Search This Blog

Bank Sentral di Era Ketidakpastian dan Disrupsi Digit

kumparan - #kumparanAdalahJawaban
 
Bank Sentral di Era Ketidakpastian dan Disrupsi Digit
Nov 2nd 2025, 12:00 by Desi Sommaliagustina

Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: Shutterstock
Ilustrasi Bank Indonesia. Foto: Shutterstock

Dalam sistem ekonomi nasional, Bank Indonesia (BI) memegang peran vital sebagai penjaga stabilitas moneter. Ia bukan sekadar lembaga pencetak uang, melainkan pengatur detak ekonomi negeri. Namun, di tengah dinamika global, perang geopolitik, dan ledakan inovasi finansial digital, BI kini menghadapi tantangan yang jauh lebih kompleks daripada sekadar mengendalikan inflasi.

Terkait hal tersebut, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan bahwa tekanan terhadap rupiah masih akan berlanjut seiring kebijakan suku bunga tinggi The Fed di Amerika Serikat. Pada Oktober 2025, nilai tukar rupiah melemah, menembus Rp16.300 per dolar AS, level terendah dalam dua tahun terakhir. Di balik angka itu, tersimpan persoalan yang tak sederhana: bagaimana menjaga kestabilan kurs tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi rakyat kecil.

Dilema Moneter: Menjaga Inflasi, Menahan Gejolak Global

Sejak pandemi, BI terus menyeimbangkan dua kepentingan yang sering berlawanan: menahan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat. Suku bunga acuan dinaikkan menjadi 6,25%, langkah yang dimaksudkan untuk menjaga nilai rupiah agar tidak tergerus arus keluar modal asing. Namun, di sisi lain, kebijakan itu juga bisa menekan konsumsi dan investasi domestik, terutama sektor UMKM yang sangat sensitif terhadap biaya pinjaman.

Petugas keamanan melakukan penjagaan di kawasan Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (3/9/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO
Petugas keamanan melakukan penjagaan di kawasan Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (3/9/2025). Foto: Muhammad Adimaja/ANTARA FOTO

Di sinilah dilema bank sentral muncul. Terlalu ketat, ekonomi bisa melambat. Terlalu longgar, inflasi bisa lepas kendali. BI harus membaca situasi global dengan presisi karena setiap keputusan moneter hari ini langsung berimbas ke dapur rumah tangga: dari harga cabai, beras, hingga bahan bakar.

Selain tekanan eksternal, BI kini dihadapkan pada realitas baru: pergeseran sistem keuangan ke ranah digital. Dalam satu dekade terakhir, platform seperti GoPay, OVO, DANA, hingga QRIS telah mengubah cara masyarakat bertransaksi. Uang fisik makin jarang terlihat, digantikan deretan kode QR dan saldo digital.

Digitalisasi ini membawa efisiensi, tetapi juga risiko besar. BI harus memastikan sistem pembayaran digital tetap aman dari penipuan, peretasan, dan pencucian uang digital. Bahkan, muncul ancaman baru dari mata uang kripto yang beredar tanpa kendali otoritas mana pun. Bitcoin, Ethereum, dan stablecoin kini bukan hanya aset spekulatif, melainkan juga simbol perlawanan terhadap otoritas moneter tradisional.

Ilustrasi uang koin pecahan Rp 1000. Foto: Shutterstock
Ilustrasi uang koin pecahan Rp 1000. Foto: Shutterstock

Sebagai respons, BI mengembangkan "Proyek Garuda", inisiatif menuju penerbitan Rupiah Digital atau Central Bank Digital Currency (CBDC). Tujuannya jelas: menjaga kedaulatan moneter Indonesia di era transaksi digital global. Bila terlaksana dengan baik, rupiah digital bisa memperkuat pengawasan peredaran uang, menekan biaya transaksi lintas wilayah, dan memastikan setiap rupiah tetap berada di bawah kendali negara, bukan algoritma asing.

Masalah Kepercayaan dan Uang Palsu

Tantangan lain yang sering terlupakan adalah kepercayaan masyarakat terhadap uang itu sendiri. Kasus peredaran uang palsu yang masih muncul di berbagai daerah menandakan bahwa edukasi publik belum sepenuhnya efektif. Menurut data Bank Indonesia, hingga pertengahan 2025 ditemukan lebih dari 40 ribu lembar uang palsu, mayoritas pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu.

Uang palsu bukan sekadar kejahatan ekonomi, melainkan juga ancaman terhadap kepercayaan publik. Ketika masyarakat mulai ragu pada otentisitas uang di tangan mereka, stabilitas moneter ikut terguncang. Di era digital, ancamannya bahkan lebih kompleks: muncul modus baru seperti transfer palsu, phishing, dan pencurian data finansial lewat aplikasi pembayaran.

Ilustrasi pembayaran digital. Foto: PopTika/Shutterstock
Ilustrasi pembayaran digital. Foto: PopTika/Shutterstock

Tantangan BI juga datang dari kebijakan fiskal pemerintah yang tidak selalu seirama. Ketika pemerintah mendorong belanja besar untuk proyek infrastruktur dan bantuan sosial, BI sering kali harus menahan laju likuiditas agar inflasi tidak membengkak. Ini menciptakan tarik-menarik kebijakan antara pertumbuhan dan stabilitas.

Banyak kalangan menilai, BI perlu menjaga kemandirian kebijakan moneter agar tidak terseret kepentingan politik jangka pendek. Kemandirian ini menjadi penting agar setiap kebijakan yang diambil tetap berbasis data dan bukan tekanan kekuasaan.

Digitalisasi Bukan Sekadar Trend, tapi Tanggung Jawab

Transformasi digital yang terjadi saat ini tidak bisa dihindari. Namun, BI perlu memastikan inklusi keuangan tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di desa-desa. Data OJK menunjukkan, pada 2025, masih ada 40% masyarakat Indonesia yang belum terlayani layanan keuangan formal. Artinya, digitalisasi tanpa pemerataan hanya akan memperlebar jurang ekonomi.

Ilustrasi memeriksa kesehatan keuangan. Foto: Shutter Stock
Ilustrasi memeriksa kesehatan keuangan. Foto: Shutter Stock

BI perlu hadir bukan hanya sebagai regulator, melainkan juga sebagai pendidik dan pelindung publik. Edukasi tentang transaksi digital aman, literasi keuangan, dan kesadaran terhadap kejahatan siber harus menjadi prioritas agar masyarakat tidak menjadi korban perubahan zaman.

Pada akhirnya, tugas terbesar BI tidak hanya mengatur angka dan grafik ekonomi, tapi juga menjaga kepercayaan rakyat terhadap nilai rupiah. Karena dalam dunia moneter, nilai uang bukan ditentukan oleh kertasnya, melainkan oleh keyakinan publik terhadap institusi yang menerbitkannya.

Di tengah ketidakpastian global, ancaman siber, dan derasnya arus digitalisasi, Bank Indonesia dituntut menjadi jangkar ketenangan. Ia harus mampu menavigasi ekonomi nasional di antara ombak global tanpa kehilangan arah; menjaga rupiah bukan sekadar sebagai alat tukar, melainkan juga simbol kedaulatan bangsa.

Media files:
01j61vw47qw8f1d9tjrghcpr1r.jpg image/jpeg,
You are receiving this email because you subscribed to this feed at blogtrottr.com. By using Blogtrottr, you agree to our policies, terms and conditions.

If you no longer wish to receive these emails, you can unsubscribe from this feed, or manage all your subscriptions.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar