Jan 15th 2023, 17:13, by Ghinaa Rahmatika, kumparanBISNIS
Kuasa hukum atas lima pihak terlapor dari Grup Wilmar, Assegaf, Hamzah & Partners (AHP) membantah dugaan kartel minyak goreng dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Dalam perkara ini, KPPU menduga sebanyak 27 perusahaan melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Anti Monopoli).
Kuasa hukum Kantor AHP HMBC Rikrik Rizkiyana mengatakan, berdasarkan laporan dugaan pelanggaran yang disusun oleh Investigator KPPU, para terlapor dituduh melanggar atas dua hal, yaitu membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022.
"Namun, berdasarkan bukti dan fakta persidangan yang berjalan sejauh ini, tuduhan tersebut tidak terbukti," ujar Rikrik dalam media briefing di Rumah Wijaya Jakarta, Minggu (15/1).
Rikrik menyebut, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 sampai dengan pertengahan 2022 bukan disebabkan oleh kesepakatan pelaku usaha untuk menaikkan harga dan menahan pasokan. Krisis minyak goreng murni dipicu kenaikan harga crude palm oil (CPO) dunia serta kebijakan pemerintah mengintervensi pasar tanpa ada infrastruktur maupun lembaga khusus yang menanganinya.
Menurut Rikrik, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir 2021 sampai pertengahan 2022 dipicu oleh kenaikan harga CPO di pasar global, mengingat persentase harga CPO mencapai 80-85 persen dari biaya produksi.
Kementerian Perdagangan sejak Januari 2022 menerbitkan berbagai peraturan, antara lain penetapan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan, serta peraturan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk CPO/atau RBD Olein bagi pelaku usaha yang ingin mengekspor.
Rikrik melanjutkan, kebijakan pemerintah yang berubah-ubah tersebut ternyata tidak dapat menyelesaikan permasalahan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng. Sebaliknya, intervensi yang dilakukan pemerintah justru menimbulkan ketidakpastian di pasar domestik dan memperparah kondisi di masyarakat.
"Dalam perkara ini, KPPU telah mengabaikan peran kebijakan pemerintah yang menjadi akar permasalahan dan hanya menuduh kepada produsen yang tunduk pada kebijakan pemerintah sebagai penyebab kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng," tutur Rikrik.
Berdasarkan keterangan para saksi di persidangan, lanjut Rikrik, kelangkaan terjadi hanya untuk minyak goreng kemasan merek-merek premium di ritel-ritel modern. Sementara minyak goreng curah banyak tersedia di pasar.
"Namun, karena ada peraturan pemerintah, harga minyak goreng kemasan menjadi sama dengan harga minyak curah, sehingga masyarakat berebut membeli minyak goreng kemasan," sambung Rikrik.
Kuasa hukum dari AHP lainnya, Farid Nasution menambahkan, kartel adalah tindakan bersama antara pelaku usaha tertentu untuk menyepakati keputusan strategis mereka di pasar, misalnya harga, produksi, penjualan dan sebagainya.
Dalam perkara minyak goreng ini, KPPU menduga penetapan harga dilakukan oleh 27 perusahaan dari 13 kelompok usaha yang berbeda. Dengan begitu banyaknya jumlah terlapor dalam kasus ini, kartel penetapan harga menjadi sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan.
"Hal ini diperkuat dengan keterangan para saksi yang sudah dihadirkan di persidangan baik oleh investigator maupun terlapor yang mengaku tidak mengetahui adanya koordinasi antara pengusaha untuk menaikkan harga jual," ungkap Farid.
Farid melanjutkan, Investigator KPPU juga tidak dapat membuktikan bahwa pembatasan peredaran minyak goreng dilakukan oleh produsen. Sebab, produsen minyak goreng tidak punya kendali atas rantai distribusi minyak goreng yang begitu panjang, mulai dari produsen, distributor, sub distributor, agen, pedagang grosir, supermarket, pedagang eceran, sampai dengan konsumen akhir.
"Berdasarkan keterangan saksi-saksi di persidangan, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng bukan karena masalah produksi, tetapi karena kenaikan harga CPO, penerapan HET dan kendala distribusi. Tidak ada saksi yang mengatakan kelangkaan karena produsen menahan pasokan," tandas Farid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar