Peserta lomba panjat pinang berusaha mencapai puncak tiang untuk mengambil hadiah saat digelar lomba panjat pinang di Ancol, Jakarta, Sabtu (17/8/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Menjelang perayaan HUT ke-80 Republik Indonesia, batang pinang menjadi salah satu komoditas musiman yang diburu panitia lomba di berbagai daerah.
Di Jalan Manggarai Utara, Jakarta Selatan, Arifin (63 tahun) dan Danis (64), masih setia menjual batang pinang untuk perlombaan 17 Agustus setiap tahunnya. Keduanya menempati lokasi yang sama setiap musim Agustusan tiba.
Arifin mengaku tahun ini ada sedikit peningkatan penjualan dibanding tahun lalu.
"Agak meningkat sih," kata Arifin saat ditemui kumparan, Sabtu (16/8).
Pedagang musiman ini sudah berjualan sejak masa mudanya, meneruskan usaha keluarga. Lokasinya pun tak pernah berubah.
Arifin (63), penjual batang pinang di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, Sabtu (16/8/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparan
Batang pinang yang dijual Arifin berasal dari Rangkasbitung, Lebak, Banten. Proses penjagaan dan penjualannya dibantu anak dan keponakan.
Harga jualnya berkisar Rp 2 juta hingga lebih, tergantung panjang batang dan ongkos kirim.
Untuk ukuran, ia menyebut ada pinang lima meter untuk anak-anak, sembilan hingga 12 meter untuk orang dewasa, yang harus dipesan jauh hari sebelum bulan Agustus.
Bantu Keuangan Keluarga
Peserta lomba panjat pinang berusaha mencapai puncak tiang untuk mengambil hadiah saat digelar lomba panjat pinang di Ancol, Jakarta, Sabtu (17/8/2024). Foto: Jamal Ramadhan/kumparan
Pesanan datang dari berbagai wilayah, mulai dari Lebak Bulus, Bekasi, hingga Tanjung Priok. Tahun ini, ia berhasil menjual sekitar 40 batang. Meski hanya musiman, usaha ini cukup membantu keuangan keluarga.
"Kalau penjualannya hampir rata, ya lumayan. Kalau penjualannya kadang-kadang kan ada yang murah, ada yang mahal," katanya.
Soal persaingan, Arifin mengaku santai. Baginya, semua pedagang telah memiliki rezeki masing-masing. "Biasa aja. Di pasar aja tukang cabe pada sama-sama. Nggak masalah. Orang dagang kan rezeki masing-masing," tuturnya.
Seperti pedagang musiman lainnya, Arifin pernah mengalami masa sulit, terutama saat pandemi COVID-19.
Sementara itu, kata dia, suasana menjual batang pinang setiap tahunnya terasa berbeda. "Ramean zaman dulu, kalau sekarang mah tempat-tempatnya udah pada nggak ada. Mikirin lokasinya juga. Dulu kan lahan kosong banyak," ujarnya.
Cerita Danis
Danis (64), penjual batang pinang di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, Sabtu (16/8/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparan
Tak jauh dari lapak Arifin, Danis sudah berjualan batang pinang di lokasi yang sama sejak 2013. Tahun ini, ia mulai berjualan sejak 1 Agustus, dan seperti tahun-tahun sebelumnya, aktivitas dagang akan berhenti ketika stok habis. Menjelang H-1, Danis mengaku masih menerima pesanan.
Ia pun merasa tahun ini, pembeli lebih ramai dibanding tahun lalu. "Kalau sekarang, banyakan ini sih kayaknya tahun ini," ungkapnya singkat.
Pelanggan dari Berbagai Daerah
Sama seperti Arifin, pinang yang dijual Danis juga berasal dari Rangkas. Ia bekerja mengupas dan mempersiapkan pinang setiap bulan Agustus.
Selain menjual langsung di lokasi, ia juga melayani pengiriman. Tahun ini, ia berhasil menjual sekitar 70 batang, dengan harga berkisar Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta, tergantung panjang dan ongkos kirim.
"Kadang-kadang 900 (ribu), kadang-kadang ya begitu dah. Paling banter juga 700 (Rp 700 ribu). Kalau diantar-antar ya 1.000 (Rp 1 juta)," ujar Danis.
Pelanggan datang dari Tangerang, Serpong, Bekasi, hingga Gunung Putri. Soal persaingan, Danis sependapat dengan Arifin.
"Ya sama aja sih. Nggak terlalu ini. Kan masing-masing udah punya langganan. Iya udah langganan setiap tahun," ujarnya.
Danis (64), penjual batang pinang di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan, Sabtu (16/8/2025). Foto: Nasywa Athifah/kumparan
Bagi Arifin dan Danis, berjualan batang pinang bukan sekadar mencari penghasilan musiman. Ini adalah bagian dari tradisi tujuh belasan yang mereka jaga setiap tahun. Pasokan dari luar kota, keterlibatan keluarga, dan pelanggan setia dari berbagai wilayah menjadi denyut ekonomi kecil yang hidup kembali setiap Agustus.
Meski persaingan dan kondisi ekonomi kadang berubah, mereka tetap optimistis. Sebab, bagi pedagang seperti mereka, Agustusan adalah musim panen yang tak ternilai, sekaligus momen untuk menjaga semangat gotong-royong dan kebersamaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar