Ilustrasi siswa berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Foto: Toto Santiko Budi/Shutterstock
Secara naluriah, setiap orang memiliki keinginan untuk memberikan hidup yang lebih baik bagi generasi selanjutnya. Kita ingin memberikan lingkungan yang bersih, berpendidikan, sejahtera, dan bahagia. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut, pendidikan dapat menjadi salah satu jalan utama yang dapat dijadikan sebagai tumpuan untuk terus berusaha.
Namun, tahukah Anda pengertian dari pendidikan itu sendiri? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai usaha untuk mewujudkan suatu pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain (Rahman dkk., 2022).
Oleh karena itu, dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs), terdapat tujuan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas guna mendukung kesejahteraan bersama.
SDGs dan Kelemahan Pendidikan Indonesia
Ilustrasi pendidikan di Indonesia. Foto: Kemendikbudristek
Tujuan untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas terdapat pada poin keempat, yaitu Quality Education. Tujuan ini menekankan penyediaan akses pendidikan yang inklusif, adil, dan berkualitas bagi semua orang (Mukorrobah, 2025). Dalam mencapai tujuan itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang masih memiliki tantangan besar.
Berdasarkan data dari PISA 2022 oleh OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), kualitas pendidikan di Indonesia masih tertinggal jauh dari negara ASEAN lainnya, seperti Singapura dan Malaysia. Hal itu menunjukkan kemampuan pelajar Indonesia dalam membaca, menghitung, dan sains masih sangat rendah. Kenyataan tersebut seharusnya dapat menjadi teguran bagi pemerintah untuk segera berbenah dan mengejar ketertinggalan dengan negara lain.
Permasalahan Kesenjangan Pendidikan yang Masih Mengakar
Alasan pendidikan di Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lain adalah karena adanya berbagai permasalahan kompleks yang telah mengakar. Salah satunya adalah kesenjangan pendidikan yang sedang terjadi. Terlihat jelas bahwa terjadi kesenjangan antara pelajar yang berada di perkotaan dengan pelajar yang berada di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar).
Ilustrasi anak sekolah di SD Negeri Foto: Shutter Stock
Pelajar yang berada di daerah perkotaan mendapatkan fasilitas dan tenaga pengajar yang lebih baik, sedangkan pada daerah 3T, pelajar sering kali kekurangan tenaga pendidik dan tidak mendapat media belajar yang seharusnya. Hal itu jelas sangat menyalahi SDGs itu sendiri. Pendidikan yang seharusnya sejalan dengan prinsip SDGs no one left behind (tidak meninggalkan siapa pun) justru meninggalkan pelajar yang berada di pelosok negeri dan lebih mengutamakan pelajar yang ada di daerah perkotaan.
Distribusi Guru yang Tidak Merata dan Kurangnya Perhatian Pemerintah
Masih banyak sekolah di daerah pelosok yang kekurangan tenaga pendidik atau sengaja untuk diabaikan. Kasus nyata terjadi pada salah satu sekolah di Sumatera Utara, yaitu SDN No. 078481 Uluna'ai Hiligo'o di Kabupaten Nias.
Dalam video yang sempat viral (17/01/25), seorang murid sekolah tersebut mengatakan bahwa selama satu bulan penuh tidak ada guru yang mengajar. Guru hanya datang dan membunyikan lonceng, kemudian pulang dan tidak memberikan materi. Sementara itu, di daerah perkotaan, guru dituntut selalu hadir dan tepat waktu. Ketimpangan ini sangat menunjukkan distribusi guru yang tidak merata dan kurangnya perhatian dari pemerintah setempat.
Infrastruktur dan Fasilitas yang Tidak Adil
Siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar di ruang kelas SD Negeri Pasirkadu 1, Pandeglang, Banten, Selasa (23/7/2024). Foto: Galih Pradipta/ANTARA FOTO
Selain masalah distribusi guru yang tidak merata, terdapat pula permasalahan infrastruktur dan fasilitas. Banyak sekolah yang masih jauh dari kata layak, bahkan terkadang tidak berbentuk seperti sekolah.
Ketika pelajar yang berada di kota dapat menikmati ruang kelas yang nyaman, pelajar yang berada di daerah pedalaman harus menerima ruang kelas yang kecil dan seadanya. Terkadang hanya beralaskan batu dan berdinding kayu, meja kursi yang digunakan juga sudah tidak layak. Padahal dalam pembelajaran, kondisi lingkungan sangat memengaruhi proses siswa dalam belajar dan mengembangkan potensi (Wahid dkk., 2020).
Digitalisasi Pendidikan: Solusi atau Ketimpangan Baru?
Permasalahan terakhir adalah akses ke pembelajaran digital. Saat ini, pemerintah sedang menekankan pembelajaran berbasis digital. Lalu bagaimana dengan sekolah di pelosok? Mereka yang untuk menjalankan kegiatan belajar mengajar secara normal saja masih kesulitan. Sinyal dan akses internet saja terkadang belum masuk ke daerahnya.
Sejumlah siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar di salah satu ruang kelas yang terendam banjir di SD Negeri Eretan, Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, Sabtu (8/2/2025). Foto: Angga Budhiyanto/ ANTARA FOTO
Hal itu menyebabkan sekolah yang awalnya tertinggal menjadi semakin tertinggal jauh. Jika pemerintah hanya fokus mengembangkan sekolah yang ada di kota, ketimpangan akan semakin melebar.
Bersama Mewujudkan Prinsip "No One Left Behind"
Permasalahan-permasalahan tersebut hanya akan terus menjadi pembahasan semata tanpa langkah konkret yang mampu mengubahnya. Padahal, pelajar di pelosok membutuhkan aksi nyata yang dapat memperbaiki kualitas pendidikan mereka. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama pemerintah dan masyarakat. Pemerintah telah berusaha untuk memperkecil kesenjangan pendidikan melalui berbagai program, seperti program Guru Penggerak, Revitalisasi Sekolah, dan Digitalisasi Pembelajaran.
Program-program tersebut tidak akan berpengaruh tanpa konsistensi dan keseriusan dari pemerintah. Masyarakat juga seharusnya dapat ikut berperan serta dalam pemerataan pendidikan dengan menjadi relawan pengajar atau memberi dukungan bagi sekolah yang ada di pelosok. Melalui langkah nyata bersama, prinsip no one left behind tidak akan lagi menjadi mimpi yang tertinggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar