Petani menyelamatkan padi pascapanen yang terendam banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO
Dalam perjalanan sejarah umat manusia, empati selalu menjadi jangkar moral yang menjaga kita dari keterpurukan sosial. Namun, dunia hari ini menunjukkan gejala sebaliknya. Teknologi membuat kita semakin terhubung, tetapi tidak selalu membuat kita semakin peduli. Penderitaan manusia hadir setiap detik di layar gawai, tetapi reaksi emosional kita melemah.
Fenomena ini mencerminkan apa yang disebut Erich Fromm sebagai "kemerosotan cinta kemanusiaan dalam masyarakat modern." Tanpa empati, masyarakat kehilangan kemampuan untuk melihat nilai manusia pada diri orang lain dan di titik inilah krisis empati modern menjadi ancaman serius bagi masa depan.
Banjir Informasi dan Tumpulnya Nurani
Setiap hari, masyarakat global dihujani informasi tentang perang, kemiskinan ekstrem, bencana alam, hingga konflik sosial. Alih-alih memperkuat rasa kepedulian, paparan berlebih sering kali mengakibatkan overload emosional. Situasi ini membuat sebagian orang memilih untuk "mematikan" sensitivitas mereka demi bertahan secara mental.
Gambar Ilustrasi Krisis empati. Sumber: Shutterstock
Jean Baudrillard pernah memperingatkan bahwa realitas modern tidak lagi dialami secara langsung, tetapi melalui representasi digital. "Simulakra menggantikan kenyataan," tulisnya. Ketika tragedi hanya muncul sebagai gulir konten dan bukan pengalaman manusia nyata, empati mengalami proses devaluasi. Kita menjadi terbiasa melihat penderitaan sebagai hal biasa, sebuah hiburan tragis yang hadir tanpa konsekuensi moral.
Dalam konteks ini, dunia digital menciptakan paradoks baru: semakin dekat secara teknologi, semakin jauh secara emosional. Kita mengetahui lebih banyak, tetapi merasakan lebih sedikit.
Individualisme Baru dan Pudarnya Relasi Sosial
Krisis empati juga berkaitan erat dengan menguatnya individualisme modern. Dalam kehidupan urban yang kompetitif, manusia semakin terdorong untuk fokus pada pencapaian personal. Relasi sosial menjadi dangkal, mudah terbentuk, tapi mudah hilang.
Sejumlah pengungsi bencana banjir berjalan di Desa Kuala Keureuto, Aceh Utara, Aceh, Senin (8/12/2025). Foto: Bayu Pratama S/ANTARA FOTO
Zygmunt Bauman menggambarkan kondisi ini sebagai "masyarakat cair": hubungan manusia tidak memiliki stabilitas dan manusia cenderung menghindari kedekatan emosional yang dianggap mengganggu kenyamanan pribadi.
Bauman menulis, "Kita takut terikat, tetapi juga takut sendirian." Ketakutan ganda inilah yang membentuk kultur relasi hari ini: orang menginginkan hubungan tanpa komitmen emosional, solidaritas tanpa konsekuensi, dan kedekatan tanpa tanggung jawab. Dalam ekosistem seperti ini, empati sering dipandang sebagai kerentanan, bukan keutamaan moral.
Akibatnya, batas antarindividu semakin tebal. Kita memilih lingkungan homogen, baik dalam pertemanan digital maupun opini publik. Empati menjadi selektif dan bersyarat memberi ruang hanya kepada mereka yang "mirip" dengan kita.
Politik Identitas dan Menguatnya Eksklusivitas Emosi
Ilustrasi politik identitas. Foto: Shutter Stock
Polarisasi sosial dan politik yang menguat dalam beberapa tahun terakhir memperparah krisis empati. Politik identitas menciptakan garis batas yang semakin keras antara kelompok sosial, etnis, atau ideologis. Dalam kondisi ini, empati sering kali berhenti pada batas identitas. Penderitaan kelompok "lawan" dipandang tidak relevan, bahkan dianggap wajar atau pantas terjadi.
Hannah Arendt mengingatkan bahaya paling ekstrem dari situasi ini: "Keadaan paling berbahaya adalah ketika manusia berhenti melihat manusia lain sebagai manusia." Ketika identitas kelompok mengungguli kemanusiaan universal, penderitaan menjadi relatif dan bergantung pada apakah seseorang berada di pihak "kita" atau pihak "mereka."
Fragmentasi semacam ini bukan hanya masalah sosial, melainkan ancaman bagi demokrasi. Tanpa empati, ruang dialog publik berubah menjadi arena permusuhan dan kebijakan publik kehilangan dimensi etis yang seharusnya menjadi sandaran.
Pasukan TNI dari Kodim 0111/Bireuen membantu warga yang terdampak banjir di sejumlah wilayah Kecamatan Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen, Senin (1/12/2025). Foto: Dok. Puspen TNI
Politik tanpa empati menghasilkan keputusan yang mengabaikan kelompok rentan. Masyarakat tanpa empati hanya menyuburkan siklus kecurigaan dan kemarahan.
Menemukan Kembali Empati sebagai Kewajiban Moral dan Publik
Menghadapi krisis empati, solusi tidak mungkin bertumpu pada tingkat individual semata. Empati harus dipulihkan dalam struktur sosial, budaya, dan sistem pendidikan. Dalam konteks ini, filosofi Emmanuel Levinas menawarkan pendekatan yang sangat relevan. Ia menulis, "Wajah orang lain adalah panggilan etis yang tak dapat diabaikan." Artinya, keberadaan manusia lain selalu menuntut tanggung jawab moral.
Restorasi empati harus dimulai dengan membangun ruang publik yang mendorong dialog manusiawi, bukan sekadar pertukaran argumen. Pendidikan perlu menempatkan keterampilan sosial seperti mendengar aktif, memahami perbedaan, dan berpikir reflektif sebagai kompetensi inti. Media sosial dan platform digital juga memiliki peran penting, yakni menciptakan ekosistem yang tidak hanya mempromosikan sensasi, tetapi juga empati dan narasi kemanusiaan.
Kemensos mendistribusikan bantuan korban banjir-longsor ke 9 daerah di Aceh. Foto: Kemensos RI
Di tingkat individu, empati dapat tumbuh lewat keberanian menghadapi realitas orang lain secara langsung: mendengar tanpa menghakimi, memahami tanpa syarat, dan membantu tanpa meminta imbalan.
Socrates pernah mengingatkan, "Kebijaksanaan sejati adalah mengetahui bahwa kita tidak tahu," sebuah pengingat bahwa memahami orang lain membutuhkan kerendahan hati untuk mengakui batas pengetahuan kita sendiri.
Pada akhirnya, krisis empati bukanlah takdir yang tak dapat diubah, melainkan cermin dari pilihan kolektif kita sebagai masyarakat. Selama masih ada ruang untuk peduli, meski kecil, harapan untuk memulihkan kemanusiaan tetap terbuka. Dunia tanpa kepedulian adalah dunia yang kehilangan masa depannya, tetapi dunia yang memilih empati adalah dunia yang kembali menemukan jiwanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar