Pola preferensi pemilihan mobil kini telah berbeda. Hal ini diungkapkan oleh pengamat otomotif sekaligus akademisi Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu. Menurutnya, generasi muda saat ini tak lagi menunjukkan loyalitas terhadap suatu merek mobil.
"Manusia modern Indonesia sedang bergeser cepat, dari awalnya dikuasai generasi tua (baby boomers dan milenial awal) ke generasi milenial akhir dan Gen Z awal yang semakin tidak loyal pada brand," kata Yannes kepada kumparan beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, generasi tersebut lebih melihat sebuah mobil berdasarkan kelengkapan fitur dan harga yang ditawarkan. Ketika fitur melimpah dan harga terjangkau, maka value for money akan didapatkan.
"(Milenial akhir dan Gen Z) semakin memahami pentingnya value for money. Segmen pasar yang baru ini semakin ingin menikmati kenyamanan dan new experience dari setiap rupiah yang mereka keluarkan," katanya.
Seremoni handover 1.000 unit Chery Tiggo Cross CSH di Jakarta. Foto: Aditya Pratama Niagara/kumparan
Seperti yang beredar di pasaran, mobil-mobil saat ini mulai menyematkan fitur-fitur canggih penunjang gaya hidup dan kebutuhan generasi muda masa kini. Seperti panoramic roof, wireless smartphone charger, serta konektivitas Android Auto dan Apple CarPlay.
Bahkan aksesori kit karaoke di sejumlah mobil China seperti Jaecoo dan BYD pun bisa didapatkan melalui diler resmi. Nah, kata Yannes, saat ini merek China memang berusaha memenuhi permintaan-permintaan tersebut.
"Pemain-pemain raksasa China mulai membangun ekosistem terintegrasi, dari energi, purna jual, hingga digitalisasi pengalaman berkendara. Mereka bermain di level berbeda, menjadi penyedia solusi mobilitas manusia modern," jelas Yannes.
Adapun perhatian terhadap para pabrikan Jepang yang selama ini berada di zona nyaman harus bisa menyesuaikan kompetisi yang terjadi di pasar Indonesia saat ini.
Mobil listrik BYD Atto 1 ditampilkan di booth Mobil Listrik BYD saat Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025 di ICE BSD, Tangerang, Kamis (24/7/2025). Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Terlebih kondisi industri otomotif nasional tengah berada di fase VUCA (volatile, uncertain, complex, ambiguous) atau bersifat mudah berubah, tidak pasti, rumit, dan ambigu.
"Dalam konteks situasi pasar yang semakin VUCA, merek-merek mapan dari Jepang dan Eropa memang terancam mengalami nasib serupa seperti Kodak dan Blackberry, yakni terlambat mengantisipasi perubahan besar karena bertahan dalam zona nyaman," ujarnya.
"Mereka mengandalkan warisan loyalitas, teknologi lama, dan model bisnis yang sudah terbukti di masa lalu. Tapi, justru itu yang membuat mereka kurang lincah ketika disrupsi mulai datang," sambungnya.
Guna mengantisipasi agresivitas merek China dengan teknologinya, para pabrikan Jepang bisa melakukan berbagai cara, seperti mempercepat elektrifikasi, membuka kolaborasi lintas negara, dan membongkar ulang rantai pasok dan model bisnis mereka.
"Risikonya adalah mereka semakin tidak relevan lagi untuk tetap ada di masa kini dan ke depannya, punah seperti dinosaurus," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar