Aug 3rd 2024, 11:00, by Hutri Dirga Harmonis, kumparanWOMAN
Media sosial Instagram tengah diramaikan dengan kreator laki-laki yang kerap membuat konten memasak berbau pelecehan seksual. Kreator berinisial T itu menyematkan berbagai kalimat tidak pantas sebagai nama makanan yang dimasaknya. Beberapa contoh menu makanannya, seperti "susu dila kencang, peler berdebu, meki menggelitique, pentil nabila," dan masih banyak lagi.
Netizen pun memberikan ragam respons terhadap konten-konten nyeleneh yang dibuat T. Ada yang menganggap itu hanya trik marketing agar si konten kreator mendapatkan atensi lebih. Tapi banyak juga netizen yang menganggap T justru melakukan pelecehan seksual berkedok konten makanan.
Tindakan yang dilakukan konten kreator tersebut juga tidak hanya seolah melecehkan perempuan, tapi juga sesama kaum laki-laki. Netizen pun ramai-ramai meminta T agar berhenti membuat konten berbau seksual, namun menurut pantauan kumparanWOMAN hingga hari ini, Jumat (2/8) konten kreator tersebut masih aktif mengunggah konten dengan konsep serupa.
Kata Komnas Perempuan soal kreator makanan berbau pelecehan seksual
Melihat fenomena ini, Komnas Perempuan pun turut memberikan komentarnya. Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat menyebut bahwa apa yang dilakukan T termasuk ke dalam kategori pelecehan seksual.
"Persaingan keras dalam memikat banyak pengunjung, konten kreator tidak berpikir panjang dalam kerangka etis yakni mempertimbangkan bias gender, pelecehan, dan kepantasan. Perilaku konten kreator itu dapat dikategorikan sebagai tidak senonoh atau melecehkan perempuan dan laki-laki," ujar Rainy saat dihubungi kumparanWOMAN pada Kamis (⅛).
Menu makanan yang mencatut nama seseorang, seperti Nabila atau Dila, selain bernuansa tidak senonoh, juga jelas-jelas melecehkan perempuan. Lebih lanjut, menurut Rainy, pemilihan kalimat seperti "meki menggelitique dan peler berdebu" merupakan ungkapan yang melecehkan laki-laki karena bernuansa seksual.
Selain itu, Rainy juga menyinggung soal situs layanan daerah Kabupaten Cirebon yang baru-baru dibicarakan karena kedapatan menggunakan singkatan-singkatan ambigu seperti Sipepek yang dianggap bias gender pada programnya.
"Nama-nama demikian menunjukkan nilai-nilai patriarki masih kuat dalam masyarakat kita termasuk (di kalangan) konten kreator. Sipepek juga diprotes masyarakat karena dinilai bias gender, dirasakan tak pantas, apalagi nama tersebut digunakan pemerintah daerah," imbuh Rainy.
Konten kreator seharusnya menghibur dan memberikan edukasi
Kehadiran konten kreator seharusnya bisa menghibur dan memberikan edukasi kepada audiensnya. Meski mereka menghadapi persaingan ketat di dunia digital, konten kreator tetap perlu berpedoman kepada kode etik di antaranya menghindari bias gender dan membuat konten yang tidak berpotensi melecehkan.
Menurut Rainy, konten kreator sebenarnya memiliki kebebasan yang luas untuk berkreasi namun hal itu juga tetap dibatasi dengan nilai adab yang ada di Indonesia. Jadi Rainy, mengimbau agar pegiat konten digital menormalisasi berbagai ungkapan baik dalam bentuk kata-kata maupun visual yang senonoh pada karya mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar