Search This Blog

Vitalitas Hidup dan Depresi

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Vitalitas Hidup dan Depresi
Jun 30th 2024, 09:56, by Ina Qori'ah, Ina Qori'ah

Image by Anemone123 from Pixabay
Image by Anemone123 from Pixabay

Setiap manusia tentu memiliki vitalitas hidup yaitu suatu perasaan individu mengenai suatu hal yang mendasari individu untuk bertahan hidup dan melanjutkan hidupnya. Individu yang merasa pentingnya melanjutkan hidup maka individu tersebut memiliki semangat untuk dapat segera menyelesaikan tugas yang diembannya (KBBI, 2016).

Vitalitas atau vitality secara etimologi berasal dari ide tentang hidup dan didefinisikan sebagai sebuah kekuatan alamiah atau prinsip hidup (Ryan & Frederick, 1997: 534). Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford (2016), subjective vitality merupakan suatu keadaan di mana individu yang merasa bugar memiliki semangat dan keaktifan yang menjadikannya sebagai sumber energi kehidupan serta merupakan gambaran nyata dari kegembiraan yang berasal dari energi yang memunculkan semangat, antusias, dan spontanitas.

Individu yang merasa bugar mempunyai semangat akan pentingnya melanjutkan hidup dan menjadikannya sebagai sumber energi yang cukup untuk menjalani kehidupannya dan mampu mengoptimalkan segala potensi yang dimilikinya.

Meski vitalitas hidup merupakan aspek penting bagi setiap individu, ada kondisi-kondisi tertentu yang dapat mempengaruhi dan menurunkan vitalitas seseorang. Salah satu kondisi yang signifikan dalam hal ini adalah depresi. Pada penderita depresi, vitalitas hidup cenderung menurun secara drastis. Hal ini terjadi karena depresi mempengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan, termasuk hubungan dengan keluarga, teman, dan komunitas.

Penting untuk dipahami bahwa depresi bukanlah sekadar perubahan suasana hati atau perasaan biasa yang muncul dalam kehidupan sehari-hari. Depresi merupakan kondisi kesehatan mental yang lebih serius dan dapat berdampak signifikan pada kualitas hidup seseorang. Depresi ditandai dengan kondisi emosional yang tidak stabil, seperti kesedihan yang amat sangat, perasaan tidak berarti dan bersalah (menarik diri, tidak dapat tidur. kehilangan selera, minat dalam aktivitas sehari-hari), dalam Gerald C. Davison 2004. Menurut Rice PL (1992).

Gejala lain juga dapat muncul, yang mungkin termasuk:

1. Konsentrasi yang buruk

2. Perasaan bersalah yang berlebihan atau harga diri yang rendah

3. Keputusasaan tentang masa depan

4. Pikiran tentang kematian atau bunuh diri

5. Gangguan tidur

6. Perubahan nafsu makan atau berat badan

7. Merasa sangat lelah atau tidak berenergi.

Diperkirakan 3,8% dari populasi mengalami depresi, termasuk 5% orang dewasa (4% di antara pria dan 6% di antara wanita), dan 5,7% orang dewasa yang berusia di atas 60 tahun. Sekitar 280 juta orang di dunia mengalami depresi (1). Depresi sekitar 50% lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Di seluruh dunia, lebih dari 10% wanita hamil dan wanita yang baru saja melahirkan mengalami depresi (2). Lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Bunuh diri adalah penyebab kematian keempat pada usia 15-29 tahun (WHO, 2023).

Pada penderita depresi, vitalitas menurun karena Perubahan kimia pada otak penderita depresi melibatkan defisiensi neurotransmitter seperti norepinefrin, dopamin, dan serotonin. Penelitian awal menunjukkan bahwa depresi terkait dengan penurunan tingkat neurotransmitter dalam otak, seperti norepinefrin dan serotonin. Selain itu, gangguan neurokimiawi dalam neurotransmitter, terutama amina biogenik yang berperan sebagai neurotransmitter dalam sistem saraf pusat dan perifer, juga berperan dalam terjadinya depresi. Defisiensi neurotransmitter ini dapat menjadi penyebab terjadinya gejala depresi pada penderita.

Selain faktor kimia dalam otak, penderita depresi mengalami penurunan vitalitas hidup dikarenakan oleh interaksi berbagai faktor. Faktor-faktor ini meliputi genetik, di mana individu dengan riwayat keluarga depresi memiliki risiko lebih tinggi; peristiwa traumatis atau kehilangan signifikan; dan stres kehidupan kronis. Lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya juga berperan, termasuk kurangnya dukungan sosial dan konflik interpersonal.

Serta, gangguan fisiologis seperti masalah hormonal dan gangguan tidur dapat berkontribusi pada depresi. Model kognitif dan perilaku, termasuk pola pikir negatif dan kecenderungan merespons situasi secara negatif, juga berperan penting. Pemahaman akan kompleksitas faktor-faktor penyebab depresi ini sangat penting untuk diagnosis yang akurat, pengelolaan yang efektif, dan pengobatan yang tepat bagi individu yang mengalami kondisi ini (Hadi, et.al., 2017).

Untuk mengembalikan vitalitas hidup pada penderita depresi diperlukan terapi khusus dari psikolog maupun psikiater. Obat-obatan antidepresan yang meningkatkan tingkat neurotransmitter ini telah terbukti mengurangi gejala depresi. Secara keseluruhan meliputi perubahan pola hidup, terapi psikologi, dan pengobatan dengan obat antidepresan. Perubahan pola hidup meliputi berolahraga, menjaga kesehatan mental, dan menghindari kebiasaan buruk seperti konsumsi alkohol dan narkoba.

Terapi psikologi dapat membantu penderita depresi dalam mengatasi masalah emosional dan mental yang mendasari depresi. Pengobatan dengan obat antidepresan seperti lithium, MAOIs, dan Tricyclics juga dapat membantu mengurangi gejala depresi. Pencegahan depresi juga penting dengan bersikap realistis terhadap harapan, tidak menyalahkan diri sendiri, dan menjaga kesehatan mental secara keseluruhan (Dirgayunita, 2016).

Media files:
01j1hzp03441axdhz18xfgtm4s.jpg (image/jpeg)
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar