Ratusan aktifis perempuan dari 65 organisasi kemasyarakatan melakukan unjuk rasa dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional di Taman Aspirasi, Jakarta. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
Di balik perjuangan panjang untuk melindungi perempuan dari kekerasan, badai besar kini mengancam garda terdepan perubahan, yakni organisasi perempuan. Laporan terbaru UN Women bertajuk "At Risk and Underfunded" mengungkap kenyataan pahit bahwa satu dari tiga organisasi di seluruh dunia, atau sekitar 34 persen, terpaksa menghentikan program anti-kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan karena kekurangan dana.
Layanan penting seperti tempat perlindungan aman, bantuan hukum, dukungan psikologis, hingga perawatan kesehatan kini banyak yang terhenti. Lebih dari 40 persen organisasi mengaku harus memangkas bahkan menutup layanan tersebut, membuat 78 persen penyintas kini semakin sulit mengakses bantuan. Sementara itu, 59 persen responden menilai situasi ini memperburuk impunitas dan menormalkan kekerasan terhadap perempuan di berbagai wilayah.
UN Women. Foto: Shutterstock
"Organisasi perempuan adalah tulang punggung kemajuan dalam upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, namun mereka kini berada di ujung tanduk. Kita tidak boleh membiarkan pemotongan dana menghapus pencapaian selama puluhan tahun," ujar Kalliopi Mingeirou, Kepala Divisi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Perempuan UN Women, dalam laporan tersebut.
UN Women memperingatkan, krisis pendanaan ini terjadi di saat dunia tengah menghadapi kemunduran hak-hak perempuan yang semakin mengkhawatirkan. Hanya lima persen organisasi diperkirakan mampu bertahan lebih dari dua tahun ke depan, sementara 85 persen khawatir akan adanya kemunduran besar dalam perlindungan hukum terhadap perempuan. Temuan ini menjadi alarm keras menjelang peringatan 30 tahun Deklarasi Beijing, tonggak sejarah perjuangan global menuju kesetaraan gender.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar