmi dan publikasi data situasi. Kehadiran pemerintah pusat memperkuat koordinasi antarinstansi. Namun secara operasional, respons ini muncul setelah fase awal darurat terlewati.

Situasi tersebut memperkuat persepsi publik bahwa negara hadir, tetapi tidak cukup cepat pada fase yang paling menentukan.

Perbaikan Cara Negara Bekerja

Stereotipe negara lamban tidak dapat diatasi dengan klarifikasi komunikasi semata. Perbaikan harus diarahkan pada cara negara bekerja dalam situasi darurat. Koordinasi antarlembaga tidak cukup tanpa komando yang jelas.

Sebuah boneka yang terbawa hanyut akibat banjir di Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (11/12/2025). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO
Sebuah boneka yang terbawa hanyut akibat banjir di Kuala Simpang, Aceh Tamiang, Aceh, Kamis (11/12/2025). Foto: Hafidz Mubarak A/ANTARA FOTO

Yang dibutuhkan adalah komando darurat yang tunggal, operasional, dan memiliki kewenangan pengambilan keputusan cepat, sehingga birokrasi sipil dan OMSP dapat bergerak dalam satu sistem yang sama.

Komando yang jelas juga memberikan perlindungan bagi aparatur negara karena keputusan diambil dalam kerangka kewenangan yang tegas dan terukur.

Pengalaman penanganan bencana di Sumatera Utara menunjukkan bahwa kapasitas negara tersedia, tetapi belum selalu terintegrasi pada fase awal darurat. Selama penanganan bencana masih dijalankan dengan pola kerja administratif normal, persepsi keterlambatan akan terus muncul.

Pembenahan tidak memerlukan penambahan regulasi baru, melainkan penguatan mekanisme komando darurat dan integrasi birokrasi sipil dengan OMSP sebagai satu sistem operasional negara. Dengan pendekatan tersebut, respons negara dapat lebih cepat, terkoordinasi, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Media files:
01kcqmvj7phfvwwc7wya2y4w3y.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar