Aug 26th 2023, 20:12, by Reza Aditya Ramadhan, kumparanNEWS
Lagi ramai pembahasan di media sosial tentang culture shock. Mereka yang dari daerah kali pertama ke Jakarta atau mereka yang dari Indonesia ke luar negeri untuk kuliah atau bekerja, tentu mengalami culture shock. Banyak cerita unik yang mereka alami. Misalnya, Lia, perempuan berusia 26 tahun asal Malang saat ke Jakarta 5 tahun lalu. Dia kaget banyak pria Jakarta yang terbawa perasaan (baper) saat dia ngomong 'aku-kamu'. "Tapi ternyata ada satu cowok di kantor aku baper karena aku pake aku-kamu. Jadi dia ikutan aku-kamu, hatinya melemah, baper, luluh gara-gara aku-kamu," kata Lia, Sabtu (26/8).
Lia baru tahu bahwa penyebutan aku-kamu di Jakarta itu tanda bahwa seseorang menaruh perhatian pada lawan jenisnya. Padahal, di Malang, memanggil aku-kamu satu sama lain itu adalah hal yang biasa. Maklum saja, di Jakarta itu kebanyakan menyebut teman sebaya itu dengan sebutan gue-elo. Lia sebenarnya bisa saja ikuti gaya anak Jakarta yang ngomong gue-elo, tapi dia dianggap teman-temannya logatnya terlalu medok untuk mengatakan hal itu.
"Ada salah satu temen, kenalan, bilang, 'Lia sudah 5 tahun di Jakarta kok masih medok?'. Ya aku bilang, kenapa enggak? Salah satu alasan aku mempertahankan kemedokanku adalah aku pengin orang deket sama aku tanpa aku tutup-tutupin aku sebenernya," ujar dia.
Senada dengan Lia, Reyhan, yang kini menetap di Tembagapura, Papua Tengah, juga merasakan culture shock. Dia kuliah di Yogya yang mana pada malam hari itu suasana masih ramai dan sering nongkrong di kafetaria.
Namun, pada saat dia pindah ke Tembagapura, dia kaget karena di sana, jam 8 malam sudah sangat sepi, bak kota mati.
"Kalau waktu di Yogya, nongkrong bisa sampai dini hari masih ramai aja gitu, kafe-kafe atau tempat nongkrong. Nah kalau di Tembagapura, jam 7-8 malam sudah sepi sekali jadi aktivitas di sini sudah paling maksimal di luar itu jam 8," kata dia. "Setelah itu kota bakal sepi kayak kota mati ditambah kabut yang selalu datang tiap malam jadi kerasa kali suasana sepi nya," lanjut Reyhan. Begitu juga dengan Rina yang kaget ketika kali pertama menjalankan ibadah puasa di Inggris. Rina menempuh kuliah di salah satu universitas di Coventry, Inggris. Yang buat dia kaget atau culture shock adalah di sana, ibadah puasanya itu kurang lebih 19 jam. Berbeda dengan di Indonesia yang 13 jam. "Jadi antara buka puasa dan sahur itu berdekatan waktunya. Jadi masih kenyang (karena buka puasa), tapi harus makan lagi (karena sahur)," ujar dia.
Fenomena culture shock ini menurut Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret Drajat Tri Kartono sebenarnya adalah masa transisi seseorang beradaptasi dengan suasana baru di luar dari kebiasaan daerah atau tempat tinggalnya.
Dia menyebut istilah itu bak pribahasa 'di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung'. "Lha, itu istilah yang tepat. Artinya setiap manusia harus punya kapasitas untuk mampu adaptif," kata dia. Menurut Drajat setiap orang sebagai makhluk sosial tentunya memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan budaya yang ada. Kata dia, memang tak mudah seseorang untuk alami perubahan budaya. "Memang perubahan tidak mudah karena kebanyakan budaya tidak cair atau tidak gampang menyesuaikan tempatnya ketika mengalir dari satu budaya ke budaya lain," ujar dia. Tapi, kata Drajat, di era sekarang ini, di mana semuanya terbuka, harusnya kemampuan adaptasi aktif ini bisa dilakukan oleh setiap orang. "Adaptasi aktif ini, harus dimiliki setiap individu agar tidak mengalami hambatan kultural," kata dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar