Search This Blog

Ketika PBB Dibungkam Veto: Kemanusiaan yang Terkubur di Gaza

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Ketika PBB Dibungkam Veto: Kemanusiaan yang Terkubur di Gaza
Nov 22nd 2025, 10:00 by Tyanita Dwi Nuraini

Ilustrasi perempuan di Gaza. Foto: Ulises Ruiz/AFP
Ilustrasi perempuan di Gaza. Foto: Ulises Ruiz/AFP

Gaza Dua Tahun Setelah Serangan: Antara Ledakan dan Kelaparan

Sudah dua tahun berlalu sejak serangan besar ke Gaza meletus pada Oktober 2023, tetapi suara ledakan masih menjadi ritme kehidupan di wilayah itu. Rumah sakit runtuh, kamp pengungsian berubah menjadi kuburan massal, dan anak-anak mengais air di antara reruntuhan kota. Laporan OCHA PBB tahun 2024 mencatat lebih dari 10.000 anak tewas, sementara UNICEF memperingatkan bahwa hampir seluruh populasi Gaza kini berada dalam kondisi kelaparan akut. Di tengah tragedi kemanusiaan paling parah abad ini, dunia bergerak dengan ritme yang memuakkan: cepat di forum diplomasi, lambat di lapangan.

Pertanyaan yang seharusnya mengguncang hati kita pun muncul: mengapa sistem yang dibangun untuk menjaga perdamaian justru gagal melindungi mereka yang paling membutuhkan?

Gaza sebagai Wilayah Pendudukan: Kewajiban Hukum yang Diabaikan

Untuk memahami kegagalan ini, Gaza harus dilihat dalam konteks hukumnya. Meski Israel menarik pasukan pada 2005, kendali penuh atas perbatasan, listrik, air, dan mobilitas membuat Gaza tetap berstatus wilayah pendudukan menurut hukum internasional. Konvensi Jenewa IV menegaskan bahwa kekuatan pendudukan bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar warga sipil.

Namun blokade total sejak 2007, dan lebih parah setelah 2023, membuktikan bahwa kewajiban hukum itu tidak ditegakkan. Rumah sakit hancur, pangan diblokade, dan air bersih ditutup. Yang melanggar bukan hanya moralitas, tetapi juga aturan perang paling fundamental.

Lebih menyedihkan lagi, semua itu terjadi dengan pengetahuan penuh komunitas internasional.

PBB yang Banyak Bicara, Sedikit Bertindak

PBB telah merespons krisis Gaza dengan ratusan laporan, resolusi, dan kecaman. Namun semua itu hanyalah kata-kata yang menguap di ruang diplomasi. Tidak ada penghentian serangan, tidak ada zona aman, tidak ada intervensi kemanusiaan. Semua tindakan yang berpotensi menyelamatkan nyawa terhenti di meja Dewan Keamanan.

Masalahnya bukan kurangnya aturan atau kemauan moral; masalahnya adalah struktur PBB sendiri. Ketika hak veto digunakan, suara 193 negara lenyap dalam sekejap. Gaza adalah korban paling nyata dari arsitektur yang menempatkan stabilitas geopolitik di atas nyawa manusia.

Hak Veto: Ketika Satu Kata Menentukan Nasib Dua Juta Jiwa

Di Dewan Keamanan, Amerika Serikat berkali-kali menggunakan hak vetonya untuk memblokir resolusi gencatan senjata dan pembukaan koridor kemanusiaan. Dalam kurun dua tahun, lebih dari enam resolusi penting gagal disahkan. Satu negara, dengan satu kata, dapat membatalkan aspirasi seluruh dunia.

Inilah wajah paling gelap dari sistem internasional. Veto yang seharusnya menjadi penyeimbang kekuasaan justru berubah menjadi alat yang menentukan siapa yang layak hidup dan siapa yang tidak. Sebagaimana ditulis David Forsythe, HAM internasional tidak gagal karena normanya lemah, tetapi karena negara besar dapat menentukan kapan norma itu berlaku.

Mengapa Intervensi Kemanusiaan Tidak Pernah Datang?

Prinsip Responsibility to Protect (R2P) seharusnya menjadi perisai terakhir ketika semua mekanisme gagal. Semua tanda pelanggaran berat terlihat jelas: serangan terhadap warga sipil, penghancuran fasilitas medis, kelaparan massal, hingga eksodus besar-besaran. Namun tidak ada intervensi kemanusiaan.

Sebabnya sederhana namun tragis: R2P membutuhkan mandat Dewan Keamanan. Dan mandat itu terhenti oleh veto. Intervensi kemanusiaan yang dipuji dalam buku-buku teori hubungan internasional tidak lebih dari konsep indah yang patah di tangan politik global.

Michael Haas menyebut fenomena ini sebagai the politics of helplessness — politik yang menciptakan situasi di mana hukum internasional berfungsi hanya ketika tidak mengganggu kepentingan negara kuat.

Gaza sebagai Cermin Retaknya Tata Kelola Global

Krisis Gaza mengungkap sesuatu yang jauh lebih besar daripada tidak efektifnya PBB. Ia menunjukkan kerusakan struktural dalam arsitektur keamanan global. Dewan Keamanan bukan arena kemanusiaan, melainkan arena kekuasaan. Lembaga kemanusiaan seperti UNRWA diganggu pendanaannya ketika paling dibutuhkan. Sementara lembaga hukum seperti ICC dan ICJ tidak memiliki kekuatan eksekusi.

Gaza adalah pesan bahwa sistem internasional yang dibangun pasca Perang Dunia II sudah tidak lagi mampu menjawab tantangan kemanusiaan abad 21. Dunia berubah, tetapi mekanisme perlindungan manusia tetap terperangkap dalam logika politik 1945.

Ketika Kemanusiaan Menunggu Persetujuan Politik

Pada akhirnya, tragedi Gaza bukan sekadar tentang perang. Ini tentang kegagalan moral global. Ketika anak-anak kelaparan, dunia berdebat. Ketika rumah sakit runtuh, resolusi dinegosiasikan. Ketika nyawa melayang setiap menit, PBB menunggu izin politik yang tak pernah datang.

Gaza bukan hanya menunjukkan kehancuran sebuah wilayah, tetapi juga gagalnya sistem yang seharusnya menjaga martabat manusia. Jika PBB terus dibelenggu veto, maka pertanyaan terbesar bukan lagi apakah Gaza akan pulih — tetapi apakah kemanusiaan masih memiliki tempat dalam diplomasi global. Dan mungkin, tragedi tersembunyi yang paling memukul adalah ini: di Gaza, bukan hanya bangunan yang runtuh, tetapi juga nurani dunia.

Media files:
01k88p555ma1vk74c1z7t9vd5w.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar