Ilustrasi pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2025. Grafik menunjukkan kenaikan PDB sebesar 5,04 persen, dengan Pulau Jawa sebagai kontributor utama ekonomi nasional. (Sumber foto: Idisign)
Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja merilis data perekonomian Indonesia triwulan III-2025. Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku mencapai Rp6.060,0 triliun, sementara atas dasar harga konstan 2010 sebesar Rp3.444,8 triliun. Secara tahunan (year-on-year), ekonomi Indonesia tumbuh 5,04%, sedangkan secara kumulatif hingga triwulan III tumbuh 5,01% (cumulative-to-cumulative).
Di permukaan, capaian ini tampak menggembirakan. Pemerintah tentu akan menyoroti konsistensi pertumbuhan di atas lima% sebagai tanda stabilitas ekonomi nasional. Namun di balik angka statistik yang tampak indah, tersimpan sejumlah persoalan fundamental dari ketimpangan spasial hingga stagnasi kesejahteraan rumah tangga yang menuntut analisis lebih jujur dan kebijakan yang lebih progresif.
Pertumbuhan ekonomi sebesar lima persen ini, misalnya, masih sangat bergantung pada sektor dan wilayah tertentu. Pulau Jawa tetap menjadi penopang utama perekonomian nasional dengan kontribusi mencapai 56,68% terhadap total PDB, tumbuh 5,17% (y-on-y). Di sisi lain, wilayah luar Jawa masih berjalan terseok-seok, bergulat dengan persoalan konektivitas, ketimpangan infrastruktur, dan keterbatasan investasi produktif.
Dengan kata lain, stabilitas ekonomi kita masih bersifat Jawa-sentris. Pertumbuhan di sektor pendidikan dan jasa lainnya yang mencatat angka dua digit (masing-masing 10,59% dan 10,37%) memang menjanjikan, tetapi kontribusinya terhadap pemerataan ekonomi masih terbatas. Sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi seperti industri pengolahan atau teknologi informasi belum tumbuh secepat yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan struktur ekonomi nasional.
Suasana di Pelabuhan Tanjung Priok yang dikelola PT Pelindo II, saat crane membongkar muat peti kemas dari kapal-kapal kargo. Foto: Wendiyanto Saputro/kumparan
Lebih jauh lagi, jika kita menelisik dari sisi pengeluaran, komponen ekspor barang dan jasa menjadi pendorong tertinggi pertumbuhan, mencapai 9,91% (y-on-y). Namun, ekspor bukanlah indikator langsung kesejahteraan domestik. Kinerja ekspor bisa mencerminkan keuntungan korporasi besar, bukan peningkatan daya beli masyarakat. Sementara itu, konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi Indonesia masih bergerak lambat di tengah tekanan harga pangan dan energi.
Pertumbuhan yang stabil tanpa distribusi kesejahteraan yang inklusif pada dasarnya hanya menghasilkan stabilitas semu. Ia mungkin memuaskan laporan tahunan lembaga internasional, tetapi gagal menjawab keresahan masyarakat tentang harga kebutuhan pokok, lapangan kerja, dan ketimpangan sosial.
Menguji Arah Kebijakan Publik: Dari Pertumbuhan ke Pemerataan
Pertanyaan mendasarnya: Apakah pertumbuhan ekonomi sebesar 5% ini benar-benar hasil dari kebijakan publik yang efektif dan inklusif?
Dalam konteks kebijakan publik, indikator makro ekonomi seperti PDB seharusnya dibaca bukan semata sebagai angka pertumbuhan, melainkan refleksi dari kualitas intervensi pemerintah terhadap struktur ekonomi nasional. Pertumbuhan tanpa pemerataan adalah pertumbuhan yang rapuh. Dan kebijakan ekonomi yang hanya mengejar angka statistik tanpa memperhatikan ketimpangan struktural, pada akhirnya akan menciptakan ketidakseimbangan sosial yang berisiko tinggi.
Ilustrasi ekonomi digital. Foto: shutterstock
Kebijakan fiskal dan moneter kita selama dua tahun terakhir memang berfokus pada stabilitas harga dan dorongan konsumsi, tetapi pendekatannya masih terlalu konvensional. Subsidi energi, bansos, dan kredit UMKM adalah langkah penting, tetapi belum menyentuh akar persoalan: ketimpangan produktivitas antarwilayah dan sektor.
Sektor industri pengolahan, misalnya, masih terkonsentrasi di kawasan barat Indonesia, terutama di Jawa Barat dan Banten. Investasi di kawasan timur belum tumbuh signifikan, padahal potensi sumber daya alam dan tenaga kerja di sana sangat besar. Ketika struktur ekonomi nasional terus bergantung pada ekspor bahan mentah dan konsumsi domestik, daya tahan terhadap guncangan eksternal akan tetap lemah.
Lebih jauh lagi, transformasi digital dan energi yang seharusnya menjadi mesin pertumbuhan baru masih belum diarahkan secara sistematis dalam kerangka kebijakan publik yang terpadu. Program hilirisasi berjalan di satu sisi, sementara digitalisasi UMKM dan sektor jasa masih berjalan tanpa strategi koordinatif lintas kementerian.
Kita butuh kebijakan publik yang lebih integratif, berbasis data, dan berorientasi pada pemerataan produktivitas. Misalnya, memperluas insentif fiskal bagi industri berbasis teknologi di luar Jawa, mengintegrasikan data ekonomi wilayah untuk perencanaan investasi publik, serta memperkuat tata kelola pelatihan tenaga kerja berbasis kebutuhan lokal.
Selain itu, indikator keberhasilan ekonomi perlu dirombak. PDB memang penting, tetapi tidak cukup. Pemerintah perlu menambahkan indikator kesejahteraan sosial seperti median income, Gini ratio, indeks ketenagakerjaan layak, serta regional well-being index agar kebijakan ekonomi tak terjebak pada fetisisme angka pertumbuhan.
Ilustrasi uang rupiah. Foto: Aditia Noviansyah
Ke depannya, kebijakan ekonomi publik Indonesia perlu bertransformasi dari paradigma pertumbuhan untuk statistik menuju pertumbuhan untuk kesejahteraan. Ini berarti setiap kenaikan PDB harus diikuti oleh peningkatan kualitas hidup warga negara, pemerataan infrastruktur, dan akses ekonomi yang setara bagi seluruh provinsi.
Pertumbuhan ekonomi 5,04% pada triwulan III-2025 memang patut diapresiasi. Namun, apresiasi itu harus dibarengi refleksi kritis. Angka-angka dari BPS menunjukkan bahwa Indonesia telah mencapai stabilitas, tetapi belum keadilan.
Kita masih menghadapi paradoks klasik, ekonomi tumbuh, tetapi ketimpangan tetap; PDB meningkat, tetapi daya beli stagnan; ekspor naik, tetapi kesejahteraan belum merata.
Inilah saatnya pemerintah menggeser fokus kebijakan publik dari menjaga angka pertumbuhan menuju membangun fondasi kesejahteraan yang lebih inklusif. Karena sejatinya, pertumbuhan ekonomi tidak boleh berhenti pada grafik naik-turun di laporan statistik, tetapi harus terasa dalam kehidupan sehari-hari rakyat yang membayar pajak, bekerja keras, dan berharap pada janji keadilan sosial ekonomi yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar