Calon Wali Kota New York City dari Partai Demokrat, Zohran Mamdani, bereaksi setelah memenangkan pemilihan Wali Kota New York City 2025, pada rapat umum malam pemilihan di wilayah Brooklyn, New York City, New York, AS, Rabu (5/11/2025). Foto: Jeenah Moon/REUTERS
Kemenangan Zohran Mamdani dalam pemilihan Wali Kota New York City tahun 2025 ini, menandai babak baru dalam sejarah politik Amerika Serikat. Di usia 34 tahun, sosok muda berdarah Uganda dan berdarah imigran Asia Selatan ini berhasil menumbangkan Andrew Cuomo, politik veteran tiga periode dan tokoh mapan dari lingkaran Partai Demokrat.
Dengan mengantongi 49,6% suara, Mamdani bukan hanya menang dalam angka, melainkan juga dalam simbol: simbol perlawanan kaum muda, kaum minoritas, dan kaum kelas pekerja terhadap status quo politik yang menua.
Dalam catatan Dewan Pemilihan, lebih dari dua juta surat suara terkumpul, rekor tertinggi sejak 1969. Angka ini mencerminkan keterlibatan publik yang luar biasa, khususnya dari kelompok progresif dan komunitas urban yang selama ini merasa terpinggirkan dalam arus besar politik Amerika.
Fenomena ini sejalan dengan teori mobilisasi politik yang dikemukakan oleh Sidney Tarrow (1998) di mana partisipasi politik meningkat ketika warga menemukan "struktur peluang politik" baru yang memungkinkan suara mereka benar-benar berdampak.
Wali Kota New York City terpilih, Zohran Mamdani, mengadakan konferensi pers di Unisphere, Queens, New York City, AS, Rabu (5/6/2025). Foto: Kylie Cooper/REUTERS
Mamdani—yang lahir di Kampala, Uganda dan besar di New York—membawa napas politik kiri yang terinspirasi dari tradisi sosialis dan antikolonial. Ia menawarkan kebijakan radikal, seperti pembekuan biaya sewa untuk hampir satu juta apartemen, penggratisan bus kota, serta kenaikan pajak bagi kalangan kaya dan korporasi besar.
Dalam wacana politik kontestasi, ide-ide Mamdani mengguncang basis dominan liberalisme Amerika yang selama ini menyeimbangkan kepentingan kapital dan kesejahteraan sosial secara hati-hati.
Bagi banyak pengamat politik, kemenangan Mamdani bukan sekadar kebetulan. Ini adalah refleksi dari pergeseran ideologis di masyarakat urban Amerika. Ketidakpuasan terhadap ketimpangan sosial dan biaya hidup yang terus naik telah menciptakan "arena kontestasi" baru antara kekuatan progresif dan elite ekonomi.
Teori kontestasi politik Chantal Mouffe (2005) menegaskan bahwa politik sejatinya adalah arena pertarungan ideologis, bukan sekadar konsensus teknokratis. Dan Mamdani, dengan jelas, mengembalikan makna politik ke ranah perjuangan ide dan kelas.
Gubernur New York, Andrew Cuomo. Foto: AFP/ANGELA WEISS
Andrew Cuomo, mantan gubernur Partai Demokrat dan figur yang berulang kali memenangkan pilwalkot sebelumnya, tampak gagal membaca perubahan zaman. Meski ia maju sebagai kandidat independen, dukungan dari Presiden Donald Trump justru menjadi bumerang. Aliansi Cuomo–Trump memerlihatkan absurditas politik transpartisan di Amerika di mana elite lintas partai bersatu demi mempertahankan dominasi mereka dari ancaman gerakan kiri baru.
Trump—yang masih menjadi figur dominan dalam politik nasional—secara terbuka menuding Mamdani sebagai komunis. Trump bahkan mengancam akan menahan dana federal bagi New York City jika Mamdani menang.
Retorika ini menunjukkan ketakutan politik lama terhadap sosialisme, yang dalam konteks Amerika sering diasosiasikan dengan ancaman terhadap kebebasan individu dan kapitalisme. Namun, justru serangan itu memantulkan kembali simpati kepada Mamdani dari warga muda dan kelompok pekerja.
Kemenangan Mamdani juga dapat dipahami melalui lensa teori perlawanan politik James C. Scott (1985), yang menyebut bahwa bentuk-bentuk perlawanan sering muncul dari kelompok yang terpinggirkan melalui strategi simbolik dan diskursif. Dalam hal ini, Mamdani dan para pendukungnya memanfaatkan media sosial, diskursus solidaritas Palestina, dan narasi keadilan ekonomi sebagai instrumen resistensi terhadap sistem politik oligarkis Amerika.
Bendera Amerika Serikat di luar angkasa. Foto: NASA
Sebagai sosok Muslim pertama yang memimpin kota terbesar di AS, Mamdani membawa dimensi baru dalam representasi politik minoritas. Bersama istrinya, Rama Duwaji—aktivis keturunan Suriah yang vokal terhadap isu Gaza—Mamdani mempersonifikasikan integrasi antara identitas politik progresif dan nilai-nilai solidaritas global. Kemenangannya sekaligus membantah mitos lama bahwa identitas Muslim adalah hambatan dalam politik Amerika.
Dukungan besar terhadap Mamdani tak bisa dilepaskan dari kemampuan tim kampanyenya dalam mobilisasi politik digital. Ia menggunakan platform media sosial bukan hanya sebagai alat promosi, melainkan juga ruang interaksi egaliter antara pemimpin dan rakyat. Strategi ini memperlihatkan transformasi gaya politik generasi baru yang lebih komunikatif, horizontal, dan terhubung dengan isu keseharian warga.
Selain itu, Mamdani berhasil menyatukan koalisi lintas identitas. Kelas pekerja kulit hitam, imigran Asia Selatan, Latinx, dan warga kulit putih progresif disatukan dalam semangat perjuangan bersama melawan ketimpangan struktural. Mobilisasi lintas kelas dan ras ini menunjukkan berlakunya konsep political opportunity structures di mana krisis sosial dan ketidakpuasan membuka ruang bagi ideologi baru untuk mengisi kekosongan legitimasi.
Dalam konteks teori kontestasi, keberhasilan Mamdani menunjukkan bahwa demokrasi Amerika sedang memasuki fase "agonistik" di mana perbedaan ideologis tidak lagi disembunyikan, tetapi diartikulasikan secara terbuka sebagai bagian dari dinamika politik sehat. Ini menandai berakhirnya era politik tengah (centrist politics) yang selama dua dekade terakhir mendominasi AS.
Calon Wali Kota New York City dari Partai Demokrat, Zohran Mamdani, berpidato setelah memenangkan pemilihan Wali Kota New York City 2025, pada rapat umum malam pemilihan di wilayah Brooklyn, New York City, New York, AS, Rabu (5/11/2025). Foto: Jeenah Moon/REUTERS
Mamdani tidak hanya mengubah wajah politik New York City, tetapi juga menggeser wacana nasional tentang apa artinya menjadi Amerika. Ia menolak politik identitas yang eksklusif, menggantikannya dengan politik solidaritas kelas yang universal. Dalam konteks global, langkah Mamdani dapat dilihat sebagai bagian dari kebangkitan kembali "politik kiri baru" yang juga tumbuh di Eropa, Amerika Latin, dan sebagian Asia.
Cuomo, di sisi lain, merepresentasikan generasi politisi mapan yang masih berpegang pada pola lama. Politik yang mengedepankan patronase, citra teknokratik, dan keterikatan dengan donatur besar.
Dalam narasi perlawanan, kekalahannya dari Mamdani mencerminkan kegagalan elite tradisional dalam membaca tuntutan perubahan sosial. Seperti dalam teori Gramsci, dominasi ideologis lama akhirnya retak ketika masyarakat mulai sadar bahwa apa yang normal sejatinya hanyalah konstruksi kekuasaan.
Trump sendiri—meskipun bukan bagian langsung dari kontestasi ini—menjadi simbol resistensi balik dari kekuatan konservatif. Ancaman menahan dana federal menunjukkan betapa kemenangan Mamdani tidak hanya mengguncang politik lokal, tetapi juga menantang struktur kekuasaan nasional yang selama ini terpusat pada politik kanan populis.
Sejumlah pendukung dari calon walikota New York City dari Partai Demokrat, Zohran Mamdani mengangkat poster setelah pemilihan Wali Kota New York 2025 di borough Brooklyn, New York, Amerika Serikat, Selasa (4/11/2025). Foto: Jeenah Moon/REUTERS
Namun, kemenangan ini tentu bukan tanpa risiko. Mamdani akan menghadapi tantangan berat dalam mengimplementasikan programnya di tengah resistensi birokrasi, tekanan korporasi properti, dan oposisi di Dewan Kota. Sejarah menunjukkan bahwa politik progresif sering kali terhambat bukan karena kekurangan ide, melainkan karena benturan kepentingan ekonomi dan kekuasaan yang mengakar.
Kendati demikian, kemenangan Mamdani tetap menjadi momentum penting bagi redefinisi demokrasi Amerika. Ia menegaskan bahwa politik tidak lagi hanya milik elite atau partai besar, tetapi milik mereka yang berani menantang ketidakadilan sosial dengan keberanian dan visi alternatif.
Dalam lanskap politik global, kemenangan Mamdani akan menjadi inspirasi bagi gerakan serupa di berbagai negara. Politik perlawanan, jika dikelola dengan cerdas dan berbasis solidaritas, dapat menembus benteng dominasi lama. Ia adalah bukti bahwa suara kaum muda, minoritas, dan kelas pekerja bisa menjadi kekuatan penentu arah masa depan kota dan bangsa.
Zohran Mamdani bukan sekadar nama baru dalam peta politik Amerika. Ia adalah simbol lahirnya paradigma politik baru. Paradigma yang menolak kompromi pada ketimpangan, menegakkan keadilan sosial sebagai fondasi kebijakan, dan memulihkan makna politik sebagai alat emansipasi. Dari New York, dunia kini menyaksikan bahwa perubahan bukan lagi kemungkinan, melainkan keniscayaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar