Jan 14th 2024, 18:25, by Ema Fitriyani, kumparanBISNIS
Amerika Serikat (AS) dan Inggris mulai meluncurkan serangan udara ke kota-kota di Yaman yang dikuasai kelompok pemberontak Houthi. Konflik ini dinilai bisa memicu pergolakan harga minyak mentah dunia.
Kedua negara adidaya itu menyerang dari serangan Houthi terhadap kapal-kapal yang melintas di Laut Merah. AS pun kembali menyerang Yaman pada Sabtu (13/1), setelah pemberontak Houthi mengancam balas dendam atas serangan Barat.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, mengatakan kawasan Timur Tengah secara keseluruhan memiliki perang penting, jika tidak sebagai produsen minyak mentah, maka sebagai jalur distribusi.
"Kalau ada ketegangan politik, mau tidak mau pasti akan berpengaruh terhadap sentimen negatif mendorong harga minyak ke arah yang tidak terkendali, artinya tidak stabil," ujarnya saat dihubungi kumparan, Minggu (14/1).
Komaidi melanjutkan, fluktuasi harga minyak mentah dunia akan cenderung meningkat karena ada kekhawatiran pasokan minyak dunia jadi berkurang dengan adanya ketegangan di Timur Tengah.
"Kembali, kalau dari hukum dasar ekonomi ketika ada permasalahan dalam penawaran atau supply jadi turun, pasti harganya akan meningkat," kata Komaidi.
Sementara itu, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal, mengatakan serangan ke Yaman ini bukan konflik pertama, sebab muncul di tengah serangan Israel ke Palestina yang juga masih berlangsung.
Moshe menilai, selama perang Israel dan Hamas berlangsung, harga minyak mentah tidak mengalami lonjakan yang berarti. Berbeda dengan situasi ketika eskalasi konflik Rusia dan Ukraina pecah tahun 2022 lalu.
"Kita lihat minyak itu tidak melonjak besar-besaran karena permintaannya juga tidak melonjak, jadi secara fundamental sebenarnya dari supply dan demand itu cukup aman dan memang semua menjaga agar harga minyak ini stabil," jelasnya.
Dia mencontohkan Saudi Arabia sebagai salah satu produsen utama minyak mentah dunia berusaha menjaga harga minyak tetap stabil di kisaran USD 70-80 per barel.
"Jadi saya lihat sih tidak ada perubahan yang signifikan dari harga minyak itu sendiri gara-gara perang ini, karena memang ini semua sudah menganggap ini bukan sesuatu yang spesial," kata Moshe.
"Supply pun saya lihat tidak begitu terganggu gara-gara ini. Sekarang fundamental tidak ada perubahan, saya yakin tidak ada perubahan yang signifikan pada harga minyak," imbuh dia.
Di sisi lain, Moshe juga masih membuka kemungkinan gangguan jalur distribusi di Timur Tengah imbas perang ini bisa mengganggu pasokan minyak mentah sehingga menyebabkan ketidakstabilan harga.
"Mungkin ada tapi tidak begitu signifikan, kita lihat saja sendiri tidak ada kenaikan drastis, tidak seperti gara-gara perang Ukraina dan Rusia itu luar biasa kenaikannya," tegasnya.
"Kalaupun ada gangguan secara fundamental tidak begitu terganggu, mungkin secara sentimen orang agak was-was tapi ya so far tidak ada yang terlalu worry, tidak ada perubahan banyak dari harga migas sekarang," pungkas Moshe.
Dengan demikian, Moshe memastikan eskalasi konflik antara Barat dan Timur Tengah ini pun tidak akan berdampak besar bagi Indonesia, terutama terkait kenaikan harga BBM yang masih bergantung pada impor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar