Mar 11th 2023, 19:35, by Dian saputra, Dian saputra
Benturan kejadian yang cenderung mengakibatkan kondisi negatif terhadap berbagai hal mampu memahat ingatan masyarakat lebih kuat dibandingkan hal positif.
Sebuah penelitian Elizabetth Kensinger dan rekan (2016) dalam sebuah jurnal Association for Psychological Science menjelaskan bahwa suatu peristiwa tidak menyenangkan lebih diingat secara lebih rinci dari pada peristiwa positif. Keadaan ini sebagai taktik untuk memitigasi hal serupa yang kemungkinan akan terjadi ke depannya.
Kemampuan untuk melihat kondisi ini tentu sangat diperlukan dengan inklusivitas diri untuk belajar menerima bahwa segala hal negatif yang pernah terjadi tidak tabu untuk dibicarakan kembali.
Terlepas setebal apa gesekan argumen yang akan terjadi—tetapi belajar dari kondisi sebelumnya—sungguh sangat diperlukan untuk memitigasi hal serupa tidak terulang. Salah satu bentuk inklusivitas yang menarik yaitu di Program Rosi yang di tayangkan di Kompas TV dan masih bisa di akses di channel YouTube.
Program talkshow yang bertema "Belajar Damai dari Maluku" menceritakan bagaimana kondisi konflik yang pernah terjadi di Maluku. Bukan untuk melihat/mengenang "luka" yang pernah terjadi akan tetapi untuk "belajar" bahwa konflik hanya akan menyengsarakan masyarakat.
Program tersebut menarik karena tokoh-tokoh bercerita tentang bagaimana hal tersebut seharusnya tidak terjadi dan beragam penyesalan di sampaikan membuat pelajaran bagi generasi selanjutnya untuk tidak berada dalam kondisi yang sama.
Jika merujuk pada penelitian Hateyong dkk (2020) konflik yang terjadi di Maluku mengakibatkan krisis kepercayaan warga masyarakatnya. Beragam stereotipe hadir mewarnai seperti jarak sosial, sikap diskriminatif serta kompetisi yang tidak sehat. Akibatnya, wilayah maluku menjadi pusat perhatian publik perihal soal intoleran yang masih terjadi di masyarakat.
Kondisi serupa juga sedang terjadi di Aceh Singkil, salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang langsung berhadapan dengan Provinsi Sumatra Utara membuat karakter Aceh Singkil sedikit berbeda dengan kabupaten lain yang ada di Aceh. Terutama dari kondisi sosial masyarakatnya yang didominasi oleh suku Pakpak yang dikenal dengan istilah bahasa (kade-kade), ada juga baapo, dan juga suku Jawa.
Pada perjalanannya, Aceh Singkil kerap tersandung gesekan antar umat beragama yang bukan hanya terjadi sekali pada tahun 2015 saja. Akan tetapi sejak tahun 1979 sebagai babak awal konflik ini dimulai. Menariknya, konflik di Aceh Singkil cenderung terjadi berkali-kali dengan ritme waktu tertentu. Hingga sampai saat tulisan ini dibuat belum ada penyelesaian secara jelas perihal terkait konflik yang terjadi.
Selain dampak yang dirasakan oleh masyarakat secara langsung seperti kerusakan fasilitas umum, kerugian fisik akibat konflik, traumatis, serta tidak kalah penting adalah stereotip "tidak baik" dari publik terhadap Aceh Singkil.
Bahkan upaya menetralisir argumen publik melalui kalimat pelindung "kami berdamai karena klan dan marga" tidak lagi menjadi tameng kuat terhadap pluralisme yang ada (Gea, 2022). Hingga akhirnya narasi konflik ini hanya sekadar "masalah administrasi" menjadi jargon utama dalam mengalihkan pandangan besar terhadap masalah yang terjadi di balik itu.
Stereotip perihal kondisi keberagaman di Aceh Singkil kerap penulis rasakan saat berada diluar daerah atau bahkan mendengar pengalaman dari teman saat sedang bertukar pikiran dalam meja diskusi. Akibat paparan media terkait pemberitaan konflik agama tahun 2015 masyarakat di luar Aceh Singkil cenderung menyimpulkan "Singkil intoleran" serta tidak mampu merawat kebersamaan lintas agama.
Walaupun pandangan tersebut tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, akan tetapi juga tidak bisa disalahkan sebagai asumsi permukaan dari masyarakat yang tergolong awam. Lantas secara sederhana tugas kita berusaha untuk meluruskan kembali pikiran yang terkesan liar tersebut secara persuasif tentunya.
Namun, yang menjadi pertanyaannya apakah beban untuk merawat nama baik Aceh Singkil ini hanya tugas individu saja yang secara kebetulan mendengar ocehan keberagaman? Atau, perlu ada tindakan lebih dari keadaan ini?
Di sini letak yang harus perlu kembali dilihat bagaimana semua pihak merasa ini menjadi tanggung jawab bersama untuk membersihkan pikiran publik terhadap Aceh Singkil, atau minimal tidak mengotori lagi luka yang ada. Konsep "lebih baik mencegah daripada mengobati" harus menjadi jargon bersama, terutama pemerintah daerah sebagai penanggung jawab terhadap masalah kehidupan beragama di Aceh Singkil.
Apalagi jika kita merujuk pada penelitian ilmiah tentang konflik di Aceh Singkil bahwa bukan hanya permasalahan izin rumah ibadah saja. Akan tetapi berdasarkan riset Damiati & Hasyim (2017) konflik antar umat di Aceh Singkil bukan didasari oleh perbedaan agama, budaya, suku, dan ras, namun diakibatkan oleh adanya kepentingan "politik".
Keadaan ini yang menjadi penting bahwa sejak saat ini sampai 2024 Aceh Singkil akan terlibat dalam konstestasi politik pemilu. Tentu seperti kata Menko Polhukam Mahfud MD bahwa selalu terdapat kecurangan dalam pelaksanaan pemilu, tidak hanya menyinggung pemilu orde baru, bahkan pemilu pasca reformasi juga demikian.
Setidaknya sejak tahun 2023 sampai saat ini sejauh pengamatan penulis belum melihat program-program yang dilakukan pemerintah tentang upaya memitigasi gesekan antar umat beragama. Padahal upaya ini sangat dibutuhkan untuk merekatkan nilai-nilai pemahaman terhadap bahaya pengaruh politik identitas terhadap umat beragama di Aceh Singkil.
Bawaslu RI sendiri menyatakan bahwa akan pasti ada digunakan politik identitas dalam kontestasi pemilu tahun 2024 mendatang, Oleh sebab itu ini menjadi catatan penting bagi Aceh Singkil berkaca dari pengalaman yang sudah ada.
Terlebih keterlibatan pemuda sebagai garda terdepan sangat diperlukan untuk mampu melawan pengaruh individu maupun kelompok tertentu yang berupaya menyenggol perdamaian dengan tujuan kepentingan pribadi. Pun untuk mendapatkan pemikiran demikian perlu rangsangan dari pihak-pihak terkait, seperti tokoh-tokoh, pemerintah, FKUB, dan sebagainya, untuk merangkul dan memberikan arah yang benar terhadap kondisi ini.
Terakhir, menjadi catatan penting bagi kita bahwa perlu membuka diri untuk melibatkan semua pihak terhadap permasalahan umat beragama di Aceh Singkil terutama anak muda yang bagaimanapun mereka generasi yang akan mewariskan Aceh Singkil. Rangkulan dari tokoh tentu menjadi penting, untuk memberikan pemahaman tentang bagaimana konflik ini bekerja.
Berbagai ocehan publik tentu akan berupaya untuk mengatakan tak perlu membahas kondisi ini lagi, padahal di satu sisi tidak ada yang bisa menduga secara berulang kita pernah "dibenturkan" demi kepentingan kelompok.
Kemudian tidak ada yang menjamin bahwa kita akan selalu aman dalam menghadapi tahun politik ke depan dengan melihat berbagai potensi upaya yang dilakukan elite politik untuk melenggangkan dirinya. Paling tidak kita memitigasi skenario buruk yang kemungkinan akan terjadi dengan merekatkan pemahaman kebersamaan, sehingga istilah "api dalam sekam" itu mampu terpadamkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar