Search This Blog

Membaca Sinyal Diplomasi dari Pertemuan Trump dan Xi Jinping di Korea Selatan

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Membaca Sinyal Diplomasi dari Pertemuan Trump dan Xi Jinping di Korea Selatan
Nov 2nd 2025, 14:00 by Hadi Pradnyana

Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat mereka mengadakan pertemuan bilateral di Bandara Internasional Gimhae, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, di Busan, Korea Selatan, Kamis (30/10/2025). Foto: Evelyn Hockstein/REUTERS
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat mereka mengadakan pertemuan bilateral di Bandara Internasional Gimhae, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, di Busan, Korea Selatan, Kamis (30/10/2025). Foto: Evelyn Hockstein/REUTERS

Latar Belakang

Tidak ada pertemuan antar-pemimpin besar yang berlangsung tanpa makna, terlebih ketika Donald Trump dan Xi Jinping memilih Korea Selatan sebagai panggung diplomasi mereka. Pertemuan antara pemimpin kedua negara ini berlangsung pada Kamis, 30 Oktober 2025. Dua pemimpin dari kekuatan ekonomi terbesar di dunia ini bertatap muka langsung untuk pertama kalinya setelah hubungan mereka memburuk akibat perang dagang, isu teknologi, dan rivalitas geopolitik.

Banyak media menyebut pertemuan ini monumental. Media-media arus utama, seperti Reuters, The Washington Post, dan The Guardian, menggambarkan pertemuan ini sebagai langkah besar menuju rekalibrasi hubungan dua kekuatan global. Bukan hanya karena dampaknya terhadap ekonomi global, melainkan karena simbol politik yang terkandung di baliknya.

Secara umum, pembahasan publik masih berfokus pada potensi pergeseran arah ekonomi dunia. Seperti kemungkinan penurunan tarif, stabilisasi rantai pasok, dan sinyal meredanya ketegangan perang dagang. Namun selain sisi ekonomi, yang menarik justru adalah sinyal diplomatik dari lokasi pertemuan yang berlangsung. Mengapa diadakan di Korea Selatan, di jantung Asia Timur, bukan di Washington, Beijing, atau kota-kota simbol diplomasi Barat seperti Jenewa dan Brussels?

Dalam studi diplomasi (Neumann & Sending, 2015; Cooper, 1997; Efstathopoulos, 2015; Howe, 2021; Arrighi, 1994; Acharya, 2014), tempat tidak hanya latar belaka, melainkan sebuah pesan. Korea Selatan dipilih karena posisinya yang unik, yakni sebagai sekutu Amerika Serikat, tetapi juga salah satu mitra ekonomi utama China. Pertemuan di Busan, Korea Selatan menunjukkan upaya mencari keseimbangan tanpa terlihat "mengunjungi" wilayah kekuasaan pihak lain, di samping juga sebagai ruang pertemuan yang netral.

Ilustrasi bendera Korea Selatan. Foto: railway fx/Shutterstock
Ilustrasi bendera Korea Selatan. Foto: railway fx/Shutterstock

Pertemuan ini juga mencerminkan peran Korea Selatan sebagai middle power, negara menengah yang sering berfungsi sebagai jembatan dalam rivalitas besar AS dan China. Seperti dijelaskan Andrew Cooper (1997) dalam konsep Niche Diplomacy, negara seperti Korsel mampu menciptakan ruang dialog ketika kekuatan besar mengalami kebuntuan. Dengan demikian, Asia kini bukan lagi dipandang hanya sebagai arena persaingan, melainkan panggung utama diplomasi global.

Artikel ini mencoba membedah pertemuan tersebut dari perspektif lain dalam studi diplomasi. Bukan semata melihatnya sebagai langkah strategis dua kekuatan besar dunia, melainkan sebagai representasi simbolik dari pergeseran orientasi geopolitik dan makna baru diplomasi era sekarang.

Dengan membaca lokasi, momentum, dan gestur diplomatik yang muncul, artikel ini berupaya menafsirkan "sinyal-sinyal halus" di balik pertemuan Trump dan Xi di Korea Selatan, serta memahami bagaimana Asia kini menjadi panggung utama bagi rekonstruksi tatanan global.

Venue Diplomacy

Lokasi sebuah pertemuan diplomatik sejatinya bukan hanya soal geografis, melainkan juga bagian dari "pesan" yang ingin dikirim oleh aktor-negara. Dalam konteks pertemuan Trump-Xi di Korea Selatan, pilihan Asia Timur, daripada Washington, Beijing, atau kota-kota di Eropa, mencerminkan bahwa diplomasi tingkat tinggi kini berpindah arena.

Peta wilayah perbatasan negara Rusia, Korea Utara dan Korea Selatan. Foto: Peter Furian/Shutterstock
Peta wilayah perbatasan negara Rusia, Korea Utara dan Korea Selatan. Foto: Peter Furian/Shutterstock

Teori yang relevan di sini adalah Diplomatic Sites yang ditawarkan oleh Iver B. Neumann (2013) dalam Diplomatic Sites: A Critical Enquiry. Di buku ini, Neumann (2013) menunjukkan bahwa diplomasi itu sited and evented. Tempat dan bagaimana peristiwa diatur ikut membentuk makna diplomasi.

Dengan bertemu di Korea Selatan, Trump dan Xi menyiratkan bahwa mereka ingin berdiri dalam lokasi yang relatif netral, sehingga kesan dominasi dari salah satu pihak dapat dikurangi. Ini menandakan upaya menampilkan kesetaraan, atau minimal usaha untuk mengubah narasi bahwa satu pihak "mendatangi" pihak lain. Terlebih lagi, lokasi di Asia menunjukkan bahwa pusat gravitasi diplomasi global semakin bergeser ke Timur. Dalam era multipolar, bukan hanya kekuatan yang penting, melainkan juga di mana kekuatan itu bermanuver.

Niche Diplomacy

Teori Middle Power Diplomacy dari Efstathopoulos (2015) menjadi relevan untuk menganalisa mengapa Korea Selatan dipilih sebagai lokasi dan bagaimana pertemuan itu dapat dipahami dalam konteks peran negara menengah. Melalui buku Middle Power Diplomacy in International Relations, Efstathopoulos (2015) memaparkan bahwa dalam dunia multipolar, negara-menengah adalah aktor yang punya kapasitas, tetapi bukan hegemon, dan sering berfungsi sebagai mediator, jembatan, atau broker antara kekuatan besar.

Sementara itu dalam buku karya Brendan M. Howe (2021), The Niche Diplomacy of Asian Middle Powers, menegaskan bahwa beberapa negara Asia Timur (termasuk Korsel) mengembangkan niche diplomacy dengan memanfaatkan posisi regional, historis, dan struktural mereka untuk memainkan peran mediasi atau fasilitasi.

Ilustrasi Industri Semikonduktor Korea Selatan. Foto: Tang Yan Song/Shutterstock
Ilustrasi Industri Semikonduktor Korea Selatan. Foto: Tang Yan Song/Shutterstock

Dalam kasus ini, Korea Selatan sebagai sekutu AS sekaligus dekat secara ekonomi politik dengan China memungkinkan kedua pihak, baik Trump dan Xi, untuk bertemu dengan pengaturan yang minim kesan tekanan langsung atau dominasi tunggal. Dengan demikian, Korsel tampil sebagai middle power venue yang memfasilitasi komunikasi strategis antara dua kekuatan besar.

Sinyal Diplomasi dalam Era Multipolaritas

Pertemuan ini bisa dibaca sebagai bagian dari evolusi tatanan dunia; dari unipolar ke multipolar, atau bahkan multiplex order. Dalam literatur-literatur tentang diplomasi terkini (Efstathopoulos, 2015; Howe, 2021; Neumann, 2013) tatanan ini dibahas oleh para akademisi yang menyebut bahwa negara besar tidak lagi sendirian mengatur sistem, tetapi berbagai pusat kekuasaan muncul secara simultan.

Melalui pertemuan Trump–Xi di Asia, sinyal yang dikirim adalah dua kekuatan besar masih bertemu dan bernegosiasi langsung, tetapi lokasi dan pengaturan menunjukkan bahwa mereka mengakui keberadaan aktor-lain dan arena selain Washington-Jenewa-Moskow-Brussels. Dengan demikian, diplomasi sekarang berlangsung di "teater Asia", yang merefleksikan pergeseran struktur global.

Teori venue diplomacy, niche diplomacy, dan middle power mediation yang dibahas sebelumnya bersatu di sini. Lokasi pertemuan dan aktornya mencerminkan bahwa diplomasi global kini lebih diffuse, dengan banyak titik negosiasi dan banyak aktor yang memiliki peran. Pertemuan ini memperlihatkan bahwa AS dan China sama-sama bersedia berada di tempat yang bukan "halaman belakang" satu sama lain, melainkan di zona yang relatif netral dan penting secara strategis.

Kesimpulan

Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat mereka mengadakan pertemuan bilateral di Bandara Internasional Gimhae, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, di Busan, Korea Selatan, Kamis (30/10/2025). Foto: Evelyn Hockstein/REUTERS
Presiden AS Donald Trump berjabat tangan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping saat mereka mengadakan pertemuan bilateral di Bandara Internasional Gimhae, di sela-sela KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, di Busan, Korea Selatan, Kamis (30/10/2025). Foto: Evelyn Hockstein/REUTERS

Pertemuan antara Donald Trump dan Xi Jinping di Korea Selatan merefleksikan wajah baru diplomasi global yang bergerak di antara simbolisme dan strategi. Di satu sisi, pertemuan ini menandakan upaya rekonsiliasi di tengah ketegangan geopolitik yang menumpuk sejak perang dagang AS–Tiongkok.

Sementara di sisi lain, ia juga memperlihatkan pergeseran lanskap kekuasaan dari Barat menuju Timur, yakni Asia. Korea Selatan menjadi panggung yang sempurna. Bukan karena posisinya yang strategis di antara dua kekuatan besar, melainkan sebagai perwakilan simbol stabilitas dan modernitas Asia yang kini menjadi pusat gravitasi dunia.

Namun di balik segala simbolisme itu, pertanyaan paling mendasar tetap terbuka dan harus diperhitungkan: Apakah pertemuan ini sungguh mengarah pada rekonsiliasi strategis, atau teatrikalitas politik dalam dunia yang semakin multipolar dan penuh ketidakpastian?

Di tengah pergeseran kekuatan dari Barat ke Timur dan dari unipolaritas menuju multipolaritas yang cair, publik dunia patut bertanya: Apakah diplomasi hari ini masih soal membangun perdamaian, atau soal siapa yang lebih piawai men-setting panggung?

Media files:
01k8sf3dhdr73n367b6esy1vhw.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar