Sep 2nd 2023, 18:39, by Lynda Ibrahim, Lynda Ibrahim
Dunia mode Indonesia, minimal masyarakat mode di Jakarta, beruntung menyaksikan dua perayaan karier desainer mode lokal yang berbeda bulan Agustus ini. Keduanya berbakat dan terus berkembang dalam kreativitasnya masing-masing, namun profil sang perancang terefleksikan bukan saja pada siluet yang ditawarkan, namun juga bentuk perayaan karier yang disajikan. Mari menengok jukstaposisi menarik ini.
10 Tahun Studio Moral
Didirikan oleh desainer Andandika Surasetja, yang didampingi oleh Radhitio Anindhito sebagai Brand Director dalam mengelola bisnis, Studio Moral awalnya dikenal dengan busana pria.
Jenama ini melejit di percaturan mode Indonesia setelah memenangkan kompetisi Asia Newgen Fashion Award (ANFA) di tingkat Indonesia pada tahun 2018 dan sukses sampai ke tempat kedua di tingkat regional.
Mungkin dipengaruhi karir awalnya di dunia penulisan dan pengarahan gaya, Andandika hampir selalu menggunakan garis desain sebagai wadah untuk isu yang mengusik emosinya, tergambar dari pemilihan kata "moral" untuk jenamanya—moral of the story, pesan moral di balik sebuah kisah.
Tidak heran, oleh karenanya, bahwa perayaan sedasawarsa jenamanya pun ditajuki Rekoleksi Emosi, ingatan akan berbagai emosi yang pernah ada. Amarah, keraguan, kebahagiaan dan cinta adalah empat emosi yang dipilih sebagai perwakilan masing-masing grup urutan (sequence) dari koleksi yang ditampilkan.
Bahan tegas seperti kulit dan materi halus seperti tulle bersilangan di runway, sebagaimana siluet berstruktur seperti jaket bertakik melengkung di punggung berbagi panggung dengan siluet luwes seperti aksen fringes berayun. Palet warna tegas seperti hitam, merah, ungu dan perak bak mengunci emosi yang hendak disampaikan dalam tiap helai busana.
Koleksi datang dari kolaborasi dengan berbagai talenta lain yang mewarnai perjalanan Studio Moral sejauh ini; Sebastian Gunawan, Tanah Le Sae, dan Aidan and Ice adalah 3 dari 13 kolaborator yang ikut berperan.
Penyajian pagelaran mengawinkan struktur metal tinggi mirip scaffolding konstruksi dengan permainan multimedia penuh sinar dan suara di langit-langit berbentuk kubah. Meminta hadirin berbusana gelap, sebagian hadir mengenakan desain urban kekinian khas Studio Moral, Andandika berhasil menjadikan sajian modenya sebagai titik fokus cahaya dan pandangan walaupun model berjalan keluar-masuk di antara barisan undangan.
Hadirin boleh berbeda selera tentang koleksi yang dikedepankan, namun dari sambutan spontan malam itu bisa disimpulkan semua hadirin menikmati bagaimana modenya dipagelarkan. Bagi desainer yang telah berkarya sedasawarsa dan dua tahun ini mengarahkan kreativitas perhelatan Jakarta Fashion Week, sungguh sajian mode yang sepadan.
15 Tahun Karir Auguste Soesastro
Sejak kepulangannya ke Indonesia setelah memulai jenama Kraton di New York, Auguste Soesastro dikenal sebagai desainer berkepala dingin yang membawa jenama Kraton sebagai salah satu pilihan busana berselera tinggi di Indonesia.
Tahun demi tahun, pagelaran Kraton di acara mode Plaza Indonesia atau Jakarta Fashion Week menyajikan koleksi bersiluet minimalis, berbahan premium dan berwarna klasik. Cenderung tertarik pada kain polos, pilihan Auguste untuk material bermotif jatuh pada batik, mungkin karena latarbelakang keluarganya sebagai pembatik Jawa.
Dalam memperingati 15 tahun karirnya, Auguste menggelar pameran publik di Plaza Indonesia, dikurasi oleh Sadiah Boonstra yang memiliki latar belakang akademis sejarah. Pendekatan ini bukan pertama kalinya dilakukan Auguste, karena telah dilakukan pada tahun 2016 di Dia.Lo.Gue Jakarta dalam skala yang lebih terbatas.
Di pameran Plaza Indonesia kali ini, desain-desain Auguste dan pola unik yang mendasarinya dibagi dalam 3 dinding berputar berdasarkan konsep budaya kejawaan, lensa arsitektur, dan siluet minimalisme. Latar Belakang akademis arsitektur dan desain adibusana pada Auguste melahirkan desain yang menekankan pada garis bersih penuh presisi. Kepedulian Auguste akan dampak lingkungan dari industri mode mendorong Auguste untuk makin menekuni pola yang tak menyisakan bahan.
Pada malam pembukaan pameran, di hadapan media dan undangan, sebagian mengenakan koleksi Kraton yang sudah menahun namun tetap terlihat relevan, Auguste mendemonstrasikan bagaimana tiap helai busananya yang diperagakan model berhulu konstruksi yang terencana baik dan dieksekusi secara kreatif melalui jahitan, risleting atau elemen pembantu lainnya.
Berjongkok dan kadang menumpangkan kedua lututnya di lantai, fokus mata dan gerak tangan Auguste saat mendekonstruksi dan merekonstruksi busananya menunjukkan caranya mendesain dan memandang dunia—presisi dan peduli. Hadirin terdiam memperhatikan, sebagian mengeluarkan ponsel untuk mengabadikan.
Pengunjung yang melewatkan malam pembukaan tetap bisa menikmati video metode kerja Auguste melalui layar yang disediakan di salah satu sisi ruang pameran. Tiap busana dan pola dasarnya dipajang tanpa kungkungan medium, memudahkan pengunjung untuk meneliti dan menikmatinya.
Bagi pengunjung yang jeli, sebagian karya menunjukkan desain mendatar di bagian ketiak, membuat busana tanpa lengan nyaman dipakai dan bergerak elegan.
Dua perancang muda, dua kiblat estetika, dua eksekusi pameran, dua tonggak sejarah. Tak dimaksudkan untuk dipertentangkan, namun terjukstaposisi manis sebagai perwakilan keberagaman dalam dunia mode Indonesia yang walau relatif kecil dan belum penuh menjadi industri namun gigih berkembang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar