Search This Blog

Hukum Tidak Bisa Ditelanjangi oleh Emosi Massa

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Hukum Tidak Bisa Ditelanjangi oleh Emosi Massa
Oct 5th 2025, 12:00 by Arief Sulistyanto

Ilustrasi Hukum. Foto: Shutterstock
Ilustrasi Hukum. Foto: Shutterstock

Di tengah hiruk-pikuk ruang publik kita hari ini, muncul fenomena yang mengusik akal sehat: ancaman aksi demonstrasi dengan cara membuka aurat di tempat umum, demi membela seseorang yang sedang mengalami konflik hukum. Perilaku seperti ini menunjukkan betapa kuatnya emosi massa dapat membelokkan nalar, bahkan sampai mengabaikan norma sosial, nilai hukum, dan adab kemanusiaan.

Padahal, hukum tidak pernah bisa diselesaikan oleh teriakan atau ancaman jalanan. Ia hanya dapat ditegakkan melalui prosedur yang sah, bukti yang kuat, dan prinsip keadilan yang objektif. Emosi mungkin mampu menarik perhatian sesaat, tetapi tidak akan pernah mengubah fakta hukum.

Emosi Tidak Bisa Mengganti Prosedur

Setiap persoalan hukum — baik berkaitan dengan legalitas dokumen maupun penyimpangan lain — harus diproses melalui mekanisme yang telah diatur. Inilah yang membedakan negara hukum dengan negara kerumunan. Bila penyelesaian perkara hanya mengandalkan tekanan massa, maka keadilan akan berubah menjadi transaksi, dan hukum kehilangan kewibawaannya.

Kita perlu menyadari bahwa hukum bekerja bukan untuk menuruti kemauan siapa pun, melainkan untuk menegakkan kebenaran. Siapa pun yang merasa dirugikan berhak menempuh jalur pembelaan hukum — tetapi bukan dengan ancaman, bukan dengan provokasi, dan terlebih bukan dengan tindakan yang merendahkan martabat publik.

Norma Sosial dan Martabat Manusia

Ancaman demonstrasi dengan membuka aurat di tempat umum bukan sekadar bentuk protes; itu adalah pelanggaran nilai sosial yang paling mendasar. Masyarakat kita dibangun di atas adab dan kehormatan. Dalam pandangan norma sosial dan budaya timur, tubuh bukanlah alat politik, dan ruang publik bukan tempat untuk mempermalukan diri demi membela seseorang.

Al-Quran mengingatkan:

"Wahai anak Adam, sungguh Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan sebagai perhiasan bagimu. Tetapi pakaian takwa itulah yang terbaik.Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka ingat." (QS. Al-A'rāf [7]: 26)

Ayat ini bukan hanya bicara soal pakaian fisik, tetapi juga pakaian moral — adab, etika, dan kehormatan yang harus dijaga. Ketika manusia menanggalkan adab dalam ruang publik, sejatinya ia sedang menelanjangi martabatnya sendiri.

Mengapa Emosi Bisa Menguasai?

Fenomena ini tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari kombinasi frustrasi sosial, lemahnya literasi hukum, dan kecenderungan mengkultuskan individu. Ketika akal sehat dikalahkan oleh loyalitas membabi buta, kritik terhadap hukum dianggap sebagai serangan, dan penegakan keadilan dipersepsikan sebagai permusuhan.

Inilah kondisi batin yang jauh lebih berbahaya daripada kebodohan. Sebab kebodohan masih bisa diobati dengan ilmu, sementara penolakan sadar terhadap kebenaran tidak lagi membutuhkan bukti untuk tetap menolak. Dalam kondisi ini, kebenaran tidak ditampik karena tidak dimengerti, tetapi karena tidak sesuai dengan kepentingan.

Fenomena ini mencerminkan salah satu bentuk krisis moral yang paling berbahaya dalam kehidupan berbangsa: ketika kesadaran tidak lagi diarahkan untuk mencari kebenaran, melainkan untuk membenarkan apa pun yang sesuai dengan kepentingan. Dalam kondisi seperti itu, fakta kehilangan maknanya, dalil kehilangan pengaruhnya, dan nurani berhenti bekerja. Manusia tidak lagi menolak karena tidak tahu, tetapi karena enggan mengakui bahwa dirinya keliru. Mereka tidak menutup telinga karena tuli, tetapi karena tidak ingin mendengar sesuatu yang akan mengguncang zona nyaman. Itulah titik di mana keangkuhan batin mengalahkan kejernihan akal.

Jalan Keluar: Kembali ke Akal Sehat dan Nilai Ilaihi

Kita sebagai warga negara harus memahami satu hal penting: kemarahan sosial tidak boleh menggantikan mekanisme hukum. Menyampaikan aspirasi adalah hak, tetapi harus dilakukan dengan cara yang bermartabat, damai, dan konstruktif.

Sebaliknya, aparat penegak hukum pun dituntut untuk tidak terpengaruh tekanan massa. Hukum harus berdiri tegak di atas fakta, bukan tunduk pada jumlah. Ketegasan hukum justru menjadi benteng agar demokrasi tidak berubah menjadi anarki.

Dan sebagai masyarakat, kita pun harus berani menolak ajakan-ajakan yang mengedepankan emosi di atas akal sehat. Kita tidak boleh menjadi bagian dari kerumunan yang menutup mata dari kebenaran hanya karena fanatisme atau sentimen sesaat.

Menegakkan Hukum, Menjaga Martabat Bangsa

Hukum bukan alat kekuasaan, bukan juga senjata untuk menghukum lawan. Hukum adalah fondasi peradaban. Jika fondasi ini digerogoti oleh emosi massa, maka yang runtuh bukan hanya aturan, tetapi juga keadaban bangsa.

Maka marilah kita jaga nalar tetap jernih. Jangan biarkan amarah sesaat menelanjangi akal sehat kita. Jangan biarkan loyalitas buta membuat kita buta terhadap kebenaran. Karena pada akhirnya, keadilan tidak akan lahir dari kerumunan yang berteriak, tetapi dari masyarakat yang berpikir, bersuara dengan akal sehat, dan berjalan di atas nilai-nilai ilaihi.

Media files:
01k09ava23kfje0fjrxxfdh0zm.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar