Membaca buku Althusser Pembunuh: Banalitas Kejantanan karya Francis Dupuis-Déri, yang diterjemahkan oleh Rio Johan, membuat saya merenungkan kembali relasi antara intelektualitas, kekuasaan, dan kekerasan berbasis gender. Louis Althusser adalah seorang filsuf Marxis asal Prancis sekaligus salah satu guru dari Michael Foucault. Namun, dibalik nama besarnya sebagai seorang intelektual, Althusser dituduh melakukan pembunuhan dengan mencekik istrinya pada tahun 1980.
Althusser tidak pernah didakwa atas kasus pembunuhan yang ia lakukan karena ia dianggap mengalami gangguan mental. Dalam bukunya, Francis Dupuis-Déri kemudian mengajukan sebuah pertanyaan sederhana, tetapi menggugah: Benarkah Louis Althusser mengalami gangguan mental seperti yang ia klaim setelah mencekik istrinya hingga tewas pada tahun 1980? Ataukah alasan "gangguan jiwa" hanyalah tameng untuk menutupi tindakan femisida yang ia lakukan?
Dupuis-Déri menolak pandangan bahwa Althusser mengalami "gangguan jiwa". Menurutnya, apa yang dilakukan Althusser adalah tindakan femisida. Femisida sendiri adalah suatu tindakan pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan karena identitasnya sebagai seorang perempuan.
Berdasarkan data dari UN Women, pada tahun 2023, terdapat sekitar 51.100 perempuan dan anak perempuan diseluruh dunia yang dibunuh oleh pasangan intimnya atau anggota keluarganya. Ini artinya, rata-rata ada sekitar 140 perempuan atau anak perempuan yang terbunuh setiap harinya oleh seseorang di dalam keluarganya (UN Women, 2024).
Membaca buku ini di tengah meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan di berbagai belahan dunia membuat saya sadar, femisida merupakan suatu fenomena struktural. Ia menjadi puncak dari siklus kekerasan terhadap perempuan yang berakar dari budaya maskulinitas yang menormalisasi dominasi, memaafkan kekerasan, dan menganggap perempuan sebagai objek yang dapat dimiliki. Banalitas kejantanan sebagai mana judul dari buku ini menjadi istilah yang digunakan oleh Dupuis-Déri untuk menjelaskan bagaimana kekerasan terhadap perempuan sering kali dilegitimasi atau dinormalisasi oleh struktur sosial patriarkis.
Buku Althusser Pembunuh: Banalitas Kejantanan (Sumber: Dokumentasi Pribadi Penulis)
Dalam bukunya, Dupuis-Déri menguraikan bagaimana sistem sosial Prancis pada masa itu, dan bahkan hingga kini, masih memberikan privilege kepada laki-laki, terutama mereka yang memiliki status sosial tinggi, berpendidikan, dan berkulit putih. Althusser—sebagai filsuf terkenal dan bagian dari lingkaran intelektual mapan—dengan mudah mendapatkan perlindungan dari jerat hukum. Ia tidak pernah benar-benar diadili dan tidak pernah mendekam di penjara.
Buku ini juga memberikan saya wawasan baru terkait bagaimana istilah femisida mulai mengemuka di Prancis pada tahun 2019, hampir empat dekade setelah Althusser membunuh istrinya. Istilah ini lahir dari desakan para jurnalis dan aktivis feminis yang geram melihat begitu banyak kasus pembunuhan terhadap perempuan yang diabaikan atau disamarkan dengan narasi "tragedi rumah tangga" atau "gangguan mental pelaku". Padahal, di balik narasi-narasi itu, ada struktur kekuasaan yang melindungi pelaku dan menyalahkan korban.
Kasus Althusser menjadi cermin bagaimana dunia intelektual tidak kebal terhadap bias gender. Kita sering kali mengagungkan pemikir besar, menilai mereka dari gagasan-gagasan hebatnya, tanpa berani menelisik sisi gelap dari relasi kuasa yang mereka reproduksi. Dalam kasus ini, kejeniusan intelektual justru menjadi selubung bagi kekerasan sebuah bentuk banalitas kejantanan yang diterima begitu saja oleh masyarakat patriarkal.
Francis Dupuis-Déri mengajak pembacanya untuk tidak hanya menyoroti kasus Althusser sebagai "penyimpangan pribadi", tetapi juga untuk memahami bagaimana kekuasaan, pengetahuan, dan gender berkelindan dalam sistem sosial yang timpang. Dalam konteks ini, femisida adalah kritik terhadap ketimpangan sistemik; bukan sekadar istilah hukum, melainkan seruan moral agar masyarakat berani menantang struktur patriarki yang telah lama diam.
Buku ini menjadi pengingat bahwa kecerdasan dan status sosial tidak seharusnya menjadi alasan pembenaran atas kekerasan. Sebaliknya, justru dari dunia intelektual seharusnya lahir keberanian untuk mengakui bahwa bahkan pemikir besar pun bisa menjadi pelaku kekerasan dan bahwa tidak ada kebesaran pikiran yang bisa menebus hilangnya nyawa seorang perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar