Search This Blog

Ramai Konten Anomali 'Tung Tung Sahur', Begini Dampaknya ke Otak menurut BRIN

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Ramai Konten Anomali 'Tung Tung Sahur', Begini Dampaknya ke Otak menurut BRIN
Jul 23rd 2025, 12:33 by kumparanSAINS

Ilustrasi 'Tung Tung Sahur', salah satu karakter konten anomali. Foto: nsiswan/Shutterstock
Ilustrasi 'Tung Tung Sahur', salah satu karakter konten anomali. Foto: nsiswan/Shutterstock

Anak zaman sekarang punya tontonan yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya. Di layar ponsel mereka, video seperti "Tung tung sahur", "Balerina Cappuccino", "Tralarelo tralala", atau klip absurd dengan suara aneh dan visual tak karuan, diputar berulang-ulang, hingga tak jarang orang tua pun hafal nama-nama konten absurd tersebut.

Awalnya lucu, aneh, dan bikin penasaran. Namun, setelah ditonton terus-menerus, banyak yang mulai bertanya, apakah tontonan seperti ini benar-benar aman untuk anak?

Fenomena ini disebut dengan konten anomali, jenis konten yang tidak punya alur cerita jelas, terlalu cepat, dan sering kali disusun dari potongan-potongan video acak dengan efek suara berlebihan. Karakter absurd yang disuguhkan biasanya hadir dalam bentuk gabungan hewan, manusia, atau benda yang dibuat lewat kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).

Konten semacam ini menjamur dengan bebas di TikTok dan YouTube Shorts, bisa diakses kapan saja. Meski terdengar seperti lelucon internet dan seru, konten singkat, repetitif, dan minim nilai ini ternyata dapat berdampak buruk pada perkembangan psikologis. Ini dapat membuat otak enggak fokus dan gampang lelah. Peneliti menyebutnya sebagai brain rot.

Brain rot adalah kondisi saat otak mengalami penurunan fungsi kognitif dan intelektual akibat konsumsi berlebih konten digital yang kurang berkualitas dan berulang-ulang.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Henry David Thoreau pada 1854. Namun saat itu belum dikaitkan dengan konten digital. Pada 2024, brain rot sempat jadi Oxford Word of the Year 2024, sebagai suatu istilah yang mengancam kerusakan otak di kalangan generasi muda akibat konsumsi digital murah, seperti video absurd, meme tak bermakna, atau scrolling tanpa tujuan di media sosial.

Bagaimana konten anomali bisa menyebabkan brain rot?

Sri Idaiani, psikiater dan periset Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), menjelaskan paparan terus menerus dari konten anomali yang umumnya singkat, bersifat repetitif tapi adaptif, dapat mempengaruhi pengguna dalam mengambil keputusan. Konten juga dapat membuat pengguna jadi mudah lupa karena terbiasa dengan informasi yang bersifat dangkal dan serba cepat.

"Sebenarnya konten yang panjang namun minim nilai pun dapat mengganggu apabila digunakan secara berlebihan. Namun, realitas yang terjadi saat ini justru berbeda," papar Sri dalam postingan di akun Instagram @brin_Indonesia.

"Konten pendek yang minim nilai justru lebih banyak beredar, dan ironisnya, lebih digemari oleh masyarakat. Fenomena ini mencerminkan pergeseran preferensi konsumsi informasi yang lebih mengutamakan kecepatan dan hiburan ketimbang kedalaman dan substansi."

Paparan berlebihan terhadap konten singkat yang minim nilai ini dapat menyebabkan perubahan pada otak seperti terganggunya plastisitas otak, overstimulasi dopamin dan kelelahan mental. Jika berlangsung terus menerus, kondisi ini berpotensi mengganggu fungsi otak lainnya.

"Pada dasarnya, menonton konten media sosial sebaiknya dilakukan secara bijak dan secukupnya. Pilihlah konten yang berkualitas, baik dalam bentuk video pendek maupun panjang. Biasakan untuk menonton hingga selesai agar informasi yang diperoleh lebih utuh dan komprehensif," papar Sri.

Dalam hal ini, anak-anak paling rentan terhadap efek negatif screen time berkualitas rendah, dan orang tua punya peran penting dengan memilih konten dengan bijak, membatasi durasi, dan mengutamakan interaksi nyata.

Jika anak sudah terlanjur kecanduan konten anomali, bukan berarti tidak ada jalan keluar. Orang tua bisa mulai perlahan mengganti waktu layar dengan aktivitas nyata yang menyenangkan, seperti membaca buku, bermain bersama, atau sekadar jalan sore sambil ngobrol. Yang terpenting adalah konsistensi dan keterlibatan emosional.

Anak-anak tidak butuh layar yang bising. Mereka butuh orang tua yang hadir. Kini, memilih konten sama pentingnya dengan memilih makanan. Karena seperti tubuh yang bisa rusak akibat junk food, otak anak pun bisa rusak karena "junk content".

Media files:
01k0twk7g180bzhc9bfqwjhsvs.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar