Oct 29th 2023, 23:31, by Hutri Dirga Harmonis, kumparanWOMAN
"Paling nggak siap itu kehilangan payudara, semacam diamputasi," begitu ujar Monica May, seorang makeup artis yang juga pejuang kanker payudara.
Kanker payudara memang masih menjadi momok menakutkan bagi kaum perempuan. Apalagi, Kementerian Kesehatan RI mengungkapkan bahwa kasus kanker payudara ada di angka paling banyak dari jenis kanker lainnya di Indonesia.
Menurut data Globocan tahun 2020, jumlah kasus baru kanker payudara mencapai 68.858 kasus (16,6%) dari total 396.914 kasus baru kanker di Indonesia. Bahkan, jumlah kematiannya juga lebih dari 22 ribu kasus.
Karenanya, mendapatkan diagnosis kanker payudara tentu sangat meruntuhkan dunia Monica May (38) yang berprofesi sebagai makeup artist. Apalagi, 2020–tahun di mana Monica didiagnosis menderita kanker payudara, dunia sedang dilanda pandemi sehingga ketakutan pun semakin meningkat dengan adanya risiko terinfeksi COVID-19 saat menjalani perawatan.
Cerita Monica saat didiagnosis tumor payudara
Awalnya, Monica mengalami gejala nyeri dengan sensasi seperti kesetrum pada payudara sebelah kirinya yang menjalar ke leher. Karena gejala itu muncul dan hilang begitu saja, Monica tentu tidak merasa khawatir apalagi sampai berpikir bahwa itu tanda bahaya.
Sampai akhirnya Monica tidak bisa melakukan pose tengkurap saat melakukan yoga karena merasa ada sesuatu yang mengganjal. Di situ, baru lah ia menyadari bahwa ukuran kedua payudaranya berbeda.
"Saya setiap hari pakai sport bra yang ketat gitu kan, kalau dari view spot aku melihat dada sebelah kiri itu tambah besar. Jadi secara fisik itu lebih besar dari sebelah kanan," ujar Monica saat dihubungi kumparanWOMAN beberapa waktu lalu.
Setelahnya, Monica pun memberanikan diri untuk menyentuh payudaranya dan ia merasakan tekstur keras. Lagi-lagi, Monica masih belum curiga dan masih menganggap itu sebagai gejala menstruasi yang kerap ia alami.
Namun karena bengkaknya tak kunjung menghilang, ia memutuskan untuk mencari tahu kondisinya melalui internet.
Pandemi COVID-19 membuat Monica harus melakukan konsultasi secara online. Dokter pun akhirnya menganjurkan Monica untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut, yakni usg payudara tes mamografi. Hasilnya menunjukkan bahwa Monica menderita tumor payudara yang ukuran benjolannya sudah cukup besar.
"Dokter onkologi langsung bilang bahwa ini tumor. Dan ukurannya sudah besar sekali, sudah lebih dari 3 cm kalau dilihat dari USG. Tumor ini harus segera dikeluarin karena sudah lebih dari 3 cm," kata Monica.
Mendapatkan diagnosis tumor payudara dengan ukuran cukup besar membuat Monica tidak percaya. Ia mengaku sempat denial hingga mencoba peruntungan dengan melakukan pemeriksaan dengan dokter lain.
Sayangnya, hasilnya tetap sama, ia mengalami tumor payudara dan harus segera mendapatkan tindakan.
Tumornya ternyata kanker payudara
Setelah melakukan berbagai pemeriksaan, Monica akhirnya operasi lamtektomi, yakni pengambilan jaringan atau benjolan tumor. Namun, masalahnya justru tidak berhenti di sana.
Hasil biopsi yang keluar dua minggu setelah operasi menunjukkan bahwa tumor Monica ganas atau merupakan sel kanker payudara yang berbahaya.
Lagi-lagi, Monica harus menjalani berbagai tes untuk memastikan separah apa kondisinya. Hasil tes IHK (imunohistokimia) menunjukkan hormon estrogen dan progesteron negatif dengan skor HER2 negatif, namun tidak ada penyebaran sel kanker di jaringan sekitarnya.
"Jadi saya hasilnya triple negatif, which is tipe itu cuma bisa pakai kemo nggak ada obat hormon yang bisa. Karena ER, progesteron semuanya tidak bisa di-treatment," imbuh Monica.
Monica juga sempat menjalani tes gen kanker payudara, yaitu BRCA dan hasilnya positif. Artinya, meski jaringan tumor payudaranya sudah bisa diambil dan dia melakukan kemo, maka kanker itu masih bisa tumbuh lagi kapan pun. Bahkan, ini juga meningkatkan risiko Monica untuk mengalami kanker ovarium di masa depan.
Kehilangan dua payudara
Setelah hasil tes BRCA keluar dengan berbagai kemungkinan buruk yang bisa terjadi di masa depan, Monica dengan berat hati memutuskan untuk menjalani doublemastectomy di mana kedua payudara harus diangkat sekaligus. Meski merasa seperti diamputasi, tapi Monica memilih untuk melakukannya agar ia bisa hidup tenang lebih lama.
"Memang ini tindakan penyelamatan. Tapi saya kepikiran, sesak napas, panic attack yang parah, aku enggak tahu bisa apa enggak. Jadi beratnya memang bertubi-tubi," katanya.
Monica juga menjalani terapi kemo yang sangat jadi momok bagi dirinya. Ia mengaku takut dengan efek kemo yang bisa membuat penampilannya berubah karena harus kehilangan rambut.
"Aku sempat menunda pengobatan karena takut menjalani kemo. Aku enggak mau jelek karena kemo. Itu juga yang jadi pertimbangan ketika aku memutuskan untuk double mastectomy. Harapannya tak perlu kemo. Tapi nyatanya tetap harus dijalani," jelasnya.
Beruntungnya, Monica memiliki keluarga dan lingkungan yang dengan senang hati memberikan dukungan untuknya. Hal itu membangkitkan semangat Monica dan berpikir bahwa kanker payudara tidak membuat hidupnya selesai jika ia melakukan pengobatan yang tepat.
Kini Monica menjalani hidup dengan implan dan rekonstruksi payudara. Bahkan dua tahun setelah masa-masa sulit itu, Monica dinyatakan bersih dari sel kanker hingga hari ini.
"Aku bersyukur bisa jadi lebih menghargai hidup. Kalau sekarang bangun tidur enggak ada rasa sakit, nggak ada tusukan di tangan, di kaki, bekas-bekas infus segala macem. So happy ternyata," pungkas Monica.
Monica juga jadi lebih terbuka dan mau berbagi pengalaman dengan orang lain, terutama sesama penjuang atau penyintas kanker payudara.
"Apa pun yang kalian hadapi, aku pernah merasakannya. Kalian enggak sendirian. You did great. Jangan takut atau ragu meminta pertolongan," ungkapnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar