Search This Blog

Perusahaan vs Tempat Kerja dalam Reformasi Sistem Ketenagakerjaan

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Perusahaan vs Tempat Kerja dalam Reformasi Sistem Ketenagakerjaan
Oct 5th 2025, 13:00 by Abdul Mukhlis

Ilustrasi yang menggambarkan perbedaan pekerja di tempat kerja dan di perusahaan. Foto: Dokumentasi Pribadi.
Ilustrasi yang menggambarkan perbedaan pekerja di tempat kerja dan di perusahaan. Foto: Dokumentasi Pribadi.

Reformasi sistem ketenagakerjaan di Indonesia selama dua dekade terakhir lebih banyak bergerak dalam kerangka perusahaan. Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, hingga berbagai regulasi turunannya menempatkan perusahaan sebagai pintu masuk utama perlindungan tenaga kerja: mulai dari kewajiban Wajib Lapor Ketenagakerjaan (WLKP), penyediaan jaminan sosial, hingga norma hubungan industrial.

Dalam kerangka ini, pekerja yang bekerja di luar struktur perusahaan nyaris tak terlihat. Pekerja rumah tangga, buruh tani, pedagang kaki lima, hingga pekerja gig tidak masuk dalam radar sistem. Paradigma ini jelas elitis dan eksklusif karena hanya mengakui hubungan kerja formal dengan kontrak tertulis. Padahal, realitas ketenagakerjaan Indonesia jauh lebih kompleks.

Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa proporsi pekerja informal di Indonesia relatif stabil di angka tinggi selama tiga tahun terakhir. Pada Februari 2023, 59,2% pekerja adalah informal dari total 139,85 juta penduduk bekerja (BPS via Kompas.id). Selanjutnya, Februari 2024, 59,17% atau sekitar 84,13 juta orang dari total 142,17 juta pekerja (BPS via Antaranews).

Di Bulan Agustus 2024, 57,95% dari 144,64 juta pekerja sempat turun, tetapi masih menjadi mayoritas (BPS via Bisnis.com). Terakhir, di Bulan Februari 2025, angka naik kembali menjadi 59,40% atau sekitar 86,58 juta pekerja informal dari total 145,77 juta orang bekerja (BPS via Antaranews).

Gedung Badan Pusat Statistik. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan
Gedung Badan Pusat Statistik. Foto: Helmi Afandi Abdullah/kumparan

Data ini menunjukkan bahwa hampir 6 dari 10 pekerja di Indonesia adalah informal. Angka ini tidak banyak berubah sejak 2023. Artinya, informalitas adalah kondisi struktural, bukan sementara.

Lebih jauh, jika dilihat per sektor, gambarnya makin jelas. Pertanian, kehutanan, dan perikanan: sekitar 90,6% pekerja di sektor ini adalah informal (Februari 2024, BPS via DDTC News). Tahun 2023 pun angkanya hampir sama, yaitu 88,42% (BPS via Bisnis.com). Akomodasi dan Penyediaan Makanan/Minuman: 69,41% pekerja informal (Februari 2024, BPS via DDTC News). Industri Pengolahan: 40,82% pekerja informal (Februari 2024, BPS via DDTC News).

Artinya, informalitas paling besar memang di sektor pertanian, tetapi juga signifikan di sektor jasa makanan dan bahkan industri pengolahan. Gambaran ini menegaskan bahwa informalitas tidak hanya ada di pinggiran, melainkan juga di sektor-sektor vital perekonomian.

Pekerja Gig: Wajah Baru Informalitas

Di luar sektor tradisional, ada pula pekerja gig yang tumbuh pesat dalam satu dekade terakhir. Mereka meliputi: ojek online dan kurir yang bekerja di jalanan, freelancer digital seperti desainer, penulis konten, programmer dan pekerja lepas kreatif di industri seni dan hiburan.

Ilustrasi penulis. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi penulis. Foto: Shutter Stock

Mereka bekerja melalui aplikasi, kontrak proyek atau bahkan tanpa kontrak sama sekali. Secara statistik, mayoritas masih masuk kategori pekerja informal karena tidak memiliki hubungan kerja tetap, tidak dilindungi K3 dan tidak otomatis terlindungi jaminan sosial.

Masalahnya, sistem ketenagakerjaan kita belum siap membaca realitas ini. Platform digital diakui sebagai perusahaan, tetapi tempat kerja para driver—jalanan, trotoar, kawasan publik—tidak diakui sebagai lokus perlindungan. Akibatnya, jutaan pekerja gig menghadapi risiko tanpa payung hukum yang memadai.

Mengapa mayoritas pekerja informal tidak terlindungi? Salah satunya karena sistem kita hanya mengenal perusahaan sebagai subjek hukum. Perlindungan ketenagakerjaan melekat pada perusahaan sebagai entitas, bukan pada tempat kerja sebagai realitas sosial.

Pendekatan ini mempunyai beberapa konsekuensi yang tidak bisa dihindari. Pertama, multi-site operation. Satu perusahaan bisa punya banyak cabang atau bagian. Jika hanya yang didaftarkan di pusat atau di perkantoran yang diawasi, pekerja di bagian produksi, pergudangan, pengemasan, dan bagian lainnya sering terabaikan.

Ilustrasi kurir. Foto: Shutterstock
Ilustrasi kurir. Foto: Shutterstock

Kedua, pekerja gig & platform. Perusahaan platform diakui sebagai entitas badan usaha, tetapi "tempat kerja" para driver, kurir, dan freelancer yang tersebar di beberapa tempat kerja tidak dianggap sebagai unit perlindungan.

Pekerja informal tradisional: petani, pekerja rumahan, pedagang kecil—mereka punya tempat kerja nyata, tapi tidak diakui sebagai "tempat kerja" dalam sistem hukum.

Dengan kata lain, pekerja bisa tercatat dalam statistik tenaga kerja, tetapi kondisi nyata di tempat kerjanya tidak terpantau.

Reformasi yang Inklusif: Dari Perusahaan ke Tempat Kerja

Untuk mengatasi bias elitis ini, reformasi ketenagakerjaan harus berani menggeser orientasi. Pertama, registrasi berbasis tempat kerja. Tidak cukup WLKP berbasis perusahaan. Pemerintah perlu punya database tempat kerja nyata, termasuk sektor informal, mikro, dan berbasis platform. Kedua, perluasan perlindungan sosial. Jaminan sosial ketenagakerjaan harus adaptif dengan kondisi pekerja informal dan gig, misalnya iuran fleksibel atau skema berbasis kontribusi kecil tapi rutin.

Ilustrasi keselamatan tenaga kerja. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Ilustrasi keselamatan tenaga kerja. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan

Selanjutnya, inspeksi berbasis komunitas. Pengawasan ketenagakerjaan tidak bisa hanya datang ke gedung-gedung kantor atau pabrik besar. Harus ada pendekatan berbasis komunitas di pasar, desa, dan hub pekerja gig. Terakhir, dialog sosial di tingkat tempat kerja. Serikat pekerja dan forum dialog perlu dikembangkan juga di tingkat lokal dan komunitas pekerja informal, bukan hanya di perusahaan besar.

Reformasi yang Membumi

Selama ini, reformasi ketenagakerjaan kita berjalan di atas kerangka hukum yang terlalu formal, elitis, dan perusahaan-sentris. Padahal, realitas menunjukkan mayoritas pekerja Indonesia ada di luar kerangka itu: bekerja di ladang, pasar, jalanan, usaha kecil keluarga, hingga platform digital.

Data BPS 2023–2025 membuktikan bahwa proporsi pekerja informal tetap tinggi di kisaran 59–60%. Bahkan, di sektor pertanian, sembilan dari sepuluh pekerja adalah informal. Sementara di sektor gig, jutaan orang bekerja tanpa perlindungan hukum yang jelas.

Oleh karena itu, reformasi sistem ketenagakerjaan harus turun ke bumi: dari perusahaan ke tempat kerja, dari regulasi elitis ke perlindungan inklusif, dan dari angka statistik ke realitas sosial. Tanpa langkah itu, sistem ketenagakerjaan kita hanya akan melayani minoritas pekerja formal, sementara mayoritas—baik pekerja tradisional maupun pekerja gig—tetap bekerja tanpa perlindungan, tanpa suara, dan tanpa masa depan yang pasti.

Media files:
01k6j50ft2aprhdcw5p1wyb6te.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar