Nov 4th 2023, 19:31, by Angga Sukmawijaya, kumparanBISNIS
Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (PURAKA) menyebut Indonesia seharusnya bisa mendapatkan PNBP senilai Rp 105 triliun dari pemutihan lahan sawit yang masuk di kawasan hutan.
Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, telah diatur pada 2 November 2023 lalu merupakan batas waktu penyelesaian persoalan lahan sawit dalam kawasan hutan alias pemutihan sawit. Perusahaan sawit yang berada di kawasan hutan harus menyelesaikan perizinan sebelum tenggat waktu tersebut. Hal itu diatur dalam pasal 110 Adan 110B.
KLHK melaporkan 90 persen perusahaan sawit yang terindikasi menjalankan bisnis dalam kawasan hutan dan sudah mengurus izin. Tarcatat ada 200.000 hektar sawit berada dalam kawasan Hutan Lindung (HL) dan Hutan Konservasi (HK).
Sesuai pasal 110B UU Cipta Kerja, pelaku usaha harus membayar denda administratif dan biaya pemulihan ke negara. Lalu lahan tersebut dikembalikan ke negara.
Ketua PURAKA, Ahmad Zazali menjelaskan, dalam simulasi penghitungan denda administratif kategori Pasal 110B UU Cipta Kerja, untuk lahan sawit dalam kawasan hutan seluas 10.000 hektar dengan lama usaha produktif 10 tahun dan keuntungan bersih per tahun per hektar setara Rp 25 juta, serta tutupan hutan sebesar 20 persen, maka akan menghasilkan denda sebesar Rp 500 miliar. Dengan begitu, untuk setiap 1 hektar sawit dalam kawasan hutan akan menyetor ke rekening PNBP Kehutanan sebesar Rp 50 juta.
"Jika diasumsikan semua perkebunan sawit dalam kawasan hutan milik perusahaan seluas 2,1 juta hektar membayar denda, maka negara seharusnya mendapatkan pendapatan dari PNBP Kehutanan sebesar Rp 105 triliun," kata Zazali dalam keterangan tertulis yang diterima kumparan, Sabtu (4/11).
Jelasnya, jumlah Rp 105 triliun itu bukan termasuk denda administratif dari perkebunan milik perorangan, kelompok tani, atau koperasi yang luasnya di atas 5 hektar, juga belum termasuk denda administratif yang masuk kategori pasal 110A UU Cipta Kerja.
"Besaran perkiraan denda tersebut jauh di atas target Kementerian LHK yang menyebut denda administratif hanya Rp 50 triliun," kata Zazali.
Pemutihan Lahan Sawit Tak Transparan
Zazali menambahkan, masyarakat perlu mengetahui secara pasti sudah berapa banyak pelaku usaha perkebunan sawit yang sudah melakukan pembayaran denda administratif baik untuk kategori Pasal 110A dan 110B. Pihaknya mendorong KLHK untuk membuka data tersebut.
"Pasca berakhirnya batas waktu penyelesaian sawit dalam kawasan hutan pada 2 November lalu, menjadi menarik untuk kita ketahui apa yang akan ditempuh pemerintah selanjutnya," kata Zazali.
Senada, Direktur Sawit Watch Achmad Surambo menilai proses penyelesaian pemutihan lahan sawit di kawasan hutan sangat tertutup. Padahal data tersebut sangat dibutuhkan di tengah banyak terjadi konflik agraria menyangkut lahan sawit ini.
"Pada prinsipnya kami menolak proses pemutihan sawit di dalam
kawasan hutan. Kebijakan ini dapat menjadi celah bagi perusahaan dalam melakukan pelanggaran serupa di masa depan," kata Surambo.
Dia menilai, proses pemutihan lahan sawit di kawasan hutan dapat menimbulkan implikasi ketidakpastian hukum yang menciptakan
dampak tambahan terkait penyelesaian permasalahan tanah masyarakat di kawasan hutan.
"Harusnya proses penyelesaian melalui mekanisme yang diatur dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan (UU P3H) dapat dilanjutkan," ujarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar