Search This Blog

Konflik Perbatasan Thailand-Kamboja dan Prinsip Non-Intervensi ASEAN

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Konflik Perbatasan Thailand-Kamboja dan Prinsip Non-Intervensi ASEAN
Aug 16th 2025, 12:54 by M Hakan Enayata

Bendera Kamboja dan Thailand. Foto: Sasirin Pamai. Shutterstock
Bendera Kamboja dan Thailand. Foto: Sasirin Pamai. Shutterstock

Peristiwa baku tembak di perbatasan Kamboja-Thailand yang terjadi pada 28 Mei 2025 merupakan bagian dari sengketa antara kedua negara yang telah berlangsung setidaknya sejak masa kolonial Prancis. Perbatasan antara Thailand dan wilayah kolonial Prancis (sekarang Kamboja dan Laos) yang telah disetujui pada tahun 1904 dan 1907 dalam praktiknya masih memiliki banyak ambiguitas, terutama terkait status kuil Preah Vihear. Walaupun diserahkan pada Kamboja berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 1962, sengketa ini masih menjadi sumber ketegangan antara kedua negara, yang juga menjadi masalah bagi ASEAN.

Eskalasi di perbatasan berujung pada konflik bersenjata pada 24 Juli, yang dalam dua hari pertama menewaskan 38 orang dan memaksa sekitar 200.000 warga sipil mengungsi. Reaksi berdatangan dari berbagai negara dan institusi internasional, semuanya meminta kedua pihak untuk menahan diri dan mencari solusi secara damai. Reaksi serupa juga datang dari ASEAN serta negara-negara anggotanya, yang meminta Kamboja dan Thailand untuk menghormati mekanisme penyelesaian sengketa dalam ASEAN. Respons ASEAN yang sebatas mengingatkan untuk menahan diri belum cukup untuk meredakan ketegangan. Berdasarkan prinsip non-intervensi, ASEAN tidak dapat terlibat tanpa izin negara yang bersangkutan. Keputusan Thailand untuk menyelesaikan masalah secara bilateral melemahkan peran ASEAN dalam menangani sengketa antar anggotanya.

Sebagai institusi regional yang berkomitmen terhadap perdamaian di kawasan Asia Tenggara, kemampuan ASEAN dalam mengelola konflik menjadi dipertanyakan. ASEAN tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk menindak pelanggaran terhadap prinsip dan nilai ASEAN. Hal ini kontras dengan organisasi kawasan lain, terutama Uni Eropa yang merupakan standar emas dari regionalisme. Tidak perlu melihat terlalu jauh, bahkan ECOWAS di Afrika Barat memiliki mekanisme suspensi keanggotaan dan pernah melakukan intervensi ke negara anggota. Pelanggaran terhadap nilai penghormatan integritas nasional dan larangan penggunaan kekerasan yang tertuang dalam Treaty of Amity and Cooperation (TAC) tidak dapat ditindak karena negara anggota dapat mengungkit hak kebebasan dari keterlibatan asing dan nilai non-intervensi yang juga tertuang dalam perjanjian yang sama.

Politik Domestik Anggota dan Model Kerja Sama ASEAN

Dalam memahami ASEAN, penting untuk memahami latar belakang kawasan dan sejarah yang membentuk institusi kawasan. Model kerja sama dalam ASEAN dibentuk sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan negara-negara anggotanya. Konsensus dan penghormatan kedaulatan merupakan dasar penting model kerja sama ASEAN, mengingat keragaman sistem politik dan ekonomi negara-negara dalam ASEAN. Baik demokrasi penuh atau yang cacat, monarki absolut, rezim satu partai, negara komunis, maupun junta militer semuanya diterima dalam ASEAN. Hal ini sekali lagi kontras dengan Uni Eropa yang menganut sistem dan nilai-nilai yang relatif seragam.

Dalam ASEAN, nilai non-intervensi dan penghormatan kedaulatan merupakan faktor penting yang memungkinkan negara-negara yang sangat beragam mampu duduk bersama dalam satu institusi. Nilai yang dianut ASEAN dapat diartikan sebagai penghormatan pada kenyataan bahwa negara-negara Asia Tenggara memiliki sistem dan nilai sendiri, dan kerja sama tidak akan berjalan tanpa menghormati perbedaan tersebut. Memaksakan nilai, termasuk memaksa anggota taat pada nilai yang tertuang dalam TAC dan Piagam ASEAN, dapat diinterpretasikan sebagai pelanggaran terhadap nilai dan prinsip ASEAN.

Prinsip ini memenuhi kepentingan negara-negara yang tidak ingin dicampuri urusan internalnya, terutama anggota-anggota baru yang belum siap dengan integrasi regional yang lebih dalam. Negara-negara ini bersedia terlibat dalam ASEAN karena menikmati keuntungan kerja sama regional tanpa perlu mengkhawatirkan pihak eksternal menggali catatan HAM mereka yang mengkhawatirkan. Oleh karena itu, wajar saja ASEAN hanya dapat memberikan ajakan mediasi ketika anggotanya mengalami masalah, misalnya konflik internal di Laos dan Myanmar.

Upaya Reformasi Melalui Piagam ASEAN

Ilustrasi ASEAN. Foto: PAPALAH/Shutterstock
Ilustrasi ASEAN. Foto: PAPALAH/Shutterstock

Pentingnya nilai non-intervensi dalam menjaga keutuhan ASEAN bukan berarti tuntutan reformasi dan kritik terhadap kinerja ASEAN menjadi tidak valid. Disusunnya Piagam ASEAN merupakan salah satu usaha ASEAN untuk merespons kritik dan tuntutan tersebut. Penyusunan Piagam ASEAN merupakan pencapaian besar dalam mengubah ASEAN menjadi institusi yang lebih terstruktur. Isu mekanisme penyelesaian sengketa dan pelanggaran menjadi agenda penting dalam penyusunan Piagam ASEAN.

ASEAN sepakat terkait perlunya mekanisme dalam mengatasi sengketa antar anggota, tapi gagal mencapai konsensus terkait bagaimana memastikan ketaatan terhadap mekanisme tersebut serta menindak pelanggaran. Pada akhirnya, mekanisme penindakan pelanggaran yang disetujui hanya sebatas diskusi dalam KTT. Komitmen anggota-anggota pendiri terhadap reformasi dikalahkan oleh kepentingan anggota-anggota baru yang diuntungkan dengan peran ASEAN sebagai penjaga status-quo.

Respons yang Lebih Tegas dan Potensi Dampaknya

Dalam sejarahnya, ASEAN pernah mengambil langkah yang lebih tegas dari umumnya, ketika terjadi krisis politik di Kamboja. Untuk pertama kalinya, politik domestik dijadikan kriteria untuk menerima anggota baru. Kamboja yang dijadwalkan bergabung pada tahun 1997 bersamaan dengan Laos dan Myanmar harus menunggu hingga 1999 akibat politik domestiknya yang belum stabil. Berdasarkan kasus ini, kemungkinan ASEAN mengambil langkah di luar kebiasaan dalam menangani situasi Kamboja-Thailand setidaknya di atas nol persen.

Kasus Kamboja-Thailand dan penundaan keanggotaan Kamboja memiliki perbedaan penting, yaitu yang bersangkutan kali ini adalah anggota penuh, bukan sebatas calon anggota. Kebijakan yang lebih tegas terhadap Kamboja dan Thailand dapat membuat anggota lain khawatir, terutama negara-negara dengan masalah serius seperti Myanmar. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan, langkah tegas dalam menangani masalah Kamboja-Thailand dapat menjadi preseden untuk menindak anggota lainnya.

Dalam skenario yang ekstrem, jika ASEAN sampai melakukan intervensi, maka tidak ada jaminan ASEAN tidak akan melakukan intervensi terhadap Myanmar di kemudian hari. Non-intervensi merupakan lem yang mengikat negara-negara ASEAN, sehingga apabila terdapat indikasi pergeseran dari nilai tersebut, keutuhan ASEAN akan sangat terdampak. Kekhawatiran intervensi mungkin terlalu ekstrem, tapi adanya preseden dalam mengatasi sengketa secara tegas (misal suspensi) juga dapat membuat negara anggota menjadi enggan menerima mediasi dari ASEAN.

Mungkinkah Reformasi Dilakukan?

Melihat pengalaman ASEAN dalam merespons krisis internal atau sengketa antar anggota, kemungkinan adanya perubahan sikap dalam kasus Kamboja-Thailand tidak terlalu tinggi, tapi di masih di atas nol persen berdasarkan kasus keanggotaan Kamboja. Penting untuk memahami bahwa berdasarkan nilai ASEAN yang mengedepankan non-intervensi dan menghindari konfrontasi, respons lemah ASEAN yang banyak dikritik pengamat luar sudah sesuai dengan kebutuhan anggota. Kurang tepat membandingkan ASEAN dengan institusi kawasan lain, misalnya Uni Eropa, karena kedua institusi memiliki mekanisme yang sesuai dengan kondisi kawasan. Dapat diumpamakan Uni Eropa sebagai dokumenter mengenai budaya Kazakhstan, sementara ASEAN lebih seperti film Borat. Baik dokumenter atau komedi memiliki nilai masing-masing sesuai dengan ekspektasi penonton.

Walaupun memiliki banyak kekurangan, model kerja sama ASEAN selama ini efektif mencegah konflik terbuka di kawasan yang sebelumnya dikenal sebagai Balkan dari Timur. Namun, kasus Kamboja-Thailand juga menunjukkan pentingnya reformasi. Kematian dan kerusakan yang masih terjadi seminggu setelah krisis dimulai dapat dicegah apabila ASEAN lebih tegas. ASEAN diberikan pilihan sulit untuk meningkatkan efektivitas sebagai institusi regional melalui reformasi, atau mempertahankan sistem yang selama ini dipandang "cukup baik" untuk standar Asia Tenggara. Potensi reformasi di masa depan akan ditentukan oleh kemauan politik dari negara-negara yang bersangkutan.

Media files:
01k2hypsqtddsgtawaek0va0sw.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar