Sep 16th 2023, 21:35, by Jonathan Devin, kumparanNEWS
Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) memberikan sejumlah rekomendasi yang bisa memperkuat tata kelola ekosistem karbon biru demi menuju Indonesia Forestry and Other Land Uses (FoLU) Net Sink 2030.
Hal ini disampaikan oleh CEO IOJI, Mas Achmad Santosa, dalam rangkaian Festival LIKE (Lingkungan, Iklim, Kehutanan, Energi Terbarukan) yang diselenggarakan KLHK di Indonesia Arena, Jakarta, Sabtu (16/9).
Menurut pria yang akrab disapa Ota itu, tanaman mangrove menjadi salah satu penyumbang karbon terbesar untuk mengurangi emisi. Namun, jika tak dikelola secara serius, tidak akan berefek maksimal.
"Sekarang yang sedang diupayakan adalah nilai ekonomi karbon, dari karbon biru termasuk mangrove. Dan nilai ekonomi dari mangrove atau karbon biru ini tidak akan berjalan kalau governance-nya tidak ada atau tidak baik," kata Ota.
Istilah karbon biru mengacu pada karbon dioksida yang diserap oleh ekosistem pesisir dan laut. Misalnya mangrove serta lamun.
Karbon biru dinilai memainkan peran penting dalam penyerapan dan penyimpanan karbon jangka panjang yang membantu mengurangi dampak perubahan iklim.
Oleh karena itu, ada 6 elemen yang menurutnya perlu ditekankan dalam pengelolaan ekosistem karbon biru. Pertama, adalah soal kerangka hukum dan kebijakan yang mengatur masalah perlindungan mangrove sebagai penyumbang karbon.
Sebab, menurutnya, belum ada aturan yang jelas untuk menetapkan mangrove sebagai critical natural capital atau modal alami yang penting.
"Jadi sebetulnya apakah mangrove ini diberlakukan sebagai critical natural capital atau tidak. Kalau saya kaitkan Pasal 33 Ayat 4 UUD 45 toh ini strong sustainabilty-nya. Tapi sampai detik ini badannya kita belum diskusikan secara dalam, Pasal 33 Ayat 4 UUD 45 itu penting sekali," ucap dia.
Kemudian, Ota menjelaskan, elemen kedua yang menjadi penting untuk jadi perhatian adalah tentang penataan kelembagaan. Ini dilakukan guna menentukan penanggungjawab kelestarian mangrove.
"Ini kan biasanya karbon biru atau mangrove itu merupakan kewenangan atau pekerjaan lintas K/L, lalu pemerintah pusat dan daerah. Jadi memang perlu ada clarity rules and function. Pada saat clarity rules and function itu tidak ada, selamanya akan tabrakan terus," ucap Ota.
"Dia tahu bahwa dia harus koordinasi, tapi tidak dilakukan, dan ini sangat menonjol di Indonesia," lanjutnya.
Ketiga, lanjut Ota, adalah perlunya juga peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian mangrove. Lalu, yang keempat, adalah masalah penjagaan keamanan tenurial.
Keamanan tenurial adalah hak masyarakat untuk mengakses, menggunakan dan mengelola lahan, dan sumber daya alam.
Menurutnya, keamanan tenurial tak boleh sampai terganggu dengan adanya pelestarian mangrove sebagai penyumbang karbon biru.
"Instrumen keamanan tenurial dapat berupa akses pada perizinan perusahaan sosial. misalnya tadi wilayah kelola adat dan ada yang sekarang ini diistilahkan, kerangka hukumnya tidak begitu kuat, tapi praktiknya sudah cukup banyak yang disebut dengan OECM atau Other Effective-Area Based Conservation Measure," terangnya.
Kelima adalah masalah pengawasan dan penegakan hukum. Ota mengungkapkan, pengawas dan penegak hukum yang ada seringkali bersifat tidak independen.
"Karena umumnya perusakan mangrove itu legal semuanya. bagaimana? lalu pelakunya negara lagi, kan gimana ditegakkan hukumnya, kalau penegak hukumnya tidak independen dan profesional," tuturnya.
"Jadi saya kira pengawasan dan penegakan hukum ini paling tidak ada undang-undang yang memberikan ketentuan untuk menjatuhkan sanksi sekalipun sanksinya juga keras ya," imbuh dia.
Terakhir, Ota melanjutkan, adalah masalah pendanaan dan pendistribusian upaya rehabilitasi karbon biru. Karena, saat ini pendanaan yang ada belum dilakukan secara maksimal untuk melestarikan karbon biru terutama mangrove.
Sementara itu, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Supriyanto mengakui pentingnya peran serta masyarakat dalam pengelolaan ekosistem karbon biru.
"Pendampingan masyarakat menjadi kunci, mangrove punya potensi peluang bisnis untuk ekowisata, kalau mangrove diberikan kepada masyarakat, 60 persen untuk dilindungi, dan 40 persen boleh diolah untuk masyarakat, misalnya budidaya atau tambak," urai Bambang.
Ia memaparkan, saat ini ada 3,31 juta hektare hutan mangrove di Indonesia. 422 ribu hektare di antaranya bersinggungan dengan masyarakat, dan 115 ribu hektare lainnya sudah diberikan dalam bentuk perhutanan sosial.
"Kalau masyarakat sudah berinvestasi pada hutan mangrove, pasti akan dijaga, dan dari indikator ekologinya juga pasti akan meningkat, karena kandungan karbon yang ada di dalam mangrove itu bisa 6-10 kali lebih besar dari hutan terestrial (hutan di darat)," tuturnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar