Mengawali tulisan ini, saya memutar kembali ingatan masa kecil dan buku-buku yang sering saya baca ketika duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Dulu buku-buku seperi dongeng, dan cerita rakyat seringkali menjadi buku yang diperebutkan ketika membaca di perpustakaan bahkan harus antre saat meminjam dan dibawa pulang.
Berbicara soal ibu tiri, saya harus mengakui bahwa pandangan saya tentang ibu tiri memiliki citra yang negatif memang sudah terbentuk sejak kecil, hal tersebut lantaran stigma ibu tiri yang sudah telanjur buruk hingga cerita yang tersebar di tengah masyarakat.
Sewaktu kecil, selain membaca buku di sekolah seperti cerita Bawang Merah Bawang Putih, Cinderella, Putri Salju saya juga sangat menikmati cerita-cerita tersebut ditayangkan pada stasiun televisi. Pandangan saya mulai berubah akan ibu tiri, baru tumbuh ketika dewasa.
Rupanya dongeng dan cerita rakyat tersebut memiliki dampak yang luar biasa sehingga membentuk paradigma dan pola pikir seseorang dalam menilai akan sesuatu.
Dalam dongeng atau cerita rakyat yang pernah saya baca, ibu tiri selalu digambarkan sebagai sosok yang jahat, iri dan selalu berusaha menghancurkan kehidupan anak tirinya, tidak adil bahkan penuh dengan kebencian.
Akhirnya bukan suatu kebetulan, jika kehadiran ibu tiri dalam suatu keluarga menjadi kurang disukai bahkan selalu dibanding-bandingkan dengan keluarga yang lain.
Tidak hanya ibu tiri, dalam dongeng dan cerita rakyat penggambaran anak tiri juga mendapat tempat yang sama di masyarakat, keduanya selalu menjadi metafor inferioritas.
Mengapa Stigma Negatif Terus Bertahan?
Stereotipe ibu tiri yang jahat disebutkan sudah ada sejak dalam dongeng dan cerita rakyat di seluruh dunia selama ribuan tahun. Beberapa cerita bahkan berasal dari zaman Romawi.
Di dalam Alkitab pun: Sarah, sang ibu pemimpin yang melahirkan putra Abraham, membuang anak-anaknya yang lain agar tidak perlu berbagi warisan. Namun, sebagian besar karakter populer yang menjadi dasar film dan sastra modern bermula pada tahun 1812.
Saat itu, Jerman Jacob dan Wilhelm Grimm pertama kali menerbitkan koleksi mereka, Children's and Household Tales. Mereka menggunakan penggalan-penggalan cerita lisan dan mengadaptasikannya ke dalam narasi baru, yang kombinasinya mencatat dongeng seperti Hansel dan Gretel, Cinderella dan Putri Salju.
Lawrence Ganong, profesor emeritus perkembangan manusia di University of Missouri, AS menyebut, meski fiktif, fokus pada ibu tiri memang mencerminkan beberapa kebenaran tentang masyarakat abad ke-19. Ketika dongeng-dongeng ini diciptakan, rentang hidup sangat rendah," kata, yang mempelajari keluarga tiri selama puluhan tahun.
Perempuan sering meninggal saat melahirkan, meninggalkan anak-anak dalam pengasuhan ayah saja. Ibu tiri jahat yang muncul di halaman dongeng memberikan nasihat peringatan keluarga: ayah harus melindungi dan mendukung anak-anaknya, dan ibu tiri harus melakukan hal yang benar untuk anak tirinya. Jika tidak, hal buruk akan terjadi.
Cerita-cerita itu juga menawarkan saluran terapeutik yang aman bagi pembaca untuk memproses perasaan tabu – seperti kemarahan dan kebencian pada ibu.
Cerita Anak Harus Lebih Mendidik
Saat ini di tengah kemajuan ilmu pengetahuan yang terus berkembang, sudah saatnya mitos mitos akan ibu tiri jahat harus segera diakhiri karena ibu tiri juga punya kesempatan untuk membangun keluarga yang sukses.
Seperti yang kita tahu, banyak penelitian yang menyebutkan ibu tiri justru hadir dan mengisi peran ibu dalam kehidupan anak. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak orang tua tiri yang berhasil mengasuh anak tiri mereka dan membantu mencapai stabilitas dalam rumah tangga.
Meski nantinya ibu tiri yang jahat masih digunakan dalam suatu cerita pada zaman modern seperti sekarang, mungkin hal yang sangat penting diperhatikan adalah mempertimbangkan kembali penggunaannya dan mengeksplorasi kisah-kisah alternatif yang lebih inklusif dan mendidik generasi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar