Search This Blog

Kemendagri Soroti Partisipasi Semu di Pemilu: Orang ke TPS Karena Politik Uang

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Kemendagri Soroti Partisipasi Semu di Pemilu: Orang ke TPS Karena Politik Uang
Oct 18th 2025, 15:15 by kumparanNEWS

Suasana diskusi dalam acara Peluncuran Indeks Partisipasi Pilkada 2024 oleh KPU di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Sabtu (18/10/2025).  Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan
Suasana diskusi dalam acara Peluncuran Indeks Partisipasi Pilkada 2024 oleh KPU di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Sabtu (18/10/2025). Foto: Rayyan Farhansyah/kumparan

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menilai tingginya angka partisipasi pemilih di Indonesia bukan jaminan kualitas demokrasi ikut meningkat. Di balik antusiasme warga ke TPS, ada persoalan serius: partisipasi yang disebut "semu", karena banyak warga diduga datang memilih bukan karena kesadaran politik, tapi karena iming-iming uang.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar Baharuddin dalam acara diskusi Launching Indeks Partisipasi Pilkada 2024 yang digelar KPU RI di Hotel Pullman, Jakarta Barat, Sabtu (18/10).

"Kecenderungan kita lihat di lapangan, kualitas partisipasi ini lebih kepada partisipasi mobilisasi ketimbang partisipasi yang berkualitas," ujar Bahtiar.

"Artinya orang datang ke TPS itu bukan karena kesadaran politik, tetapi datang ke TPS karena politik uang," imbuhnya.

70 Persen Warga Kini Toleran Terhadap Politik Uang

Ilustrasi memberi amplop saat pemilu Foto: Shutterstock
Ilustrasi memberi amplop saat pemilu Foto: Shutterstock

Bahtiar menyebut temuan ini harus jadi perhatian serius. Berdasarkan riset terbaru, lebih dari 70 persen masyarakat kini bersikap permisif terhadap politik uang—naik tajam dari sekitar 50 persen pada riset sebelumnya.

Menurutnya, kondisi ini tak bisa dilepaskan dari realitas sosial ekonomi warga yang masih rentan. Ia mengutip data Bank Dunia (World Bank) yang memperkirakan 194,7 juta dari total 285 juta penduduk Indonesia masih tergolong miskin.

"Jadi Anda bisa berharap apa kepada warga yang 194,7 juta menurut World Bank—bukan data BPS ya—yang masih miskin. Yang selanjutnya kita berharap partisipasi yang berkualitas seperti apa dengan kondisi masyarakat hanya 6,8 persen atau 7 persen itu yang lulusan perguruan tinggi, lebih dari 65 persen masih lulusan SMP. Bahkan ada yang putus sekolah itu kurang lebih 24 persen," beber Bahtiar.

Ia menilai, ketimpangan pendidikan dan ekonomi inilah yang menjadi bahan bakar praktik politik uang. Di banyak daerah, pilihan politik warga dengan mudah bisa "dibeli" demi kebutuhan dasar sesaat.

Ilustrasi Pemilu.  Foto: Dok Kemenkeu
Ilustrasi Pemilu. Foto: Dok Kemenkeu

Bahtiar juga mengungkap paradoks dalam politik lokal. Partisipasi masyarakat saat pencoblosan memang tinggi, tapi partisipasi dalam mengontrol jalannya pemerintahan justru rendah.

Ironisnya, kata dia, kondisi itu sering kali justru membuat kepala daerah yang sama terpilih kembali meski kinerjanya tak berdampak langsung pada masyarakat.

"Pemilihnya datang ramai-ramai ke TPS. Lima tahun dia (kepala daerah) bekerja, masyarakatnya tidak ada hubungannya. Membuat kebijakan, tidak ada hubungannya dengan kepemilihan tadi, dan hebatnya terpilih lagi orang yang sama," jelasnya.

Fenomena ini menurutnya melahirkan bentuk baru dari apatisme politik. Warga memang datang ke TPS, tapi tanpa harapan dan kepedulian terhadap hasil pemilu.

"Orang datang ke TPS tapi sebenarnya orang enggak mau tahu juga, terserah deh siapa saja yang terpilih, toh enggak ada pengaruhnya pada nasib kita 5 tahun 10 tahun ke depan," ungkap Bahtiar.

Bahtiar menegaskan, rendahnya kualitas partisipasi bukan hanya tanggung jawab KPU, melainkan masalah sistemik yang lebih luas. Salah satu penyebabnya, kata dia, adalah minimnya anggaran negara untuk pendidikan politik di masyarakat.

Program-program edukasi politik yang seharusnya menyasar masyarakat sipil, NGO, dan perguruan tinggi, dinilai belum menjadi prioritas di tingkat APBN maupun APBD.

"Ketika partisipasi ini tidak kita pernah obati secara baik, saya pastikan kualitas demokrasi tidak akan pernah naik. Kalau pun naik, (itu hanyalah) angka-angka statistik yang tidak bermakna," pungkasnya.

Media files:
01k7twzdvnmx8kknp002rd65r3.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar