Search This Blog

Sekolah Sebagai Lembaga Moral: Refleksi Atas Pemikiran Émile Durkheim

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Sekolah Sebagai Lembaga Moral: Refleksi Atas Pemikiran Émile Durkheim
Nov 2nd 2025, 09:00 by Rini Krisna Dewi

Sekolah sebagai lembaga moral. Image Editing by Rini Krisna Dewi via Canva
Sekolah sebagai lembaga moral. Image Editing by Rini Krisna Dewi via Canva

Pendidikan bukan sekadar transmisi pengetahuan dan keterampilan teknis, melainkan institut sosial yang mendirikan dan memelihara jaringan nilai yang memungkinkan masyarakat tetap bertahan sebagai sebuah keseluruhan.

Dalam tradisi sosiologi klasik, Émile Durkheim menempatkan pendidikan pada posisi sentral: sekolah berfungsi sebagai agen primer sosialisasi moral yang membentuk kesadaran kolektif, menanamkan disiplin, dan menjembatani tuntutan individual dengan kebutuhan solidaritas sosial.

Argumen Durkheim kembali relevan ketika kita menghadapi krisis-krisis nilai di era digital; ketika interaksi sosial berubah bentuk, tetapi kebutuhan akan norma bersama dan orientasi moral tetap mutlak (Darmawanti, 2021).

Durkheim melihat moralitas sebagai produk kehidupan bersama: tanpa keberadaan kelompok yang membentuk harapan norma, moralitas tidak dapat eksis. Menurut Durkheim, sekolah adalah ruang terorganisir di mana norma-norma kolektif dapat diperkenalkan sistematis melalui kurikulum, peraturan, dan praktik kolektif (mis. jam pelajaran, upacara, kebiasaan kelas).

Ilustrasi anak belajar di dalam kelas. Foto: hxdbzxy/Shutterstock
Ilustrasi anak belajar di dalam kelas. Foto: hxdbzxy/Shutterstock

Terdapat ketiga batang pilar pendidikan moral menurut pembacaan Durkheim yang sering direferensikan: disiplin (keteraturan dan pengendalian diri), keterikatan kelompok (rasa memiliki dan solidaritas), dan otonomi moral (kemampuan bertindak berdasarkan penilaian etis sendiri). Interpretasi modern dari ketiga pilar ini menantang kita untuk mendesain praktik sekolah yang tidak hanya 'menghafal' nilai, tetapi juga menginternalisasikannya (Wandi, 2021; Darmawanti, 2021).

Kalau kita membaca pemikiran Durkheim pada abad ke-21, muncul dua tuntutan penting. Pertama, bagaimana sekolah bisa mempertahankan fungsi integratifnya di masyarakat yang makin beragam? Kedua, bagaimana sekolah menanamkan moral ketika anak-anak dan remaja punya kehidupan sosial paralel di ruang digital yang sering kali melintasi batas norma lokal?

Studi-studi kontemporer menunjukkan bahwa durkheimianisme masih relevan, tetapi perlu dikontekstualkan: negara-bangsa tradisional yang Durkheim bayangkan berbeda dengan komunitas virtual transnasional yang membentuk identitas siswa hari ini. Oleh karena itu, strategi pendidikan moral harus adaptif, yaitu menggabungkan pengalaman kolektif di sekolah dengan literasi digital, etika bermedia, dan kemampuan reflektif (Walker, 2024; Abdullah, 2024).

Praktik sekolah di Indonesia memperlihatkan peluang sekaligus kelemahan ketika diuji terhadap lensa Durkheim. Banyak penelitian lokal menunjukkan bahwa sekolah masih dipandang sebagai mesin pembentuk karakter, tetapi ada masalah implementasi: kurikulum sering kali padat materi, guru kurang diberdayakan untuk tugas moral-pedagogis, dan tekanan pada nilai-nilai kompetitif (uji nasional, ranking) kadang melemahkan tujuan integratif pendidikan.

Ilustrasi Guru Mengajar di Sekolah Rakyat. Foto: Kemendikdasmen
Ilustrasi Guru Mengajar di Sekolah Rakyat. Foto: Kemendikdasmen

Dengan kata lain, fungsi sosial pendidikan sebagai pembentuk solidaritas dan moral kolektif belum sepenuhnya terejawantahkan dalam praktik sehari-hari. Ini memerlukan reformasi kebijakan yang melihat sekolah bukan hanya sebagai tempat transfer konten, melainkan sebagai komunitas moral yang hidup (Husaeni, 2023; Harahap, 2024).

Durkheim juga menyorot pentingnya peran guru sebagai agen moral: guru bukan sekadar pengajar kognitif, melainkan pembentuk kebiasaan kolektif dan simbol norma. Namun, penelitian modern pada regulasi profesi guru dan agensi mereka menunjukkan ketegangan: tuntutan administratif, standar penilaian, dan regulasi yang ketat dapat mengerem inisiatif guru dalam melakukan pendidikan moral yang kontekstual dan kreatif.

Artinya, untuk meneguhkan nilai moral di sekolah, diperlukan kebijakan yang mendukung otonomi profesional guru, seperti pelatihan etika profesi, dukungan komunitas praktik, dan kurikulum yang memberi ruang untuk pembelajaran nilai berbasis pengalaman (Campbell, 2022).

Pendekatan Durkheim terhadap moralitas menekankan tiga kata kunci yang perlu dihidupkan dalam setiap kebijakan pendidikan: ritual, struktur, dan internalisasi. Ritual, seperti apel pagi, gotong-royong, atau kegiatan ekstrakurikuler, menciptakan momentum kolektif yang memperkuat rasa kebersamaan; struktur, seperti tata tertib, tata kelola kelas, dan kurikulum nilai, menyediakan kerangka yang konsisten; internalisasi, proses di mana norma menjadi bagian dari disposisi individu, adalah tujuan akhir yang harus dimonitor melalui praktik pembelajaran reflektif, dramatization role-play, dan assessment formatif terhadap perilaku sosial. Tanpa ketiga elemen ini berjalan bersama, pendidikan moral berisiko menjadi sekadar retorika (Husaeni, 2023).

Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek

Era digital menambah kompleksitas. Perusahaan platform, kultur meme, dan dinamika grup online membentuk moralitas alternatif yang terkadang mempromosikan solidaritas transnasional, tetapi juga memfasilitasi anonimitas yang melemahkan akuntabilitas moral.

Penelitian terbaru meninjau bagaimana pembelajaran daring dan interaksi media sosial berdampak pada transfer nilai: tanpa interaksi tatap-muka dan ritual institusional, transfer nilai menjadi rentan. Namun, sekolah yang memanfaatkan ruang digital secara kritis (mengajarkan etika online, moderasi diskusi, content curations) dapat memperluas jangkauan pendidikan moral. Ini menuntut pengembangan literasi moral-digital yang menjadi bagian integral dari visi Durkheimian kontemporer (Abdullah, 2024).

Rekomendasi kebijakan praktis—yang lahir dari sintesis pemikiran Émile Durkheim dan penelitian kontemporer—menegaskan pentingnya pendidikan moral sebagai fungsi utama sekolah. Kurikulum nilai harus disusun secara eksplisit dan operasional; tidak hanya menekankan aspek normatif, tetapi juga menghadirkan pengalaman belajar yang menghubungkan siswa dengan kehidupan sosial nyata melalui model service learning dan project-based learning.

Guru perlu diberdayakan sebagai agen moral yang memiliki otonomi dalam mengelola pembelajaran etis, serta difasilitasi dalam komunitas reflektif untuk berbagi praktik terbaik di bidang pendidikan karakter (Campbell, 2022).

Ilustrasi pendidikan Foto: kumparan
Ilustrasi pendidikan Foto: kumparan

Selain itu, literasi moral digital menjadi dimensi baru dalam pendidikan modern yang sejalan dengan pandangan Durkheim tentang pembentukan kesadaran moral kolektif. Pembelajaran di era digital menuntut penguatan nilai, seperti empati, tanggung jawab, dan kesopanan dalam interaksi daring agar siswa mampu berpartisipasi secara etis di ruang publik digital.

Upaya ini dapat diperkuat melalui ritual sekolah yang inklusif, yakni kegiatan kolektif yang menghargai perbedaan, tetapi memperkokoh solidaritas sosial (Jonedu, 2023), serta sistem evaluasi holistik yang menilai aspek moral dan sosial peserta didik, bukan sekadar kemampuan kognitif.

Namun, pendekatan Durkheimian juga memiliki batas karena terlalu menekankan solidaritas kolektif; berpotensi mengabaikan kebebasan individu dan pluralitas nilai. Oleh karena itu, penerapan pendidikan moral perlu diimbangi dengan prinsip inklusivitas, dialog kritis, dan kebebasan berpikir agar tidak menjadi dogmatis (Farham, 2025).

Meneguhkan nilai moral di sekolah berarti menerjemahkan gagasan Durkheim tentang solidaritas sosial ke dalam praktik yang relevan dengan konteks masa kini melalui pemberdayaan guru, pembelajaran berbasis nilai, dan pembentukan karakter yang adaptif terhadap tantangan digital. Dengan cara ini, pendidikan dapat berfungsi sebagai benteng moral yang melahirkan warga negara yang beretika, empatik, dan bertanggung jawab.

Media files:
01k8thkm0dp2xaavese5yrm7s7.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar