Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan paparan saat mengikuti rapat kerja bersama Komisi IX DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (15/9/2025). Foto: Rivan Awal Lingga/ANTARA FOTO
Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin menyoroti kondisi keuangan BPJS Kesehatan yang masih defisit dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, beban program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus lebih besar dibanding pendapatan iuran, sehingga BPJS Kesehatan baru bisa positif jika ada kenaikan iuran.
Budi memaparkan, pada tahun 2023, pendapatan iuran BPJS Kesehatan yaitu Rp 151,7 triliun sementara beban JKN ada pada angka Rp 158,9 triliun. Pada tahun 2024, pendapatan iuran ada pada angka Rp 165,3 triliun, sementara beban JKN ada pada angka Rp 175,1 triliun. Sementara di tahun 2025 sampai September, pendapatan iuran ada pada angka Rp 129,9 triliun, sementara beban JKN ada pada angka Rp 139,4 triliun.
"BPJS itu nggak pernah sustainable, dia positif kalau ada kenaikan iuran. Jadi kenaikan iuran selalu telat," kata Budi dalam rapat bersama Komisi IX di Gedung Parlemen, Jakarta Pusat pada Kamis (13/11).
Meski demikian, Budi mengakui isu kenaikan iuran BPJS sangat sensitif. Namun, ia menegaskan evaluasi tetap harus dilakukan demi menjaga keberlanjutan BPJS Kesehatan.
Menurut Menkes, yang menjadi tugas bersama adalah menjelaskan bahwa iuran BPJS Kesehatan sangat murah dan menguntungkan bagi masyarakat. Oleh karena itu,cara agar sistem keuangan BPJS Kesehatan tetap terjaga, pemerintah akan mendorong skema layanan yang lebih efisien, termasuk penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Melalui skema ini, BPJS Kesehatan akan lebih fokus menyasar masyarakat berpenghasilan rendah, sementara peserta mampu bisa beralih ke layanan swasta.
"Nah, di yang baru nanti rencana kita akan lakukan Kelas Rawat Inap Standar. Ini maksudnya apa? Supaya BPJS itu fokusnya ke yang bawah aja, walaupun ini dibantu sama BPJS. Tapi saya bilang, BPJS nggak usah cover yang kaya-kaya deh, kenapa? Karena yang kaya kelas satu itu biar diambil swasta," ujarnya.
Untuk itu, Budi juga telah menandatangani kesepakatan dengan OJK mengenai skema Combine of Benefit (COB), agar ada koordinasi antara BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta.
Masih Ada PBI Bergaji Rp 100 Juta per Bulan
Ilustrasi BPJS Kesehatan. Foto: Shutterstock
Dalam rapat yang sama, Budi juga menyoroti persoalan data penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya, berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Ekstrem dan Non-Ekstrem (DTSEN), masih ada warga berpenghasilan tinggi yang tercatat sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU).
Dia menyebut, masih ada sekitar 0,56 persen masyarakat dari kelompok desil 10 atau 10 persen penduduk terkaya di Indonesia, yang justru tercatat sebagai penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan. Bahkan, ada peserta bergaji hingga Rp 100 juta per bulan yang masih tercatat sebagai penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan.
"Ada juga yang mesti dihapus (kelompok) desil 9, pendapatannya Rp 100 juta sebulan ke atas, ngapain juga dibayarin PBI-nya," ucap Budi.
Dia meminta BPJS Kesehatan melakukan pembersihan data agar bantuan tepat sasaran. Menurutnya, peserta mampu seharusnya ditanggung asuransi swasta, bukan menggunakan skema bantuan pemerintah.
Budi juga menyinggung kasus Pemprov DKI Jakarta yang sempat menanggung iuran BPJS warga mampu, termasuk pejabat eselon satu seperti Sekjen Kemenkes.
"Sekjen saya, Pak Kunta Wibawa itu juga dibayarin PBPU-nya karena dia di DKI Jakarta pada saat itu. Bapak ibu pernah denger kan DKI Jakarta semua dibayarin sama pemda termasuk Pak Kunta Wibawa, dan ada orang lain yang lebih kaya dari beliau juga dibayarin," kata Budi dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI, dikutip Kamis (13/11).
Ia menjelaskan, pemerintah akan menyatukan seluruh program bantuan sosial, mulai dari kesehatan hingga subsidi listrik, menggunakan satu sumber data, yakni DTSEN milik BPS. Data itu akan diperbarui Kemensos dan menadi dasar penetapan penerima bantuan setiap bulan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar