Memperingati hari HAM yang jatuh pada Sabtu (10/12), Komunitas Slavery menggelar aksi di kawasan Landmark, Kota Ternate, Maluku Utara.
Koordinator lapangan, Rinaldi Gamkunora, menuturkan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan.
"Wajib dihormati, dijunjung tinggi oleh negara dan setiap orang sesuai Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999," jelasnya.
Ia mengatakan, menikmati alam dan lingkungan yang sehat bagian dari hak setiap orang yang harus dilindungi oleh negara.
Hal ini jelas dijelaskan dalam UUPLH Pasal 5 Ayat 1 dan Pasal 6 Ayat 1. Namun belakangan ini, persoalan ekologi banyak terjadi di Malut.
"Baik darat maupun laut, industri pertambangan hingga persoalan sampah hampir terjadi di mana-mana," ungkap Rinaldi.
Namun pemerintah masih terus memberi ruang bagi industri ekstraktif untuk beroperasi. "Seperti 10 IUP di Kepulauan Sula," ujarnya.
Begitu juga dengan persoalan sampah. Pada 2021 mencapai 60-80 ton per hari. Memasuki 2022 meningkat 80-90 ton per hari.
"Tapi pemerintah sepertinya kurang serius menangani. Ini terbukti dengan banyaknya sampah di perairan Ternate," ujar Rinaldi.
Menurutnya, persoalan lingkungan seperti ini dapat mempercepat fenomena perubahan iklim, seperti pemanasan global.
Di mana, suhu bumi naik secara drastis. "Maka hak manusia untuk menikmati lingkungan dan sumber kehidupan akan musnah," jelasnya.
Padahal, Indonesia telah membangun kesepakatan dalam Perjanjian Paris (Paris agreement), untuk menurunkan gas emisi hingga di bawah 2,0 derajat celsius.
"Maka melalui momentum ini, kami minta pemerintah agar serius menangani persoalan perubahan iklim ini," pungkasnya. (KLS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar