Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam hal ini Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan banding atas vonis nihil Benny Tjokrosaputro dalam kasus pengelolaan keuangan dan dana investasi PT ASABRI serta pencucian uang. Jaksa menilai putusan majelis hakim Tipikor Jakarta Pusat itu jauh dari rasa keadilan.
Benny Tjokro selaku Komisaris PT Hanson International memang dinyatakan sah dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi serta pencucian uang dalam kasus ASABRI. Ia terbukti merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun.
Namun, majelis hakim menjatuhkan vonis nihil kepada Benny Tjokro. Salah satu pertimbangan hakim karena Benny Tjokro sudah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam kasus Jiwasraya.
Pertimbangan hakim lainnya ialah jaksa dinilai melakukan tuntutan secara tidak patut. Dalam sidang tuntutan, jaksa menuntut Benny Tjokro dipidana mati sebagaimana Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor. Namun tuntutan itu tidak dikabulkan hakim.
Hakim beralasan bahwa Pasal 2 ayat (2) yang mengatur soal pidana mati itu bukan bagian dari dakwaan jaksa. Dalam dakwaan, Benny Tjokro didakwa dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Tipikor.
Berikut bunyi Pasal 2 UU Tipikor yang dimaksud:
Ayat (1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Sementara dalam bagian penjelasan, yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Penuntutan jaksa terhadap Benny Tjokro dinilai tidak tepat oleh majelis hakim. Menurut majelis, ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sebagaimana dakwaan ialah pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 6-20 tahun dan denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
"Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum yang menuntut pidana mati," kata ketua majelis hakim IG Eko Purwanto saat membacakan pertimbangan vonis Benny Tjokro di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (12/1).
Namun, Kejagung punya pendapat lain. Jaksa menilai putusan tersebut mengundang polemik dan kontroversi sehingga menyatakan banding.
Kapuspenkum Ketut Sumedana menyampaikan sedikitnya tiga poin alasan dilakukannya upaya banding atas putusan Benny Tjokro itu:
Pertama, putusan tersebut sangat mengusik dan mencederai rasa keadilan. Sebab, Benny Tjokro telah melakukan pengulangan tindak pidana, sebelumnya dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya, sehingga seharusnya setelah diputus dengan hukuman seumur hidup. Di mana ada penambahan hukuman dengan hukuman mati, sesuai dengan doktrin hukum pidana.
Kedua, majelis hakim disebut keliru dalam menerapkan hukum, karena Benny Tjokro terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan jaksa, yakni Primair Pasal 2 dengan ancaman minimal 4 tahun penjara.
"Sehingga penerapan hukuman nihil bertentangan dengan undang-undang tindak pidana korupsi," kata Ketut dalam keterangan tertulisnya, Minggu (15/1).
Ketiga, proses hukum Benny Tjokro dalam perkara PT Asuransi Jiwasraya memang sudah berkekuatan hukum tetap, kata Ketut. Namun yang bersangkutan masih memiliki upaya hukum luar biasa dan mengajukan hak-haknya untuk mendapatkan seperti grasi, remisi, amnesti, sehingga apabila dikabulkan, maka akan membahayakan bagi penegakan hukum, dan seharusnya ada persyaratan khusus dalam putusan a quo.
Lebih jauh, Ketut menerangkan bahwa putusan tersebut jauh dari rasa keadilan dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Putusan yang merugikan lebih dari Rp 40 triliun, apabila diakumulasi dengan 2 perkara yang dilakukan Benny Tjokrosaputro secara absolut mengingkari nurani keadilan itu sendiri.
"Ini tidak saja merugikan kerugian Negara, tetapi merugikan masyarakat luas terutama pensiunan TNI dan Kepolisian Negara RI yang selama ini menjaga keamanan Negara," pungkas Ketut.
Dalam perkara Jiwasraya, Benny Tjokro terbukti bersalah. Perbuatannya merugikan negara hingga Rp 16 triliun. Dalam kasus itu, Benny Tjokro mendapat keuntungan sebesar Rp 6 triliun.
Vonis seumur hidup Benny Tjokro sudah inkrah setelah kasasi di Mahkamah Agung (MA) ditolak.
Dalam perkara ASABRI, Meski tak dijatuhi pidana kurungan, Benny tetap dijatuhi hukuman membayar uang pengganti. Hakim memvonis Benny harus membayar uang Rp 5,7 triliun sebagaimana dakwaan jaksa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar