Search This Blog

El Fasher Jatuh: Akankah Dunia Diam saat Kekejaman Massal Terus Berlangsung?

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
El Fasher Jatuh: Akankah Dunia Diam saat Kekejaman Massal Terus Berlangsung?
Nov 8th 2025, 14:00 by Al Sandy Suharjono

Ilustrasi akibat perang saudara di Sudan dihasilkan oleh AI
Ilustrasi akibat perang saudara di Sudan dihasilkan oleh AI

Perang saudara di Sudan—yang meletus antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) sejak April 2023—telah bertransformasi menjadi mimpi buruk kemanusiaan dengan skala yang mengejutkan. Konflik ini bukan sekadar perebutan kekuasaan, melainkan bencana yang telah mendorong jutaan orang ke ambang kelaparan dan memicu kekejaman etnis yang mengingatkan pada babak tergelap sejarah. Dunia tidak bisa lagi mengalihkan pandangan; krisis Sudan menuntut aksi kolektif segera.

Tsunami Pengungsian dan Krisis yang Melumpuhkan

Skala penderitaan di Sudan hampir tidak dapat dibayangkan. Total populasi yang mengungsi, baik di dalam maupun ke luar negeri, saat ini melampaui 11,5 juta orang. Angka ini menjadikan Sudan salah satu negara dengan populasi pengungsi internal (IDP) terbesar di dunia, dengan sekitar 8,8 juta orang mengungsi di dalam negeri.

Para pengungsi ini melarikan diri dari daerah konflik, terutama Darfur dan Khartoum, menuju negara-negara tetangga seperti Chad dan Mesir, sering kali tanpa bekal apa pun selain trauma.

Wanita Sudan yang melarikan diri dari konflik di Geneina, di wilayah Darfur Sudan, mengantre untuk mendapatkan air bersih, di Adre, Chad, Minggu (30/7/2023). Foto: Zohra Bensemra/REUTERS
Wanita Sudan yang melarikan diri dari konflik di Geneina, di wilayah Darfur Sudan, mengantre untuk mendapatkan air bersih, di Adre, Chad, Minggu (30/7/2023). Foto: Zohra Bensemra/REUTERS

Di sisi lain, ancaman kelaparan telah mencapai tingkat kritis. Diperkirakan 25 juta orang—lebih dari setengah populasi Sudan—membutuhkan bantuan kemanusiaan segera. Laporan terkini (awal November 2025) mengonfirmasi adanya kelaparan parah di wilayah-wilayah yang terisolasi, seperti El Fasher dan Kadugli.

Kondisi ini diperparah oleh runtuhnya layanan dasar. Lebih dari 80% fasilitas kesehatan di zona konflik tidak berfungsi. Akibatnya, penyakit yang seharusnya dapat dicegah, seperti kolera dan campak, menyebar dengan cepat, dan diperkirakan lebih dari 522.000 anak meninggal karena kekurangan gizi sejak awal konflik.

Filippo Grandi, Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR), pernah memperingatkan, "Setelah dua tahun penderitaan yang tak kunjung henti, dunia tak bisa lagi mengabaikan krisis ini. Mengabaikan krisis ini hanya akan membawa konsekuensi yang sangat buruk."

Ancaman Kelaparan dan Keluhan Apatisme Global

Asha Kano Kavi, seorang perempuan pengungsi internal dari Kadugli, menyajikan daun-daun liar yang direbus sebagai makanan untuk anak-anak yatim piatu di Kamp Pengungsian Bruam di Pegunungan Nuba, Kordofan Selatan, Sudan. Foto: Thomas Mukoya/Reuters
Asha Kano Kavi, seorang perempuan pengungsi internal dari Kadugli, menyajikan daun-daun liar yang direbus sebagai makanan untuk anak-anak yatim piatu di Kamp Pengungsian Bruam di Pegunungan Nuba, Kordofan Selatan, Sudan. Foto: Thomas Mukoya/Reuters

Kelaparan telah mencapai tingkat kritis. Laporan terkini dari klasifikasi pangan internasional (IPC) mengonfirmasi adanya kelaparan di El Fasher dan Kadugli (awal November 2025). Jutaan warga kini bertahan hidup dengan memakan daun, pakan ternak, dan rumput.

Bahkan, pejabat senior PBB telah menyatakan frustrasi terhadap respons global. Mereka "menyesalkan sikap apatis" dunia terhadap kekejaman yang dilaporkan di Sudan. Hal ini ditekankan oleh Pejabat Senior PBB Martha Pobee—Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk Afrika—yang telah menyuarakan kekhawatiran mengenai pola kekejaman dan "pembalasan bermotif etnis" yang serupa dengan yang terjadi di Darfur.

Kekejaman di Darfur: Alarm Genosida Berbunyi

Titik paling memilukan adalah laporan mengenai kekejaman sistematis, khususnya setelah RSF menguasai El Fasher. Laporan menunjukkan adanya pembantaian etnis, penggunaan kekerasan seksual sebagai senjata perang, dan penargetan warga sipil di rumah sakit dan tempat ibadah.

Warga Sudan yang mengungsi dari El-Fasher ke tempat penampungan sementaranya di kamp Um Yanqur, yang terletak di tepi barat daya Tawila, di wilayah Darfur barat Sudan, Senin (3/11/2025). Foto: AFP
Warga Sudan yang mengungsi dari El-Fasher ke tempat penampungan sementaranya di kamp Um Yanqur, yang terletak di tepi barat daya Tawila, di wilayah Darfur barat Sudan, Senin (3/11/2025). Foto: AFP

Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR), pada akhir Oktober 2025, secara eksplisit menyatakan bahwa kantornya menerima laporan yang sangat mengkhawatirkan tentang RSF yang melakukan "kekejaman, termasuk eksekusi singkat" setelah merebut El Fasher. Mereka menambahkan, "Risiko pelanggaran dan kekejaman yang bermotivasi etnis berskala besar lebih lanjut di El Fasher meningkat setiap hari."

Situasi ini mendorong Utusan Sudan untuk PBB secara langsung meminta Dewan Keamanan PBB untuk menyelidiki dugaan genosida di Darfur, menunjukkan tingkat keparahan yang diakui oleh otoritas setempat.

Kegagalan Kolektif dan Jalan ke Depan

Respons internasional terhadap kebutuhan kemanusiaan masih jauh dari cukup. Kampanye pendanaan PBB untuk Sudan tahun 2025 berada dalam kondisi kritis karena baru terpenuhi sekitar 27% dari total kebutuhan (data Oktober 2025), di tengah kesulitan akses bantuan akibat blokade dan penargetan oleh pihak yang bertikai.

Ilustrasi bendera PBB. Foto: Alexandros Michailidis/Shutterstock
Ilustrasi bendera PBB. Foto: Alexandros Michailidis/Shutterstock

Menanggapi situasi ini, Pakar PBB mendesak, "Setiap hari yang berlalu tanpa tindakan tegas berarti lebih banyak nyawa yang hilang, lebih banyak masa depan yang hancur. Komunitas internasional tidak boleh berpaling dari penderitaan Sudan, tetapi harus membangun peta jalan menuju perdamaian abadi." Mereka secara khusus menyerukan negara-negara untuk "memastikan akuntabilitas atas pelanggaran" melalui yurisdiksi universal dan mekanisme internasional.

Seruan Mendesak: Aksi Nyata Sekarang

Krisis di Sudan adalah panggilan darurat bagi nurani global. Kegagalan untuk bertindak sama saja dengan persetujuan terhadap penderitaan yang mematikan. Komunitas internasional harus mengambil tindakan tegas dan segera.

Pertama, hentikan kekejaman massal. Mengingat ancaman genosida yang disuarakan oleh pejabat PBB, dunia harus mengambil langkah tegas untuk mencegah potensi kekejaman massal lebih lanjut melalui peningkatan pengawasan internasional dan sanksi yang ditargetkan kepada para pemimpin perang.

Pengungsi Sudan berkumpul dan duduk di tenda-tenda darurat setelah melarikan diri dari Kota Al-Fashir di Darfur, di Tawila, Sudan, Rabu (29/10/2025). Foto: Mohamed Jamal/Reuters
Pengungsi Sudan berkumpul dan duduk di tenda-tenda darurat setelah melarikan diri dari Kota Al-Fashir di Darfur, di Tawila, Sudan, Rabu (29/10/2025). Foto: Mohamed Jamal/Reuters

Kedua, tingkatkan pendanaan dan jamin akses. Meningkatkan pendanaan kemanusiaan secara drastis (melampaui angka 27% saat ini) dan menggunakan tekanan politik kolektif yang kuat untuk menjamin akses bantuan tanpa hambatan ke seluruh wilayah Sudan.

Ketiga, perkuat akuntabilitas. Segera mengaktifkan penyelidikan internasional yang independen untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang terdokumentasi.

Rakyat Sudan tidak membutuhkan belas kasihan sesaat; mereka membutuhkan aksi nyata, perlindungan, dan keadilan segera dari komunitas global. Kegagalan untuk bertindak sekarang akan menjadi noda permanen pada sejarah kemanusiaan kita.

Media files:
01k974x8gc5wvzscpc2xe3vx48.png image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar