Sep 7th 2024, 19:09, by Dr Sudjoko Kuswadji SpOk, Dr Sudjoko Kuswadji SpOk
Ada satu keluarga yang termasuk keluarga miskin. Istrinya sudah meninggal dunia. Anaknya ada dua: yang pertama menderita penyakit kronik, yang kedua dibantu sekolahnya oleh sebuah yayasan piatu. Pada suatu hari anak yang pertama meninggal dunia. Tetangga dan keluarga lainnya panik. Tidak satu pun dari mereka yang mampu membiayai pemakaman. Terpaksa mereka utang sana utang sini.
Dalam keadaan seperti ini Rukun Kematian (Rukem) mungkin bisa menolong. Di satu RW di rumah saya dulu ada Rukem. Karena KTP saya masih rumah saya lama, saya ikut Rukem di sana. Iurannya sebesar Rp 100 ribu per bulan per keluarga.
Adik istri saya menderita tumor otak jinak namun sering kambuh. Sudah beberapa kali dioperasi. Lama kelamaan kesadarannya menurun. Makan minum harus disuapi, harus dimandikan. Saya meramal dalam waktu seminggu mendatang dia akan meninggal. Ada kemenakan yang biasa urus orang meninggal. Saya tanya berapa total biaya pemakaman? Kata dia sekitar Rp 10 juta, untuk gali kubur, memandikan jenazah, ambulans dan lain-lain.
Biaya pemakaman bisa sangat bervariasi dan tergantung pada beberapa faktor. Misalnya saja faktor lokasi. Biaya di kota besar umumnya lebih mahal dibandingkan daerah pedesaan. Jenis pemakaman juga berpengaruh. Kremasi biasanya lebih murah daripada pemakaman tradisional. Ada pula jasa tambahan seperti peti mati khusus, bunga, atau batu nisan. Beberapa agama atau budaya yang punya ritual pemakaman yang spesifik mungkin juga butuh biaya tambahan.
Komponen umum biaya pemakaman ada beberapa.
Biaya layanan pemakaman: Ini termasuk persiapan jenazah, penggunaan ruang upacara dan transportasi.
Biaya peti mati: pilihannya sangat beragam, mulai dari yang sederhana sampai yang mewah.
Biaya kubur: Ini termasuk biaya menggali lubang kubur, memasang batu nisan, dan merawat makam.
Biaya tambahan: Misalnya biaya pembuatan dokumen, pajak, dan biaya transportasi jenazah.
Beberapa Rukem yang sudah lama berdiri punya simpanan uang yang cukup banyak. Jadi dia bisa membiayai dulu atau menalangi dana pemakaman. Baru sesudah uang takziah terkumpul, uang itu dikembalikan.
Singkatnya, peristiwa kematian itu terjadi. Adik istri meninggal ketika dimandikan. Kebetulan itu hari Jumat, hari kerja. Tabungan tak ada, apalagi uang tunai. Istri saya pun mengeluarkan dua gelang emasnya dan menyuruh saya ke Pegadaian. Memang tagline-nya Menangani Masalah Tanpa Masalah. Dua gelang itu laku Rp 13 juta. Cukup sampai pemakaman di Ambarawa. Untung saja meninggalnya di hari kerja, jadi Pegadaian buka.
Jenazah adik ipar lalu disalatkan di Masjid Raya selepas Salat Jumat. Ada tiga saf jemaah. Sesudah itu ambulans jenazah dan satu mobil keluarga berangkat ke Jawa Tengah.
Rule of thumb, ambulans jenazah tidak boleh beriringan dengan mobil keluarga. Kecepatan ambulans, karena pakai sirine dan lampu strobo, bisa mencapai 160 km/jam, kecepatan yang penuh risiko. Akhirnya ambulans yang sudah dekat tujuan harus menunggu mobil keluarga.
Dari san urutan kendaraannya dibalik: mobil keluarga di depan dan ambulans di belakang. Sopirnya tidak paham rute jalan. Sampai rumah di Ambarawa pukul 19.00 WIB. Jenazah lalu disalatkan lagi, ditambah dengan beberapa sambutan dari RT, RW, Kepala Dusun, dan lain-lain. Sesudah itu baru ke pemakaman yang ada di perbukitan di ujung kompleks perumahan.
Pemakaman baru selesai pukul 23.00 WIB. Ada lampu listrik yang dinyalakan terus sampai pagi, sesuai kebiasaan adat setempat.
Saya lalu menyimpulkan, orang hidup itu perlu uang untuk makan. Tapi sesudah mati pun, masih butuh uang juga. Sayangnya kita tidak tahu kapan kita bakal meninggal, sehingga tak selalu siap uang untuk pemakaman.
Di saat itulah, Rukun Kematian dan kebiasaan sosial takziah bisa sangat menolong. Tahlilan 3 hari, 7 hari, 40 hari, dan 100 hari dilakukan ala kadarnya saja. Itu juga karena pengaruh adat kebiasaan orang Jawa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar