Search This Blog

Lima Hari Mencekam di Aceh: Hilang Ditelan Banjir atau Mati Kelaparan

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Lima Hari Mencekam di Aceh: Hilang Ditelan Banjir atau Mati Kelaparan
Dec 10th 2025, 08:31 by kumparanNEWS

Banjir Sumatera, khususnya di Aceh, tak hanya menelan korban lewat sapuan bah. Orang selamat dari sapuan pun dihantui maut karena kelaparan. Bantuan logistik datang terlambat.

***

"Seandainya satu hari lagi dari pertama kali banjir nggak ada yang bisa turun ke bawah, sudah meninggal satu per satu di Meunasah." - Ratna.

Kamis 27 November 2025, di tengah malam yang basah dan gelap jelang salat subuh, Ratna tersentak dari tidur. Air menghantam dinding rumahnya, memecahkan pintu, lalu menerobos masuk dan menggenangi seluruh ruangan.

Ratna belum benar-benar sadar apa yang terjadi. Yang ia ingat hanya bagaimana mencari tempat aman, tanpa sempat mengamankan barang-barang.

Ia bersama anak dan suaminya bergegas ke Meunasah, bangunan serupa rumah panggung bertingkat — Meunasah bagi orang Aceh adalah tempat serbaguna untuk kegiatan keagamaan: tempat ngaji, ibadah, dan kegiatan musyawarah warga — yang posisinya lebih tinggi. Mereka mengamankan diri dengan hanya membawa pakaian yang melekat di badan.

Bukan hanya keluarga Ratna, sebagian warga di Desa Matang Maneh, Kecamatan Jambo Aye, Kabupaten Aceh Utara itu juga mengungsi ke Meunasah. Rumah-rumah mereka tergenang air yang ketinggiannya mencapai atap rumah.

Malam itu, Ratna dan keluarga selamat dari maut pertama: air bah. Tapi tidak dengan isi rumah, kendaraan, dan barang-barang berharga lainnya. Meski begitu, ia tetap bersyukur masih diberi kesempatan hidup hingga terbit fajar. Setidaknya sampai terang yang kala itu masih diguyur hujan.

Malam itu Ratna bersama ratusan warga lain berhasil memboyong anak dan anggota keluarganya ke Meunasah tapi selanjutnya mereka seperti terjebak. Dua hari setelah banjir bandang menghantam, genangan belum surut.

Ratna, warga Aceh Utara yang bertahan tiga hari tanpa makanan, Rabu (3/12/2025). Foto: Hedi/kumparan
Ratna, warga Aceh Utara yang bertahan tiga hari tanpa makanan, Rabu (3/12/2025). Foto: Hedi/kumparan

Hingga Sabtu 29 November Ratna dan para tetangganya itu belum bisa turun dari Meunasah. Maut kedua datang mengintai: kelaparan. Tak ada persediaan makanan begitu juga air minum.

Di antara mereka ada yang mencoba menerjang banjir dengan pergi ke rumah mencari beras tersisa, tapi sia-sia belaka. Sebab semua isi rumah hanyut tersapu air. Bila pun ada beras, di Meunasah tak ada dapur apalagi listrik yang juga padam.

Ratna harus bertahan dalam kondisi dingin. Basah, mati listrik, kelaparan, dan tanpa air bersih. Anak-anak menangis. Orang tua berusaha bertahan sambil berharap bantuan evakuasi menemukan keberadaan mereka.

Guna memperpanjang kesempatan tak mati kelaparan, Ratna dan penghuni Meunasah terpaksa menyerok tetesan air gerimis di tepian atap seng menggunakan sapu lidi. Mereka mengumpulkan bulir-bulir air yang dialirkan di batang lidi, dikumpulkan lalu diminum untuk memperpanjang nyawa.

"Minum pun nggak ada. Cuma ada cuma sedikit gerimis, kami kan ada pakai kayu ... sapu lidi, disambung pakai kayu, pakai kayu kan, air terjun yang sebelah sini, kita berdiri begini tangannya [memperagakan menampung air - red]," cerita Ratna kepada kumparan, Rabu (3/12).

Tetangga Ratna ada yang berhasil membawa sedikit beras ke Meunasah, tapi tak ada dapur. "Saya makan beras, hari Kamis, hari Jumat," kata salah satu warga menimpali Ratna.

"Seandainya satu hari lagi dari pertama kali banjir enggak ada bisa turun ke bawah, udah meninggal satu per satu di Meunasah," ujar Ratna lirih dengan mata berkaca-kaca.

Ratna dan beberapa orang bertahan di Meunasah selama dua hari. Tanpa makanan dan tak bisa kemana-mana.

Meunasah, tempat mengungsi warga saat banjir. Foto: Hedi/kumparan
Meunasah, tempat mengungsi warga saat banjir. Foto: Hedi/kumparan

Pada hari ketiga, air mulai surut. Tapi kelaparan masih mengintai Ratna dan pengungsi lain. Mereka memang bisa turun dari Meunasah tapi hendak ke mana mencari makanan. Kota sudah luluh lantak. Isi rumah beserta makanan di dalamnya hanyut disapu bah.

Satu-satunya harapan mereka adalah uluran tangan dari luar. Tapi sampai sekitar lima hari pascaterjangan banjir, bantuan logistik belum menyentuh kampung di pinggiran kota Aceh Utara itu. Kota lumpuh total. Akses ke mana-mana terputus. Jembatan roboh. Jalan dipenuhi lumpur.

Untuk ketiga kalinya maut menghantui Ratna dan pengungsi lain: terisolasi. Mereka tak terjamah bantuan, tak ada makanan, tak ada air bersih. Listrik padam, pakaian pun basah, seraya tempat tidur terendam lumpur.

Rasa lapar dan dingin bersatu menyelimuti Ratna dkk.

Warga duduk didepan rumah nya yang terendam di Desa Kumbang, Kecamatan Blang Mangat Lhokseumawe, Aceh, Rabu (21/12/2022). Foto: Rahmad/ANTARA FOTO
Warga duduk didepan rumah nya yang terendam di Desa Kumbang, Kecamatan Blang Mangat Lhokseumawe, Aceh, Rabu (21/12/2022). Foto: Rahmad/ANTARA FOTO

Minum Air Lumpur demi Menyambung Hidup

Menolak mati kelaparan, mereka terpaksa menapis air lumpur untuk diminum. Untuk diberikan ke anak-anak mereka. Air lumpur bekas banjir menjadi penyambung hidup satu-satunya sambil menunggu bantuan makanan dan air bersih.

"Pokoknya sampai anak-anak kecil aja yang bayi-bayi kasih minum air ini, pakai saring," kata Ratna sambil menunjuk lumpur bekas banjir.

"Mamanya udah ada yang nangis. Takut anaknya meninggal, apalagi anaknya baru kedua yang itu, baru yang masih hidup," tambah dia.

Bertahan dengan mengandalkan air lumpur juga terpaksa dilakukan Mutiana dan Marlina, warga Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh. Pasca diterjang banjir, bantuan makanan dan minuman tak kunjung tiba. Sementara air pam mati, sumur dipenuhi lumpur, sanyo-sanyo mogok, sungai berubah keruh kecoklatan.

"[Bertahan minum] air lumpur kemarin," kata Mutiana.

Pengungsi bencana banjir luapan Sungai Tingkeum beristirahat bersama anaknya di posko pengungsian Aceh Masjid Jamie Al-Itiqamah, Ulee Tutue, Bireuen, Aceh, Senin (1/12/2025). Foto: Yudi Manar/ANTARA FOTO
Pengungsi bencana banjir luapan Sungai Tingkeum beristirahat bersama anaknya di posko pengungsian Aceh Masjid Jamie Al-Itiqamah, Ulee Tutue, Bireuen, Aceh, Senin (1/12/2025). Foto: Yudi Manar/ANTARA FOTO

Namun masalah lain muncul, konsumsi air lumpur tersebut memantik penyakit di tengah pengungsian. Beberapa orang terkena penyakit kulit.

"Anak-anak banyak yang demam," tambah Marlina.

Di wilayah lain seperti di kampung Ujong Pacu, Kota Lhokseumawe, juga tak langsung mendapatkan bantuan pasca bah. Mereka sempat terisolasi selama tiga hari, tanpa listrik, tanpa makanan, dan air bersih. Mereka mengungsi di musala dan bertahan dengan singkong-singkong yang tak tersapu banjir.

Sekitar seminggu pasca banjir, Ujong Pacu sudah mulai bisa diakses kendaraan. Tapi kondisinya gelap. Jalan penuh lumpur. Rumah-rumah warga juga masih digenangi lumpur bekas banjir. Seisi rumah berlumpur.

Di tengah gelap dan basah, warga memilah isi rumah yang masih berfungsi. Memisahkan lumpur dari pakaian yang masih utuh. Kasur-sofa berserakan di sepanjang jalan, di depan rumah-rumah warga, bersama motor-mobil yang keseluruhan bodinya tertutup lumpur kering.

Di kampung Ratna juga sama. Pengungsi sudah perlahan menengok rumahnya. Ada yang utuh tapi terendam lumpur, ada yang tinggal dinding, beberapa tergantikan tiang listrik, bahkan hilang tanpa mengisahkan apapun.

"Ini rumah saya, roboh," kata tetangga Ratna.

Bagi yang rumahnya masih berbentuk, mereka akan menyisir dan menyelamatkan apa saja yang tersisa. Pakaian yang tak ditelan air banjir, dicuci dengan air selokan. Bagi warga, mencuci dengan air selokan berwarna coklat tersebut lebih baik daripada pakaian mengeras bersama lumpur.

Sementara yang lain berharap bantuan menyentuhnya. Erawati, warga Kecamatan Jangka, bahkan hanya punya baju yang menempel di badan. Sementara anaknya digendong dalam dalam kondisi tanpa pakaian, hanya mengenakan celana.

"Dari kemarin, satu pake CD (celana dalam). Pakaian dalam kan nggak ada. Hanyut semua," kata Erawati dengan mata berkaca-kaca.

Ratna, Erawati dan banyak lagi terdampak banjir Aceh memang terhitung lambat menerima bantuan. Bahkan, di daerah wilayah terisolir seperti Aceh Tamiang bertahan lima hari tanpa makanan.

kumparan mendatangi tiga kabupaten terdampak banjir di Aceh pada 2 dan 3 Desember 2025, sekitar lima hari pasca air bah. Dalam waktu seminggu itu, beberapa warga yang selamat belum terjamah logistik. Mereka mengungsi di masjid atau rumah tetangga yang berlantai dua.

Tenda-tenda pengungsian berlogo lembaga terkait yang umum di tempat bencana tak terlihat, terutama di sepanjang jalan Kabupaten Bireuen, Lhokseumawe, dan Aceh Utara.

Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan (Pusdatin) BNPB Abdul Muhari menyebut, per 3 Desember 2025, pihaknya memang belum mengirimkan tenda ke Aceh. Pihaknya fokus pendistribusian logistik.

"Aceh Utara dukungan logistik kita drop via udara, fokusnya makanan siap saji, instan, hygiene kit, obat vitamin dan lain-lain," kata Muhari saat dikonfirmasi, Kamis (4/12).

"Pasti belum cukup tapi setiap hari ada sorti yang ke sana, untuk Aceh utara jalur laut juga dilakukan. Tenda memang belum ada kita kirim karena makan space sedangkan tonase via udara terbatas," tambahnya.

Warga menggunakan kabel baja yang  untuk menyeberangi Sungai Juli pascaputusnya Jembatan Juli di jalan lintas Bireuen - Takengon, Aceh, Selasa (2/12/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO
Warga menggunakan kabel baja yang untuk menyeberangi Sungai Juli pascaputusnya Jembatan Juli di jalan lintas Bireuen - Takengon, Aceh, Selasa (2/12/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO

Jalan Kaki 8 Jam Demi Beras dan Susu Anak

Hari itu, 2 Desember 2025, lima hari pasca banjir dan longsor, Rahmansyah dan orang kampungnya hanya punya dua pilihan: berjalan kaki 8 jam menuju kota atau mati kelaparan.

Warga Desa Arul Gading, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, itu memilih upaya melanjutkan hidup. Ia memutuskan berjalan kaki menuju kota. Berangkat dari desa sekitar pukul 7 pagi dan tiba di Bireuen kurang lebih pukul 15.00 WIB. Padahal biasanya perjalanan normal hanya menempuh satu setang atau dua jam.

Mengenakan field jacket, rambut putih acak-acakan, wajah lelah-memelas, dengan celana panjang berlumpur, Rahmansyah yang ditemani tiga pemuda lain datang tergopoh-gopoh ke kota. Mereka mencari beras untuk melanjutkan hidup 500-an warga di dusunnya.

Mereka sudah dua hari tidak makan. Jembatan putus. Logistik menipis. Makanan tak dapat distribusi. Kalau pun mereka memiliki sisa uang membeli beras, juga tak berguna. Sebab beras dijual pun tak ada. Kampung terisolir.

Rahmansyah satu-satunya harapan warga di dusunnya pulang membawa beras. "Kami butuh beras, Pak. Intinya beras," kata Rahmansyah memohon pada salah satu penanggung

"Kami dua hari tak ada makanan. Banyak yang kelaparan," jelas Rahmansyah.

Rahmansyah,  warga Desa Arul Gading, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh.  Foto: Hedi/kumparan
Rahmansyah, warga Desa Arul Gading, Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah, Aceh. Foto: Hedi/kumparan

Rahmansyah nekat ke kota melalui beberapa jembatan terputus lalu nyambung ojek dan menyewa sampan untuk menyeberang ke Bireuen. Akses Bener Meriah menuju Bireuen saat ini lumpuh total. Jembatan penghubung dua kabupaten tersebut putus diterjang air.

Warga yang ingin mengakses dua kabupaten tersebut terpaksa menggunakan sampan atau jembatan penyeberangan darurat dengan menggantung di tali seling yang dibentangkan di atas sungai.

Penyeberangan tersebut berbayar sehingga Rahmansyah terpaksa menggunakan uang kas masjid untuk membiayai perjalanan: membayar ojek, sewa sampan, dan penyeberangan tali seling.

"Kami menggunakan uang masjid untuk perjalanan ke sini [Bireuen]. Banyak yang kelaparan di sana," kata Rahmansyah.

Bantuan jadi satu-satunya harapan menyambung hidup. Rahmansyah menyebut ada sekitar 500 jiwa yang terisolir di tempatnya. Mereka tak mendapatkan distribusi logistik. Sementara akses mereka keluar pun terputus. Mereka berjibaku dengan kelaparan.

"Di sana listrik mati, sinyal susah, ada penerangan, pakai lampu teplok [pelita]," imbuh Rahmansyah.

Alingga juga mempertaruhkan nyawanya. Berjalan empat jam, menyeberangi sungai yang jembatannya putus hingga dikerek di tali seling untuk bisa menembus ke Kota Bireuen. Perjalanan berbahaya itu ia pilih demi susu bayi dan makanan keluarganya.

Ia sebenarnya tak terdampak langsung banjir. Rumahnya tidak terendam air, tapi kampungnya di Panti Raya, Bandar Lampahan, Kabupaten Bener Meriah, ikut terisolir. Akses ke sana lumpuh total karena banyak jembatan putus dan jalan yang tertimbun longsor.

Alingga baru saja memiliki bayi berusia 15 bulan. Dan ia melakukan segalanya, sekalipun perjalanan berbahaya, untuk susu anaknya. Lima hari pasca banjir, Bener Meriah mulai kekurangan persediaan makanan. Stok jualan menipis. Bilapun ada beras atau bahan makanan lain, kata Alingga, harganya naik berkali lipat.

"Kalau yang terdampak ini, macam saya nih, anak saya 15 bulan, itu saya kesulitan untuk kayak susu," kata Alingga, Selasa (2/12).

"Kalau orang korban tuh kan hanyut, meninggal, ya namanya korban. Ini enggak [hanyut], tapi korbannya mati kelaparan. Terlebih yang punya anak," imbuhnya.

Pasukan TNI dari Kodim 0111/Bireuen membantu warga yang terdampak banjir di sejumlah wilayah Kecamatan Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen, Senin (1/12/2025). Foto: Dok. Puspen TNI
Pasukan TNI dari Kodim 0111/Bireuen membantu warga yang terdampak banjir di sejumlah wilayah Kecamatan Peusangan Selatan, Kabupaten Bireuen, Senin (1/12/2025). Foto: Dok. Puspen TNI

Bak Tsunami Kedua

Perjalanan kumparan ke 3 daerah terdampak bencana di Aceh dimulai pada Senin (1/12). Malam hari, kumparan yang menumpang rombongan Tri Rismaharini, eks Menteri Sosial dan politikus PDIP, tiba di Bandar Udara Iskandar Muda di Banda Aceh. Kami keluar bandara dan langsung dijemput driver yang kami panggil dengan nama Bang Jo.

Sebelum bergegas dan mengatur perjalanan menuju lokasi bencana, Bang Jo lebih dahulu mengantar kami ke sebuah warung makan yang tak jauh dari pintu keluar bandara. Malam belum benar-benar tidur, waktu menunjukkan sekitar pukul 18.00-an WIB, tapi suasana sunyi.

Kata Bang Jo, biasanya di jam yang sama kami tiba, warung makan yang kami singgahi selalu ramai pelancong atau penumpang yang baru keluar bandara. Namun malam itu berbeda. Rombongan kami seperti disambut kota mati tanpa penghuni. Di warung makan malam itu hanya rombongan kami yang dilayani.

Usai persiapan matang. Alat dan logistik yang akan disalurkan tersusun rapi, kami bergegas melanjutkan perjalanan. Tujuannya ke Kabupaten Bireuen, salah satu wilayah terdampak. Malam pertama kami akan menginap di sana agar lebih mudah mengakses kabupaten terdampak lainnya.

Secara geografis, Bireuen paling dekat dengan wilayah terdampak parah dan terisolir, seperti Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe. Untuk ke Bener Meriah dan Aceh Tengah juga melalui Bireuen. Letak Bireuen strategis.

Bang Jo melaju menerjang malam menggunakan mobil high SUV. Beberapa menit berjalan, kami disambut suasana sunyi-sepi. Kata Bang Jo, ruas jalan bisa jadi memang kami hanya yang melintas. Sebab jalan dari arah Sumatera Utara dan Bireuen terputus. Tak ada mobil yang bisa melintas. Perjalanan roda dua praktis hanya akan ada dari Banda Aceh menuju Bireuen.

Suasana perjalanan seketika menghentak saya bahwa perjalanan kami sedang menuju wilayah terdampak bencana. Suasana itu dipertebal saat menjumpai antrian mengular di setiap stasiun pengisian bahan yang kami lewati, salah satunya ketika kami mulai memasuki wilayah Kabupaten Pidie dan Sigli. Kendaraan mengantri berkilo-kilo meter untuk mendapatkan bahan bakar.

Antrean mengisi bahan bakar di SPBU Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Sigli, Aceh, Selasa (2/12/2025). Foto: Hedi/kumparan
Antrean mengisi bahan bakar di SPBU Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Sigli, Aceh, Selasa (2/12/2025). Foto: Hedi/kumparan

Saya sempat keluar kendaraan dan bertanya kepada warga yang mengantri di sebuah SPBU yang tak jauh dari tugu ikonik Kabupaten Sigli. Ternyata mereka ada yang sudah mengantri sejak sore, padahal saat itu jam menunjukkan sekitar pukul 22.20 WIB. Mereka menanti sesuatu yang tak diketahui waktu kedatangannya.

"Katanya, tangki minyaknya sudah di perjalanan," kata salah satu dari pengantri.

Tak hanya bahan bakar, kelangkaan bahan pokok mulai terasa saat rombongan hendak belanja untuk tambahan persediaan bantuan, tapi mereka beberapa kali tak diizinkan membeli beras dan mie instan dalam jumlah banyak. Para pedagang ternyata sudah menerapkan pembatasan belanja bahan pokok setiap pembeli.

Tiba di Bireuen, amarah bah itu menampakkan wujudnya. Kepingan beton berserakan di lorong-lorong pasar, beberapa ruas jalan kopong, kasur terjemur di depan rumah-rumah warga.

Kota Bireuen turut terendam banjir namun airnya telah surut kala kami datang. Hanya tersisa kerikil-kerikil dan pasir halus serta lumpur yang mengeras berserakan di sepanjang ruas jalan lalu berubah menjadi debu.

Saya dan rombongan tiba di Bireuen dini hari. Rombongan mengemas ulang bantuan yang bakal didistribusikan. Setelah itu terlelap beberapa jam. Pagi segera terjaga untuk menuju kecamatan Jangka, salah satu wilayah terdampak parah di Bireuen.

Jangka sempat tiga hari terisolasi. Jalan tertutup lumpur. Batang-batang tiang listrik yang tercongkel menutupi ruas jalan. Mobil-motor di sepanjang jalan tertutup lumpur. Ruas jalan lainnya dipenuhi gundukan tanah dari lumpur yang sudah mengeras.

Rumah-rumah warga masih tergenang lumpur. Sawah-sawah berubah warna cokelat. Tambak petani bandeng tertutup lumpur pekat. Kerusakan terlihat sejauh mata memandang. Lumpur di mana-mana, tak terkecuali di rumah ibadah dan sekolah.

Beberapa kampung di kecamatan Jangka luluh lantak. Yang tersisa hanya mereka yang mencoba bangkit dalam duka dengan membersihkan rumah dan pakaian yang disisakan banjir.

Sementara, beberapa warga masih tidur di pengungsian. Meskipun mereka diintai penyakit karena minim sanitasi dan air bersih. Di Jangka, per 2 Desember, beberapa orang mulai terserang penyakit kulit dan anak-anak demam.

Jembatan Kuta Blang yang putus akibat diterjang banjir di Desa Blang Mee, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Aceh, Selasa (2/12/2025). Foto: Hedi/kumparan
Jembatan Kuta Blang yang putus akibat diterjang banjir di Desa Blang Mee, Kecamatan Kuta Blang, Kabupaten Bireuen, Aceh, Selasa (2/12/2025). Foto: Hedi/kumparan

Hari kedua di Aceh, saya dan rombongan menyeberang ke Lhokseumawe dan Aceh Utara. Tapi perjalanan berikutnya ini tak lagi bersama Bang Jo karena mobil tak bisa menyeberang. Jembatan putus.

Hanya manusia dan logistik yang bisa diangkut menggunakan kapal. Kapal penyeberangan yang oleh orang Aceh disebut 'speedboat becak'. Perahu milik warga tersebut menjadi satu-satunya akses menyeberang menuju Lhokseumawe dari Bireuen.

Jembatan Kuta Blang yang putus itu pun berubah jadi dermaga darurat, tempat menyeberangkan bantuan dan manusia dari Bireuen ke Lhokseumawe, atau sebaliknya. Yang menyeberang harus merogoh kocek sekitar Rp 25 ribu per satu kali menyeberang.

Tiba di Lhokseumawe, rombongan menuju titik terdampak di Aceh Utara. Sama seperti di Jangka, kerusakan nampak di sepanjang jalan. Kota tergenang lumpur.

Warga menyaksikan sejumlah rumah rusak tertimbun lumpur dan sampah kayu pascabanjir bandang di Desa Manyang Cut, Kecamatan Mereudu, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis (27/11/2025). Foto: Ampelsa/ANTARA FOTO
Warga menyaksikan sejumlah rumah rusak tertimbun lumpur dan sampah kayu pascabanjir bandang di Desa Manyang Cut, Kecamatan Mereudu, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis (27/11/2025). Foto: Ampelsa/ANTARA FOTO

Di sepanjang jalan, di lorong-lorong, semua porak-poranda. Ada yang rumahnya tersungkur, tiang listrik menimpa rumah, mobil tersangkut di antara dua tiang listrik, masjid tergenang, hingga ruko-ruko di Pasar Panton Labu yang tertutup lumpur.

Pedagang berusaha memilah dagangan yang masih layak. Sementara petani, mencoba ikhtiar dengan menjemur sisa gabah yang tak terbawa air.

Kerusakan hampir terjadi merata di Aceh Utara. Lumpur kering yang telah menjadi debu menyeruak ke udara. Suasana tersebut membuat sepanjang kota seperti kota mati. Mengingatkan pada luka lama masyarakat Aceh, yakni tsunami 2004.

Dalam perjalanan menuju Bireuen, Bang Jo sempat bercerita mengenai tsunami dan membandingkan dengan banjir akhir November kemarin.

Sebagai penyintas tsunami, Bang Jo menilai banjir yang menerjang Aceh saat ini lebih berat karena kerusakan dan dampaknya meluas. Hal lain, saat tsunami, korban mendapatkan lebih banyak bantuan, termasuk dari internasional, sehingga masyarakat yang terdampak pulih lebih cepat.

Masjid tergenang lumpur bekas banjir di Aceh Utara, Rabu (3/12/2025). Foto: Hedi/kumparan
Masjid tergenang lumpur bekas banjir di Aceh Utara, Rabu (3/12/2025). Foto: Hedi/kumparan

Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem juga menyebut banjir dan longsor bak tsunami kedua bagi Aceh. Mualem berdiri tegak namun suaranya lirih saat mengetahui fakta beberapa kampung hilang ditelan banjir.

"Aceh sekarang mengalami tsunami kedua," kata Mualem di Lanud Sultan Iskandar Muda, Sabtu (29/11).

Juru bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, mengungkap, total ada 18 kabupaten/kota terdampak banjir dan longsor dari 23 kabupaten/kota yang ada di Aceh. Rinciannya, 229 kecamatan dan 3.310 desa atau gampong dari 6.497 desa atau gampong. Artinya, lebih dari 50 persen desa terdampak banjir akhir November tersebut.

Dari 18 kabupaten/kota terdampak tersebut, 15 di antaranya masuk dalam status siaga darurat meliputi: Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh Timur, Langsa, Aceh Tamiang, Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tengah dan Nagan Raya.

Sementara tiga kabupaten/kota lainnya: Aceh Barat, Aceh Besar dan Pidie berstatus tanggap darurat.

Kendaraan melintas di jalan yang berada di antara lahan pertanian yang rusak akibat terendam banjir dan lumpur banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO
Kendaraan melintas di jalan yang berada di antara lahan pertanian yang rusak akibat terendam banjir dan lumpur banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO

Adapun kerusakan akibat banjir dan longsor meliputi 138 unit perkantoran, 51 unit tempat ibadah, 201 unit sekolah, 64 unit pondok pesantren serta 204 unit rumah sakit/puskesmas rusak.

Lalu kerusakan jalan 302 titik, jembatan 152 unit. Kemudian rumah 78.076 unit, ternak 182 ekor, sawah 55.404 hektar dan kebun 12.700 hektar.

Hingga Selasa, 9 Desember 2025, BNPB mencatat korban tewas akibat banjir di Aceh mencapai 391 jiwa, 31 orang hilang, dan 914 ribu lebih orang mengungsi.

Angka di atas hanyalah rekapitulasi. Yang terpenting, bagaimana korban pulih dan melanjutkan penghidupan. Sementara sawah, tambak, perkebunan, ternak, hingga pertokoan mereka ditelan lumpur.

"Sekarang sudah tertimbun lumpur semua," kata Ilham, salah satu petani tambak di Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen.

Sementara itu Presiden Prabowo Subianto berjanji menghapus utang Kredit Usaha Rakyat (KUR) bagi petani di Aceh yang terdampak banjir dan longsor.

"Utang-utang KUR, karena ini keadaan alam, ya kita akan hapus," janji Prabowo, Minggu (7/12).

Petani menyelamatkan padi pascapanen yang terendam banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO
Petani menyelamatkan padi pascapanen yang terendam banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh, Senin (8/12/2025). Foto: Irwansyah Putra/ANTARA FOTO

Media files:
01kc1dgbe3fbjx1ywv5qmxve9t.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar