Ilustrasi etika menggunakan teknologi. Foto: A9 STUDIO/Shutterstock
Seiring berkembangnya teknologi dalam banyak bidang kehidupan, ilmu pengetahuan pun perlahan menjelma menjadi sebuah otoritas yang mendapat tempat khusus dalam usaha mencari kebenaran. Pertanyaannya: Bagaimana memposisikan ilmu pengetahuan dalam ranah kepentingan yang jelas, sehingga ia tidak berkembang menjadi sebuah kekuatan "semau gue" yang destruktif?
Memang harus diakui, bahwa rasionalitas ilmiah—yang dibingkai oleh metodologi yang ketat dan diuji serta direplikasi dengan sistem yang akurat—dapat menjadi fondasi peradaban modern. Namun, hal ini dapat terjadi jika kita membangun sebuah sikap dasar yang menaruh kepercayaan pada ilmuwan bukan karena mereka tak pernah salah, melainkan karena kita yakin bahwa tanggung jawabnya sebagai ilmuwan terikat oleh sebuah sistem yang dapat meminimalkan kesalahan.
Ketika Ilmu Menemui Batasnya
Sebuah narasi yang menarik tentang otoritas ilmiah dapat dipantau dalam novel Mahlers Zeit karya Daniel Kehlmann (2025). Tokoh utama, David Mahler, seorang fisikawan brilian, tidak pernah bergeming dari keyakinannya, bahwa ia telah menemukan sebuah teori revolusioner tentang pembalikan waktu.
Berdasarkan tafsir terhadap hukum kedua termodinamika, Mahler percaya bisa mengatasi entropi dan membengkokkan waktu. Sayangnya, keyakinannya ini tidak gayung bersambut. Komunitas ilmiah yang diharapkan antusias mendapat kabar revolusioner ini justru meminggirkannya secara sosial. Alhasil, ia dilanda tragedi personal yang melantahkan jiwanya.
Ilustrasi ilmuwan perempuan dalam sains. Foto: Shutterstock
Apa maksud Kehlmann menggambarkan peran tokoh utama dalam senandung pesimistis ini? Seyogyanya, ia melantunkan sebuah kritik halus tetapi tajam, bahwa ilmu—betapapun rasional dan canggih—tetap berada dalam kerangka manusiawi—dibelenggu oleh waktu, kekuasaan, dan tafsir yang tidak selalu tunggal.
Kompleksitas permasalahan yang dihadapi Mahler bukan hanya tentang fisika, melainkan berhubungan erat dengan mimpi, kenangan, dan kehilangan—hal yang tidak dapat dikungkung dalam sebuah rumus baku, melainkan terbuka terhadap kisi-kisi pengalaman manusia yang multidimensional.
Kehlmann dengan ini menyadarkan para ilmuwan: tidak semua pengetahuan bisa diukur dan tidak semua kenyataan bisa dijelaskan. Apa yang termasuk dalam ranah ilmu pengetahuan adalah pertanyaan tentang "bagaimana", bukan "mengapa". Ia berurusan dengan "bagaimana dunia bekerja", tetapi tidak sanggup untuk memberikan jawaban tuntas tentang "mengapa dunia bekerja demikian" dan "untuk apa manusia hidup di dalamnya".
Dari Dominasi ke Dialog
Di hadapan menara pertanyaan "mengapa" dan "untuk apa" sains seharusnya menyadari juga kekecilan dirinya, walaupun ini juga bukan berarti "merasa minder". Bagaimanapun juga, sains memiliki ruang kebebasan yang sangat luas ketika berhadapan dengan pertanyaan "bagaimana". Dalam ranah pertanyaan "bagaimana", sains memberikan kontribusi yang tak ternilai untuk perkembangan kemanusiaan sejagat.
Dialog: mengapa dan bagaimana? (Pixabay)
Sangat disayangkan—bahwa di Indonesia, dalam polemik tentang penghapusan atau penyesuaian pengajaran teori evolusi dalam kurikulum menengah—sains dihadapkan dengan dominasi moralitas keagamaan, seolah-olah sains hanya memiliki daya destruktif. Padahal, pendidikan pada prinsipnya tidak boleh dikurung, baik dalam sebuah metodologi pengajaran yang sempit maupun dalam ideologisasi atau moralisasi ruang pengetahuan.
Sains yang berbicara dalam bahasa seleksi alam, DNA, dan fosil, harus dapat dibedakan dari narasi wahyu dan iman. Keduanya tidak harus saling menegasikan satu sama lain, tetapi harus berani untuk masuk dalam sebuah ruang dialog mutualis demi sebuah kepentingan yang lebih besar.
Hal serupa pun harus bisa berlaku untuk pelajaran sejarah atau Pendidikan dan Kewarganegaraan (PPKn), yang kerap direduksi menjadi alat reproduksi ideologi negara. Di sini, semua komunitas, baik sipil maupun agama, harus terbuka terhadap temuan ilmu pengetahuan, bukan berusaha untuk membungkamnya.
Laporan Human Rights Watch (2020) menyoroti bagaimana narasi sejarah Indonesia dalam buku teks sering menyederhanakan kompleksitas, menghapus tokoh-tokoh non-mainstream, atau membungkam tragedi nasional seperti peristiwa 1965. Ketika dominasi ideologi atau agama terus berlanjut, pendidikan akan berhenti menjadi proses berpikir kritis; ia berubah menjadi instrumen hafalan dan kepatuhan.
Bukan karena tahu segala, melainkan terus bertanya (Pixabay)
Padahal, pendidikan seharusnya menjadi ruang di mana berbagai otoritas—sains, agama, negara, budaya—bertemu dan berdialog secara sehat. Yang menentukan bukanlah siapa yang kalah atau siapa yang menang dalam dialog ini, melainkan untuk mendapatkan sebuah titik temu lewat perjumpaan dan pergulatan yang jujur yang dapat menjadi landasan untuk membangun dunia pendidikan yang lebih andal dan bermartabat.
Model seperti ini bukan utopia atau sesuatu yang masih harus dicari dan ditemukan. Di Finlandia atau Jerman, misalnya, pengajaran teori evolusi dan agama ditempatkan secara paralel dengan batas epistemologis yang jelas. Keduanya diajarkan tidak untuk memaksa memilih, tetapi untuk membekali siswa berpikir kritis dan memahami perbedaan.
Ilmu, Iman, dan Keberanian untuk Meragukan
Di tengah gelombang hoaks dan pseudoscience yang membanjiri dunia digital, peran sains dalam ranah "bagaimana" adalah suatu yang tak tergantikan. Namun, peran ini harus disertai dengan kesadaran, bahwa sains bukanlah "dogma",melainkan hanya sebuah instrumen untuk mencapai kebenaran yang hakiki.
Pada akhirnya, Novel Mahlers Zeit bukan hanya kisah tentang seorang ilmuwan yang mencoba membalik waktu, melainkan alegori tentang manusia yang, meskipun cemerlang, tetap rapuh dalam upaya memahami semesta. Mungkin di sanalah letak keindahan sains yang sesungguhnya: bukan karena ia tahu segalanya, melainkan karena ia terus bertanya—dan tahu kapan harus meragukan dirinya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar