May 27th 2023, 19:30, by Ema Fitriyani, kumparanBISNIS
Perusahaan migas raksasa asal Belanda, Shell, tidak kunjung melepas atau divestasi hak partisipasinya (participation interest/PI) sebesar 35 persen di Lapangan Abadi, Blok Masela, usai hengkang di tahun 2019 silam.
Saham Shell rencananya akan dicaplok oleh PT Pertamina (Persero). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengakui proses negosiasi Pertamina dan Shell belum membuahkan hasil karena terganjal masalah harga.
"Belum ketemu, ya kalau satu ngasih harganya keterlaluan yang satu nawarnya keterlaluan enggak ketemu," ungkap dia di kantor Kementerian ESDM, Jumat (26/5).
Meski demikian, Arifin tak akan membiarkan proyek strategis nasional (PSN) tersebut terbengkalai karena tertunda proses divestasi Shell. Jika tak ada perkembangan di tahun 2024, PI Blok Masela berpotensi kembali dimiliki negara.
Arifin juga membuka peluang untuk melelang kembali Blok Masela. Dia mengaku siap jika harus bersengketa dengan Shell di arbitrase internasional.
"Kita lihat saja nanti adu kuatnya bagaimana (jika arbitrase). Kita sekarang juga sedang review," tegasnya.
Haruskah RI Lawan Shell di Arbitrase?
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal, menuturkan sudah seharusnya Shell tidak menunda divestasi sahamnya di Blok Masela jika sudah ada penawaran dengan harga yang pantas.
Meski begitu, dia berharap baik itu pemerintah maupun Shell tidak membawa masalah divestasi Blok Masela ini ke ranah hukum internasional karena masih banyak solusi lain.
"Harga dihitung dengan nilai yang pantas terutama mengembalikan biaya Shell yang sudah mereka keluarkan, kalau tidak kita tunggu tahun 2024 atau yang sesuai di kontrak untuk negara dapat kembali melelangnya," jelasnya kepada kumparan, Sabtu (27/5).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro juga menilai seharusnya pemerintah dan Shell melanjutkan negosiasi dengan baik demi menjaga iklim investasi hulu migas.
Komaidi menjelaskan, Shell pasti mengalami potential loss jika menunda divestasi sahamnya di Blok Masela, terlebih jika modal yang mereka gunakan untuk berinvestasi merupakan modal pinjaman.
"Berarti argo kupon rate atau suku bunga kalau mereka pinjam dari bank juga sudah jalan jadi makin lama mereka bayar bunganya makin tinggi, harusnya mereka berkepentingan ini segera diselesaikan," lanjutnya.
Dengan begitu, dia berharap pemerintah bisa memfasilitasi negosiasi antara Pertamina dan Shell sehingga menemukan keputusan yang saling menguntungkan atau win-win solution.
"Tentu mereka (Shell) ingin di harga wajar, kalau dulu beli di harga 100 misal sekarang ditawar 90 ya ada alasan kuat buat mereka tidak melepas (saham), mestinya kan mereka minimal BEP (break even point)," lanjut Komaidi.
Hal tersebut, menurut dia, tentu jauh lebih mudah dan cepat daripada harus membawa kasus di hukum internasional, tidak hanya membutuhkan biaya yang sangat besar tapi juga sangat berisiko.
"Jadi yang menang pun sudah tidak enak, apalagi yang kalah. Kalau bisa menemukan win-win solution, menang dua-duanya saya kira akan lebih baik," pungkas Komaidi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar