Oct 27th 2024, 16:09, by Habib Allbi Ferdian, kumparanSAINS
Wanita etnis Tibet bisa menjadi contoh manusia modern yang berevolusi. Mereka dapat hidup di lokasi yang sulit dihuni oleh manusia, dataran tinggi yang rendah oksigen.
Daerah dataran tinggi ekstrem pada dasarnya sangat sulit dihuni manusia karena tekanan atmosfer yang rendah membuat oksigen jumlahnya yang sangat terbatas. Siapa pun yang pernah mencoba mendaki gunung, mungkin menyadari situasi ini.
Namun, penduduk asli Tibet telah tinggal di Dataran Tinggi Tibet lebih dari 10.000 tahun. Tidak hanya bertahan hidup dalam kondisi ekstrem, populasi mereka terus berkembang dan tampaknya berevolusi.
Kehamilan di dataran tinggi –ketinggian lebih dari 2.500 meter di atas permukaan laut– menyebabkan risiko komplikasi lebih besar, seperti preeklamsia atau melahirkan bayi dengan berat lahir rendah. Hal ini meningkatkan kemungkinan kematian ibu dan bayinya.
Pada saat yang sama, kebanyakan orang yang mencoba bertahan hidup di dataran tinggi akan mengalami hipoksia, suatu kondisi di mana tubuh tidak menerima cukup oksigen untuk jaringan tubuh.
Namun, kedua masalah ini tampaknya bukan gangguan buat penduduk asli Tibet, dan sekarang para peneliti berhasil menemukan sifat fisiologis khusus pada wanita Tibet yang dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk bereproduksi di lingkungan rendah oksigen.
Studi yang terbit di jurnal PNAS menyoroti ketahanan perempuan Tibet sekaligus menunjukkan bagaimana manusia dapat beradaptasi dengan lingkungan ekstrem. Penelitian ini juga menawarkan wawasan tentang perkembangan manusia, dan bagaimana kita dapat menghadapi tantangan lingkungan di masa depan.
"Memahami bagaimana populasi seperti ini beradaptasi, memberi kita pemahaman yang lebih baik tentang proses evolusi manusia," ujar Cynthia Beall, Profesor Emeritus Distinguished University di Case Western Reserve University sebagaimana dikutip IFL Science.
Beall dan rekannya meneliti 417 wanita Tibet berusia 46 hingga 86 tahun yang tinggal di ketinggian antara 3.658 hingga 4.267 mdpl di Upper Mustang, Nepal. Ini adalah wilayah di tepi selatan Dataran Tinggi Tibet.
Bekerja sama dengan perawat perempuan etnis Tibet dan asisten peneliti dari Nepal, tim yang berbasis di AS mengumpulkan informasi tentang fisiologi perempuan Tibet, termasuk riwayat reproduksi mereka dan berbagai faktor sosial serta mengambil sampel DNA. Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi bagaimana jumlah oksigen yang diterima memengaruhi jumlah kelahiran hidup di antara perempuan Tibet.
Hasilnya menunjukkan, wanita yang banyak anak punya ciri darah dan jantung unik untuk menyalurkan oksigen. Meski mereka memiliki kadar hemoglobin–protein dalam sel darah merah yang membawa oksigen– yang mendekati sampel rata-rata, saturasi oksigen mereka lebih tinggi. Ini artinya, darah mereka lebih efisien dalam menyalurkan oksigen ke sel-sel tubuh tanpa membuat darah lebih kental.
"Ini adalah kasus seleksi alam yang terus berlanjut. Wanita Tibet telah berevolusi dengan cara menyeimbangkan kebutuhan oksigen tubuh tanpa membebani jantung," kata Beall.
Analisis genetika mengungkap bahwa sifat ini kemungkinan berasal dari Denisova yang hidup di Siberia sekitar 50.000 tahun lalu. Sifat ini merupakan varian gen EPAS1 yang unik bagi orang-orang ini dan mengatur konsentrasi hemoglobin.
Para peneliti juga menemukan, wanita Tibet punya ciri-ciri lain yang meningkatkan aliran darah ke paru-paru mereka dan juga memberi mereka ventrikel jantung yang lebih besar.
Studi ini menunjukkan bagaimana manusia beradaptasi untuk hidup di daerah rendah oksigen, hasil dari seleksi alam yang sedang berlangsung, di mana wanita dengan sifat-sifat ini telah mewariskannya ke generasi berikutnya yang sekarang dapat berkembang dalam lingkungan yang secara fisiologis akan menjadi masalah bagi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar