Search This Blog

Mengapa Siswa Indonesia Pandai Menghafal tapi Kesulitan Memecahkan Masalah?

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Mengapa Siswa Indonesia Pandai Menghafal tapi Kesulitan Memecahkan Masalah?
Nov 29th 2025, 13:00 by Mohammad Lutfi

Editing via Canva by Mohammad Lutfi
Editing via Canva by Mohammad Lutfi

Pernahkah Anda melihat siswa yang hafal rumus matematika dengan sempurna, tapi begitu dihadapkan pada soal cerita langsung bingung? Atau anak yang dapat menyebutkan banyak definisi dan teori dengan lancar, tapi kesulitan dan bingung saat berada dalam situasi nyata?

Fenomena ini bukan sekadar soal kemampuan siswa yang kurang, tapi lebih kepada pola pembelajaran yang sudah mengakar dalam sistem pendidikan kita. Ada seorang filsuf pendidikan dari Brasil bernama Paulo Freire yang punya istilah menarik untuk ini: "banking education" atau pendidikan gaya bank.

Coba bayangkan proses perbankan. Ada pihak yang menyetor uang, ada yang menerima, lalu uang itu disimpan. Menurut Freire, banyak pola pembelajaran kita yang bekerja seperti ini: guru menyampaikan informasi, siswa menerima dan menyimpannya, lalu mengeluarkannya kembali saat ujian. Tidak ada banyak ruang untuk proses berpikir lebih dalam, mempertanyakan, atau mengolah

informasi menjadi pemahaman yang bermakna.

Paulo Freire, lewat bukunya "Pedagogy of the Oppressed", mengatakan pola ini membuat siswa seperti celengan kosong yang hanya menunggu diisi.

"Semakin patuh siswa menyimpan 'setoran' pengetahuan, semakin terbatas ruang mereka untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis,"

Mahir Menghafal, Tapi...

Mari kita lihat pola pembelajaran yang umum terjadi: siswa duduk rapi, guru menjelaskan di depan. Materi disampaikan satu arah. Pertanyaan yang diajukan? Sudah ada jawabannya di buku paket. Ulangan harian? Menguji seberapa akurat siswa mengingat apa yang sudah diajarkan.

Hasilnya? Generasi kita memang luar biasa dalam hal menghafal. Tapi ketika masuk ke soal yang membutuhkan analisis atau pemecahan masalah kompleks, di situlah tantangannya muncul.

Buktinya bisa dilihat dari hasil survei PISA (Programme for International Student Assessment). Indonesia sering berada di peringkat bawah untuk kemampuan bernalar dan problem solving. Padahal ini bukan berarti siswa kita kurang cerdas. Sistem pembelajaran kita saja yang belum maksimal mengasah kemampuan berpikir kritis dan kreatif mereka.

Belajar Seharusnya Dialog, Bukan Monolog

Freire punya pandangan yang menarik: pendidikan sejati itu bukan soal transfer pengetahuan searah, tapi dialog. Konsep ini dia sebut "problem-posing education" atau pendidikan berbasis masalah. Jadi bukan lagi guru yang serba tahu sementara siswa pasif mendengarkan, tapi keduanya menjadi mitra dalam eksplorasi pembelajaran.

Contohnya begini: daripada guru berceramah panjang lebar tentang perubahan iklim lalu siswa disuruh menghafal definisinya, bagaimana kalau guru bertanya: "Mengapa Jakarta sekarang mudah sekali banjir? Apakah ada hubungannya dengan sampah yang kita buang setiap hari?"

Dari situ, siswa mulai berdiskusi, mencari data, menganalisis, lalu membuat kesimpulan sendiri. Pengetahuan tidak lagi sekadar "disetorkan", namun "dibangun bersama".

Dampak Jangka Panjang yang Perlu Disadari

Banking education punya efek samping yang serius: menciptakan kebiasaan belajar yang pasif dan kurang mandiri. Pola ini secara tidak langsung mengajarkan bahwa guru adalah satu-satunya sumber kebenaran. Pertanyaan kadang dianggap 'mengganggu', padahal seharusnya dihargai sebagai bentuk keingintahuan yang positif.

Tidak heran kalau banyak lulusan kita yang mahir mengerjakan soal pilihan ganda, tapi ketika diminta memberikan solusi kreatif untuk menyelesaikan masalah, masih kebingungan dan perlu belajar lagi.

Kurikulum Merdeka sebagai Harapan Baru

Kabar baiknya, pemerintah sudah mulai menyadari tantangan ini. Kurikulum Merdeka yang dijalankan sejak 2022 mencoba menjawab persoalan ini dengan pendekatan yang lebih fleksibel dan humanis.

Kurikulum Merdeka menekankan pembelajaran berbasis proyek, memberikan ruang lebih luas untuk eksplorasi, dan mengurangi beban materi hafalan yang terlalu padat. Ini sejalan dengan gagasan Freire tentang pendidikan yang membebaskan. Siswa tidak lagi hanya menerima, tapi aktif membangun pengetahuan mereka sendiri.

Namun, transisi dari pola lama ke pola baru tentu membutuhkan waktu dan dukungan dari semua pihak, terutama untuk para guru yang perlu beradaptasi dengan metode mengajar yang berbeda.

Langkah Konkret yang Bisa Dimulai

Mengubah pola pembelajaran memang tidak mudah, tapi bisa dimulai dari hal-hal kecil:

Pertama, ubah cara pembelajaran dari ceramah satu arah menjadi diskusi dua arah. Perbanyak debat, tanya jawab, dan brainstorming. Berikan ruang bagi siswa untuk bertanya, bahkan mempertanyakan hal yang sudah dianggap baku.

Kedua, geser fokus penilaian. Jangan hanya menguji hafalan, tapi ukur juga kemampuan menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan sesuatu yang baru.

Ketiga, ajak siswa untuk menjadi pembelajar yang aktif. Peran guru berubah menjadi fasilitator dan mentor, bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan.

Keempat, hubungkan pembelajaran dengan kehidupan nyata. Matematika bukan hanya rumus abstrak, tapi alat untuk mengatur keuangan. Sejarah tidak melulu hafalan tahun, tapi pelajaran untuk memahami kondisi masa kini.

Kelima, berikan dukungan penuh kepada para guru dalam proses transformasi ini. Mereka membutuhkan pelatihan yang memadai, sumber daya yang cukup, dan apresiasi atas usaha mereka.

Saatnya Melangkah ke Depan

Paulo Freire menulis gagasannya lebih dari 50 tahun yang lalu, tapi relevansinya masih sangat terasa hingga hari ini. Dengan adanya Kurikulum Merdeka, kita punya momentum yang baik untuk berubah. Ini bukan sekadar mengganti nama kurikulum, tapi peluang untuk mengubah fundamental cara kita memandang pendidikan.

Pendidikan bukan soal menyetor dan menarik uang dari ATM. Pendidikan adalah proses memberdayakan, membebaskan pikiran, dan mempersiapkan siswa untuk menjadi pembelajar seumur hidup.

Saatnya kita bergerak dari pola "perbankan" dalam pendidikan. Karena masa depan Indonesia tidak membutuhkan robot penghafal yang hanya bisa mengikuti instruksi. Masa depan membutuhkan pemikir kritis, pemecah masalah, dan inovator yang berani bertanya: "Mengapa?" dan "Bagaimana kalau kita coba cara lain?"

Media files:
01kavey6m2y1raz2dwgy08h37g.png image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar