Sektor investasi dipandang tak akan terbebani jika Upah Minimum Provinsi (UMP) naik di tahun 2026. Justru, minat masuk investasi lebih ditentukan oleh beberapa faktor seperti birokrasi sampai keberadaan pungutan liar (pungli).
Sebelumnya, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan, mengatakan kebijakan kenaikan UMP harus memperhitungkan keseimbangan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lapangan kerja maupun investasi.
"Bahwa UMP itu tidak menjadi pemberat bagi investasi, yang lebih diberatkan itu kan korupsi, birokrasi, panjang, pungli-pungli, ilegal cost. Ini persoalan persepsi yang jelek terhadap UMP bahwa kenaikannya pun tidak terlalu tinggi selama ini kan," kata pengamat ketenagakerjaan dari BPJS Watch, Timboel Siregar kepada kumparan, Minggu (5/10).
Justru, menurut Timboel, kenaikan UMP merupakan cara konkret untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Hal ini karena UMP merupakan faktor kuat yang menunjang konsumsi masyarakat.
"Nah jadi saatnya pengusaha juga melihat konteks ini ekonomi. Kalau pertumbuhan ekonomi kita kata RPJMN 2025-2029 akan menempuh 8 persen di 2029 tapi gimana? Sementara fakta teori dan prakteknya 53 persen itu dikontribusi oleh konsumsi. Jadi upah itu jangan menjadi hambatan, justru dia adalah peluang," ujarnya.
Ilustrasi pungutan liar. Foto: Shutterstock
Untuk tahun 2026, Timboel juga mengimbau agar pemerintah tak hanya mempertimbangkan inflasi secara umum terkait besaran persentase kenaikan UMP. Menurutnya, yang lebih penting adalah perhitungan terkait inflasi 64 item Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang sudah tercantum dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2016 tentang KHL.
"Nah itu diukur item itu terhadap inflasinya supaya ke depan yang dikonsumsi buruh itu tidak turun daya belinya. Kalau dia turun artinya pergerakan barang dan biasanya juga lambat," kata Timboel.
Selaras, pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Arif Novianto menilai logika yang mempertentangkan kenaikan UMP dengan ketakutan investor untuk masuk ke Indonesia sebagai logika uang problematik.
"Logika pemerintah soal UMP itu agak problematik ya. Kenaikan upah sering dibilang bikin investor takut masuk dan menyulitkan masyarakat yang belum kerja, padahal masalah utamanya bukan di upah, tapi di struktur ekonomi dan kebijakan industrinya yang lemah," ujarnya.
Ia memandang pekerja tak bisa terus-terusan dijadikan sebagai 'tumbal'. Jika orientasi utama pemerintah adalah menjaga daya tarik investor, Arif melihat hal itu tak boleh mengorbankan kesejahteraan pekerja.
"Ya itu model pembangunan yang timpang. Negara harusnya bisa seimbang, jaga iklim investasi tapi juga pastikan pekerja hidup layak," kata Arif.
Ia juga melihat kenaikan UMP tak akan otomatis membuat angka pengangguran menjadi naik. Justru, menurutnya dengan UMP yang masih rendah maka daya beli pekerja juga akan tetap rendah.
Sebelumnya, Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi/BKPM, Nurul Ichwan juga sempat menuturkan jika UMP naik, maka investasi industri berbasis tenaga kerja kemungkinan akan berpengaruh secara signifikan. Ia mencontohkan salah satu negara lain yang menjadi pesaing Indonesia di sektor industri berbasis tenaga kerja yakni Bangladesh.
Menurutnya, kenaikan UMP bisa memengaruhi daya tarik investasi, khususnya industri padat karya yang sangat bergantung pada biaya tenaga kerja. Ia mencontohkan Bangladesh yang mampu menawarkan ongkos tenaga kerja lebih murah dibandingkan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar