Sep 16th 2023, 19:11, by AGUS SUTISNA, AGUS SUTISNA
Perhelatan pemilu 2024 mendatang akan menjadi peristiwa elektoral sangat penting bagi bangsa Indonesia. Bukan saja karena momen itu akan menjadi tonggak awal dalam lanskap sejarah demokrasi elektoral Indonesia di mana semua jabatan legislatif dan eksekutif di semua tingkatan akan dipilih serentak dalam tahun yang sama. Melainkan terutama karena pemilu 2024 akan menjadi arena pertaruhan bagi tiga agenda strategis nasional kini dan masa mendatang.
Sebagaimana dimaklumi bersama, dalam dua kali perhelatan pemilu terakhir di era reformasi, yakni pemilu 2014 dan pemilu 2019, bangsa ini telah terseret ke dalam pusaran arus polarisasi (pembelahan) sosiopolitik yang deras. Polarisasi ini dipicu oleh konflik perkubuan dukungan pasangan capres-cawapres yang tidak dapat dikelola dengan baik, yang dampak tak sehatnya terus mengalir melewati batas akhir tahapan Pemilu bahkan residu busuknya masih terasa hingga saat ini.
Kita semua tentu berharap polarisasi dan segala macam bentuk ekspresi konflik yang potensial membahayakan bagi harmoni dan keutuhan negara-bangsa tidak terulang lagi dalam pemilu 2024. Sebab jika masih terulang kembali, apalagi dengan tensi polarisasi yang kian tinggi, bangsa ini bisa gagal menjaga, merawat dan melanjutkan ketiga agenda strategis tadi.
Keutuhan Berbangsa
Ketiga agenda strategis itu, pertama memelihara kohesivitas, menjaga integrasi dan memastikan keutuhan negara bangsa tetap terpelihara. Meminjam definisi Dorwan Cartwright, kohesivitas merupakan situasi di mana setiap anggota kelompok menghendaki untuk tetap berada dalam kelompok tersebut. Sementara Bernice Lott menjelaskan kohesivitas sebagai jumlah dan kekuatan dari sikap positif di antara anggota kelompok.
Pemilu, di mana konflik merupakan esensi yang tidak dapat dihindari di dalamnya potensial melahirkan polarisasi (pembelahan) masyarakat demikian rupa. Jika tidak diantisipasi atau salah kelola polarisasi ini bisa menghancurkan bangunan kohesivitas, bahkan tidak mustahil menjurus ke arah yang lebih berbahaya lagi, yakni disintegrasi bangsa.
Oleh sebab itu penting bagi para pihak yang terlibat dalam hajat besar elektoral ini untuk sedini mungkin mendeteksi berbagai potensi yang dapat memicu hadirnya kembali polarisasi ekstrem dalam masyarakat serta mencegahnya dengan bijak dan proporsional.
Dalam upaya mencegah potensi munculnya kembali polarisasi ekstrem dibutuhkan komitmen bersama terutama antar kubu paslon capres-cawapres untuk secara serius menghindari cara-cara tak sehat dalam meraih simpati dan dukungan pemilih. Misalnya mengkapitalisasi sentimen-sentimen primordial dan isu-isu sensitif yang mudah menyulut emosi publik.
Dalam konteks ini termasuk penggunaan para buzzer yang biasa dipersiapkan untuk men-downgrade lawan-lawan politik dengan cara-cara nir-adab: fitnah, kampanye hitam, serangan atas sisi pribadi lawan, dan mengumbar ujaran-ujaran provokatif.
Di samping komitmen masing-masing kubu untuk menjaga diri dari syahwat tak sehat itu, secara simultan dan terus menerus penting juga dilakukan edukasi politik dan peningkatan literasi elektoral yang bermakna kepada masyarakat. Targetnya simpel: masyarakat memahami hakikat pelaksanaan Pemilu dan sadar bahwa konflik tajam dan berkepanjangan dengan sesama elemen bangsa dapat memicu perpecahan besar yang ujungnya adalah kehancuran bersama.
Keberlanjutan Pembangunan
Agenda strategis yang kedua adalah merawat dan meneruskan capaian-capaian pembangunan yang telah dihasilkan oleh pemerintahan periode sebelumnya sambil memperbaiki kelemahan dan kekurangannya, serta memperbarui capaian-capaian yang dianggap belum berarti atau tak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat dan perkembangan zaman yang terus bergerak dinamis.
Pemilu sebagai mekanisme politik untuk merotasi kepemimpinan dengan tertib dan demokratis sekaligus memperbarui legitimasi kekuasaan jelas harus menghasilkan kepemimpinan baru (baik di legislatif maupun eksekutif) yang legitimate dengan derajat akseptasi yang tinggi dari rakyat. Tanpa ini pemerintahan baru hasil Pemilu akan sulit melanjutkan program-program pembangunan, bahkan mungkin sekadar mengoperasikan pemerintahan.
Dalam konteks ini para pihak, terutama peserta pemilu mesti menyadari betul, bahwa pemerintahan hasil pemilu yang benar-benar memiliki legitimasi politik yang kokoh hanya bisa lahir dari proses pemilu yang fair dan demokratis, yang sungguh-sungguh luber dan jurdil, di mana prosesnya dilaksanakan sesuai peraturan perundangan yang berlaku dan prinsip-prinsip demokrasi elektoral, serta hasilnya sungguh-sungguh dipercaya oleh masyarakat.
Pematangan Berdemokrasi
Agenda strategis yang ketiga adalah memastikan demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah dapat terus dirawat, dikembangkan ke posisi yang lebih baik, dan akhirnya mencapai titik kematangan berdemokrasi.
Demokrasi elektoral atau Pemilu yang digelar secara berkala mestinya juga secara bertahap dari periode ke periode mampu menghadirkan capaian-capaian prestatif dalam berdemokrasi. Jangan malah sebaliknya, indeks demokrasi kita justru melorot karena penyelenggaraan Pemilu yang disertai banyak masalah.
Pemilu bermasalah itu misalnya karena integritas dan profesionalitas penyelenggara yang rendah yang berdampak pada kekacauan pelaksanaan tahapan pemilu, ketidaknetralan pemerintah dan aparaturnya, masih adanya tindakan-tindakan intimidasi dan kekerasan fisik, ragam kecurangan yang dilakukan peserta dan pemilih, serta berbagai perilaku elektoral lainnya yang jauh dari standar-standar universal Pemilu demokratis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar